Sabtu, 13 Maret 2010

KOMODIFIKASI KASUS BANK CENTURY


Oleh: Gun Gun Heryanto


(Tulisan ini telah dipublikasikan di Harian Pikiran Rakyat, 2 Maret 2010)


Satu hal yang layak diberi catatan akhir dari prosesi Pansus Bank Century sejak Desember hingga awal Maret ini adalah liputan media massa. Setiap hari berbagai media baik cetak, radio, televisi maupun media online, intensif membingkai pemberitaan Bank Century. Kasus Bank Century memang isu seksi memenuhi kriteria nilai berita sekaligus layak menjadi menu utama media karena sarat kontroversi dan menjadi sorotan publik. Di satu sisi, banyak media telah berupaya menghadirkan perannya sebagai ruang publik (public sphere) berkaitan dengan kasus ini. Namun, di sisi lain, banyak juga media yang lekat dengan kepentingan ekonomi-politiknya, sehingga kasus Bank Century tak lebih dari sekedar komoditi.


Ruang Publik


Apresiasi yang tinggi sudah sepatutnya kita sampaikan kepada para insan pers yang tak henti-hentinya mewartakan setiap dinamisasi yang terjadi di Pansus Bank Century kepada khalayak. Jika dilihat dari perspektif literasi politik, media massa cukup memberi kontribusi pada proses pendidikan politik warganegara. Lantas, dimana posisi strategis media dalam pemetaan kasus ini?


Pertama, satu perkembangan menarik dalam konteks demokratisasi informasi dan politik di Indonesia adalah disepakatinya siaran langsung dan terbuka hampir dari seluruh rapat-rapat pansus. Hal ini, telah memberi keleluasaan bagi media untuk melaporkan, menelisik juga mempublikasikan dinamisasi pansus secara cepat, transparan dan kritis. Dalam konteks inilah, peran media sebagai kontrol sosial menemukan momentumnya. Media menghadirkan berbagai sepak terjang anggota pansus, mencatat track record, konsistensi serta reliabilitas ucapan dan tindakan mereka. Jika seseorang atau sekelompok orang dari sebuah fraksi maupun partai politik melakukan penghianatan atas sikap kritis mereka seperti kerap mereka ekspresikan melalui media, maka tersedia cukup banyak file untuk menghukum mereka di kemudian hari. Publikasi media yang luas dan intensif ini pula yang cukup membatasi ruang gerak para politisi dalam berbagai manuver loby dan negosiasi mereka.


Kedua, bingkai media massa telah turut memberi fokus pada ranah diskursus publik. Penguasaan opini publik, debat, perang urat syaraf,dan persuasi diantara para angggota pansus telah diberi ruang oleh media. Mereka secara langsung dapat berbicara dan menjelaskan kepada publik mengenai aktivitas pemeriksaan guna mengurai benang kusut Century ini. Begitu pun masyarakat mulai dari pengamat, peneliti, kelompok kepentingan, kelompok penekan dan masyarakat awam, telah banyak difasilitasi media untuk mengartikulasikan opininya masing-masing. Perlahan tapi pasti, bingkai isu mengerucut pada empat upaya identifikasi pelanggaran hukum, yakni dalam proses akuisisi dan merger, fasilitas pendanaan jangka pendek, kebijakan dana talangan (bailout), dan aliran dana. Keempat isu ini menjadi penting dalam perhatian khalayak karena media juga telah menempatkannya sebagai sesuatu yang penting.


Ketiga, media massa juga berperan penting dalam peneguhan (reinforcement) gerakan sosial politik yang muncul dari simpul-simpul kekuatan rakyat. Berbagai pemberitaan kritis media, telah mentrasformasikan skandal Bank Century yang mulanya isu elitis, menjadi isu publik dan masif. Publik pada akhirnya merasakan kasus Bank Century sebagai bagian persoalan rakyat Indonesia, karena turut menciderai idealisasi demokrasi di negeri ini. Dalam konteks inilah, banyak media massa menunjukkan perannya sebagai ruang publik (public sphere). Menurut Jurgen Habermas dalam esainya “The Structural Transformation of The Public Sphere”, ruang publik merupakan wilayah yang memungkinkan kita untuk membentuk opini publik yang relatif bebas. Ini merupakan praktek pertukaran pandangan yang terbuka dan diskusi mengenai masalah-masalah kepentingan umum. Media turut membentuk kepekaan publik (sense of public) selaku pemilik mandat. Negara pun tak bisa lagi membatasi apalagi menjadikan media sebagai ideological state apparatus.


Komodifikasi


Selain apresiasi, kritik juga sepatutnya penulis kemukakan atas peran media selama liputan Pansus Bank Century. Pertama, masih banyak media yang terjebak dalam logika akumulasi keuntungan. Kasus Century diposisikan dalam konteks komodifikasi. Mengacu pada Vincent Mosco dalam “The Political Economi of Communication” (1996), komodifikasi itu merupakan pemanfaatan isi media dilihat dari kegunaannya sebagai komoditi yang dapat dipasarkan.


Jika kasus Century hanya diposisikan sebagai komodifikasi, maka tak heran produk media yang menonjol adalah sensasi, gossip, ulasan yang menonjolkan kontroversi dibanding substansi. Tak ada yang salah jika media untung karena oplah atau rating naik selama Pansus Century. Yang tidak tepat adalah jika realitas simbolik yang dikonstruksi media seputar Century bersifat dangkal dan tak memberikan pendidikan politik yang memadai.


Kedua, terkait dengan imparsialitas media. Jika kita perhatikan secara seksama, maka beberapa media massa yang sahamnya dimiliki oleh politisi yang terkait langsung ataupun tidak langsung dengan polemik kasus Century cenderung bias. Secara halus pembingkaian berita (news framing) dari media yang dimiliki politisi tersebut, mengarah pada posisi yang kurang obyektif. Misalnya terlihat dari pemilihan narasumber berita maupun talkshow, termasuk dalam narasi teks dan program yang diproduksi dan didistribusikan kepada khalayak.


Bagaimanapun, media massa memiliki peranan yang sangat penting. Oleh karena itu, seyogianya media selalu memiliki komitmen pada upaya literasi politik, sehingga publik kian berdaya dalam menyikapi berbagai persoalan di negeri ini.***


BABAK AKHIR PANSUS CENTURY


Oleh: Gun Gun Heryanto


(Tulisan ini telah dipublikasikan di Harian Seputar Indonesia, 20 Februari 2010)



Hiruk-pikuk kasus Century memasuki babak akhir yang menentukan. Sejak Desember hingga puncaknya awal Maret nanti, berbagai isu utama maupun penggembira seputar skandal bailout Bank Century bergulir bak bola panas sekaligus menjadi magnitude perbincangan, mulai dari Senayan hingga jalanan.


Ibarat tim sepak bola yang menerapkan total football, para anggota Pansus Bank Century lincah bergerak, menyerang, melakukan penetrasi dan manuver di berbagai lini. Publik yang di luar gelanggang pun termangu, berharap, sesekali bersorak karena seolah para pemain hampir sampai di gawang dan menuai skor kemenangan.


Terlebih dalam pandangan akhir fraksi-fraksi di Pansus Hak Angket bailout Bank Century,Rabu (17/2), 7 dari 9 fraksi menyimpulkan, ada pelanggaran hukum baik dalam proses akuisisi dan merger, fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP),kebijakan bailout dan aliran dana. Hanya Demokrat dan PKB saja yang bersikeras menyatakan tak ada pelanggaran dalam FPJP dan kebijakan bailout.


Jika pun ada, pelanggaran hanya terjadi pada akuisisi dan merger serta aliran dana semata. Namun demikian,decak kagum atas prestasi para pemain penyerang di Pansus Century belumlah tepat dilakukan. Selebrasi pun belum saatnya digelar karena pansus masih berputar-putar di taman labirin.Banyak jalan “seolah-olah” yang kerap menipu bahkan sangat mungkin menyesatkan sehingga pansus sejatinya tak pernah sampai pada jalan keluar sebagaimana diharapkan publik yang memang sejak awal memantau pergerakan para pemain.


Akhir Permainan


Pola menyerang belum tentu menghasilkan kemenangan. Kita bisa mengambil analogi permainan sepak bola di Liga Premier awal 2010 ini. Arsenal dipecundangi MU dan harus rela ditaklukkan Chelsea. Para pemain muda The Gunners agresif,dinamis,ambisius tapi tak bermain efektif.Sehingga, di akhir permainan mereka tetap tak mampu menggulingkan para pemuncak tahta liga.


Bermain bagus dan agresif saja tak cukup jika tak menghasilkan indikator yang bisa diukur semua pihak. Jika hasil akhir hanyalah rekomendasi setengah hati atau rujukan ke penegak hukum tanpa daya dorong yang memadai, lantas untuk apa kegaduhan Pansus Century selama ini? Seluruh energi, perhatian, bahkan kehormatan berbagai pihak di negeri ini,telah masuk ke dalam pusaran yang sama yakni kasus Century.


Tak berlebihan kiranya jika kita menyebut kasus Century ini sebagai skandal berdampak sistemik! Tak hanya mengakibatkan roda Pemerintahan SBY berjalan lamban karena reputasinya sedikit banyak ternodai Century, bingkai wacana media dan diskursus publik pun didominasi skandal ini. Pansus harus jelas, terang, dan mengeluarkan rekomendasi yang mengikat di ranah politik dan ketatanegaraan.


Setumpuk data telah terpapar,serombongan orang telah diundang,parade debat,silat lidah,adu jurus kepintaran plus popularitas akibat liputan media yang jorjoran, akankah hanya berakhir kompromi? Jika ini terjadi, sudah selayaknya para pemain dihukum oleh publik. Sejak awal sudah muncul dugaan bahwa penyelamatan Bank Century merupakan “skenario”penyelamatan kepentingan sejumlah deposan besar.


Para deposan besar tersebut memiliki interkoneksitas dengan kekuatan dan kepentingan partai politik tertentu. Bisakah ini dibuktikan? Tuntutan lain, beranikah Pansus menyebut sejumlah nama yang sudah semestinya bertanggung jawab atas skandal Century ini, sejak proses merger dan akuisisi bergulir pada 2001–2004 hingga aliran dana FPJP dan bailout?


Bukan persoalan mudah bagi pansus untuk mengeksplisitkan siapa saja yang bertanggung jawab dan bagaimana seharusnya mereka mempertanggungjawabkan pelanggaran ini, terutama di domain DPR yakni politik dan ketatanegaraan. Kita patut khawatir karena di babak akhir ini, pergerakan para anggota pansus seperti di tengah labirin. Sibuk ke sana kemari tapi tak menemukan pintu keluar yang sesungguhnya.


Jika pada akhirnya mereka teriak “it’s just the political game”,maka tak berlebihan jika kita mengategorikan mereka hanya para pesolek yang sedang membangun citra politik semata-mata. Sebaliknya jika mereka konsisten membangun koalisi kebenaran dan membuka tuntas skandal Century hingga ke akarnya, mereka layak dapat bintang dan tak segan kita rekomendasikan sebagai figurfigur pemimpin bermartabat yang layak meneruskan alih generasi kepemimpinan nasional di masa mendatang.


Batasan Afiliatif


Ada dua faktor yang masih memungkinkan para pemain penyerang di Pansus Century berbalik badan dari kebenaran. Pertama, adalah gejala groupthink dalam tradisi para politisi partai di negeri ini. Gejala ini oleh Irving Janis dalam bukunya Groupthink: Psychological Studies of Policy Decisions and Fiascoes (1982) digambarkan sebagai kelompok yang memiliki tingkat kohesivitas tinggi yang sering kali gagal mengembangkan alternatif- alternatif tindakan yang mereka ambil.


Para kader partai di pansus sangat mungkin kembali ke tradisi lama yakni berpikir sama dan menghindari pemikiran berlawanan. Hal ini menyebabkan minimnya ide-ide yang tidak populer atau tidak serupa dengan anggota kader lain terlebih jika harus berseberangan dengan elite utama di fraksi atau partai mereka.


Jika pun ada yang berbeda, maka akan dilabeli sebagai penyimpang atau tidak loyal pada garis kebijakan partai. Situasi ini masih harus kita curigai karena di banyak kasus yang telah terjadi sebelumnya, kerap diselesaikan dengan cara “kongkow para elite”. Konflik menjadi sarana menaikkan daya tawar yang menghantarkan para penyerang dan yang diserang berada di zona of possibble agreement (ZOPA). Jika hal ini terjadi, jelas telah terjadi tirani partai atau tirani fraksi yang membahayakan nilai-nilai kebenaran dan rasionalitas substantif dari publik. Mekanisme penyelesaian adat lewat lobi,jamuan makan bersama, atau tradisi “silaturahmi” kerap menjadi pemutus akhir sebelum putusan formal dibacakan di paripurna. Tradisi “kongkow elite” inilah yang biasanya melahirkan kesegaraman berpikir dan berprilaku yang rentan terhadap batasan afiliatif (affiliative constraints).


Menurut Dennis Gouran dalam tulisannya The Signs of Cognitive,Affiliative and Egosentric Constraints (1998)batasan afiliatif berarti bahwa anggota kelompok lebih memilih untuk menahan diri daripada mengambil risiko ditolak.Para pemain penyerang sangat mungkin menjadikan pansus hanya sebagai panggung pertunjukan, di mana mereka bisa berteriak kencang lantas perlahan menepi dan akhirnya sepi.


Kedua,hal yang masih memungkinkan pansus menjadi tunakuasa adalah serangan dari pihak eksternal atas eksistensi politik mereka sebagai bagian dari kolektivitas partai.Horor ancaman kini sudah menyeruak ke publik terutama diarahkan kepada para pemegang tongkat komando partai penentu kekuatan. Misalnya, serangan pajak atas Aburizal Bakrie yang juga Ketua Umum Golkar.


Tiga perusahaan Ical yakni PT Kaltim Prima Coal, PT Bumi Resources Tbk, dan PT Arutmin Indonesia dianggap mengemplang pajak. Tunggakan pajak ketiga perusahaan milik Ical yang sudah banyak dipublikasikan media massa adalah Rp2,1 triliun plus denda 400%, dengan demikian, totalnya menjadi Rp10,5 triliun. Meski pengusutan pajak merupakan hal yang sudah selayaknya dilakukan namun motif politik tak bisa disisihkan begitu saja dari kasus ini.


Terlebih, serangan ini muncul dan diintensifkan menjelang akhir kerja pansus yang menempatkan Golkar sebagai salah satu kekuatan penentu.Tak hanya soal pajak, isu perombakan kabinet pun berhembus kencang. Jika Golkar mulai tak gentar dengan serangan pencopotan menteri dari kadernya, belum jelas dengan sikap PKS.


Betul-betul relakah, PKS pecah kongsi dengan kekuasaan? Jika para anggota pansus Century konsisten membuka kasus ini hingga tuntas, maka tentu seribu satu data yang telah diakui mereka bisa menjadi penanda menuju lorong akhir di mana pintu keluar dari kemelut ini berada.
Lorong pintu akhir tersebut ialah siapa yang bertanggung jawab, apakah memang benar ada aliran ke partai politik tertentu, serta bagaimana mereka harus bertanggung jawab? Jika para pemain penyerang di pansus berbalik badan,maka mereka akan tersesat atau sengaja menyesatkan diri dalam labirin Century.(*)


Tulisan ini bisa diakses di web Harian Seputar Indonesia: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/305754/

Jumat, 12 Maret 2010

MENYOAL KOMUNIKASI SBY


Oleh: Gun Gun Heryanto


(Tulisan ini telah dipublikasikan di Harian Jogja, Senin 15 Februari 2010)


SBY kembali menjadi titik episentrum dari kontroversi yang mengundang kagaduhan publik belakangan ini. Bukan mengenai kinerja 100 hari yang dianggap publik berlalu tanpa impresi, bukan pula sikapnya menyangkut penyelsaian kasus Century, melainkan soal kerbau yang diberi label “SiBuYa” oleh para demonstran.


Ironis memang, hal yang teramat sederhana ini, justru menjadi menu utama curhat “colongan” seorang Presiden. Sesuatu yang sebelumnya nyaris tak masuk dalam prioritas perhatian publik, sontak berubah menjadi headline berbagai media massa. Ada apa dengan SBY? Pertanyaan tersebut bergulir dalam diskursus publik, seolah menyoal bahkan sebagian diantaranya bernada menggugat implementasi komunikasi politik SBY.


Reduksi Makna


Di lihat dari perspektif komunikasi politik, curhat SBY yang geram soal kerbau “SiBuYa”, sangatlah tidak strategis. Dinamisasi politik nasional yang kian hari kian resisten dan menempatakan SBY di bawah sorotan tuntutan publik, jelas kerap tak sejalan dengan upaya membangun citra serta reputasi pemerintahannya. Dalam situasi seperti inilah, kerapkali seorang pemimpin lupa, bahwa dia sedang berhadap-hadapan dengan tantangan nyata yakni soal pengelolaan opini publik. Kegeraman SBY soal kerbau tersebut, disadari ataupun tidak sesungguhnya telah mereduksi makna kepemimpinan dirinya. Hal ini, bisa kita amati dalam 3 hal yang saling terkait satu sama lainnya.


Pertama, menyangkut konteks kapan dan dimana pernyataan itu diproduksi dan didistribusikan. Pertemuan di Istana Kepresidenan, Cipanas, Selasa (2/2) merupakan Rapat Kerja dengan gubernur seluruh Indonesia dan Kabinet Indonesia Bersatu II. Inilah forum yang seyogianya menjadi penanda bagi rakyat, bahwa pemerintahan ini serius memikirkan strategi pengelolaan negara dan bangsa ini ke depan. Jika pun ada pernyataan SBY yang disampaikan ke media massa dalam momentum itu, seharusnya membatasi diri pada penjelasan mengenai pencapaian program 100 hari dan orientasi pemerintah ke depan, tidak dicampuradukan dengan curhat yang justru menjadi blunder.


Bukti telah terjadi reduksi makna, keesokan hari pasca curhat, sebagian besar headline media massa lebih tertarik membingkai “SiBuYa” daripada memberitakan kesuksesan SBY. Tidak kali ini saja SBY alfa membaca konteks. Misalnya, kontroversi juga mencuat saat SBY menuding ada pihak-pihak yang tak puas dalam Pemilu terkait dengan momentum kasus bom di Ritz Carlton dan JW Marriott (17/7/2009). Kekeliruan dalam konteks yang lain adalah saat mengumpulkan tujuh pimpinan lembaga tinggi negara, yakni MPR, DPR,DPD,BPK,MA,MK,dan KY, Kamis (21/1). Bisa saja pertemuan itu diklaim sebagai koordinasi biasa, tapi publik pasti tidak melupakan aroma politis forum ini, karena SBY dengan lantang berbicara mengenai isu pemakzulan dan tiadanya kriminalisasi kebijakan.


Kedua, dilihat dari substansi pesan, apa yang disampaikan SBY justru menunjukkan lemahnya daya tahan pemimpin dari kritik dalam situasi demokrasi yang paradoks. Di satu sisi, SBY berpesan bahwa para demonstran harus sesuai dengan kepantasan. Tapi di sisi lain, SBY juga memberi pesan yang tak pantas melalui berbagai pernyataannya yang mencurigai, menekan, bahkan melakukan perang urat saraf terhadap berbagai kekuatan masyarakat yang mulai menggeliat menentangnya. Contoh paling aktual adalah pernyataan SBY sebelum dan sesudah aksi demo evaluasi 100 hari. Sebelumnya, SBY juga mencurigai dan menekan secara verbal maupun non verbal, gerakan sosial pada Hari Antikorupsi (4/12/2009).


Berbicara kepantasan dalam komunikasi politik, tidaklah bersifat linear dan top down. Komunikasi dipakai guna mengordinasikan tata nilai politik yang diinginkan. Sehingga, tercapai tingkat kesepahaman yang tinggi sekaligus mengurangi resistensi lawan politiknya, dalam rangka mobilisasi sosial guna memperoleh dukungan, kepatuhan maupun integrasi politik. Komunikasi semestinya dioptimalkan sebagai bentuk umpan balik (feed back) atas sejumlah input bagi kebijakan pemerintah. Hal ini perlu agar terjalin komunikasi timbal balik (two way communication) antara rakyat dan pemimpin yang diberi mandat. Ketiga, terkait dengan keberadaan SBY selaku komuniktor politik yang berada dalam fragmentasi kekuatan. SBY begitu peduli dengan popularitas dan citra personalnya. Sehingga, nampak kegelisahan mendalam saat photo dirinya berserakan di jalanan. Muncul berbagai kata, simbol, dan satire yang menyerang ego serta kehormatan dirinya itu. Kerbau “SiBuYa” dianggap menghina SBY selaku simbol kenegaraan. Meskipun dalam komunikasi, simbol itu ibarat “citra”, muncul dalam konteks yang sangat beragam dan digunakan untuk berbagai tujuan.


Banyak yang berpendapat bahwa hubungan antara simbol dengan yang disimbolkannya bersifat arbitrer. Oleh karenanya, makna simbol itu menjadi interdependen pada konvensi di antara sesama penafsir. Dalam konteks inilah, SBY seharusnya memahami, bahwa saat harapan rakyat tak terpenuhi, mereka akan marah dan sangat mungkin mengekspresikan kekecewaan mereka melalui beragam cara. Semakin pemerintah mengecewakan, maka akan semakin kuat pula delegitimasi terhadap simbol-simbol kenegaraan tersebut.


Manajemen Komunikasi


Pengharapan rakyat pada SBY adalah perubahan Indonesia ke arah yang lebih baik. Konsekuensinya, keberpihakan terhadap agenda kerja pro rakyat menjadi pertaruhan besar bagi SBY. Menurut Dan Nimmo dalam bukunya Political Communication and Public Opinion in America (1989), bagi komunikator politik, untuk menjadi pemimpin politik ia harus berprilaku sebagaimana yang diharapkan pengikut pada pemimpinnya. Dalam hal ini, rakyat mengaitkan kepemimpinan pada orang yang sesuai dengan pengertian mereka tentang pemimpin itu. Oleh karenanya, mustahil seorang pemimpin dapat mengordinasikan tata nilai politik dan idealisasi sosial secara seimbang, tanpa kemampuan mengoptimalkan komunikasi politik.


Dalam konteks proses dan prosedur komunikasi, sebaiknya SBY kembali mereview beberapa kesalahan komunikasi yang telah dilakukan. Menyangkut proses, SBY harus lebih seksama dalam menyeleksi mana batasan publik dan privat yang harus disampaikan kepada masyarakat. Mana isu kelas terbang dan isu kelas berat yang layak diutarakan seorang Presiden.


Meminjam konstruk berpikir teori manajemen privasi komunikasi dari Petronio dalam bukunya Boundaries of Privacy: Dialectics of Disclousure (2002), bahwa kita membuat pilihan dan peraturan mengenai apa yang harus dikatakan, dan apa yang harus disimpan dari orang lain berdasarkan “kalkulus mental” dengan mempertimbangkan kriteria penting tidaknya sesuatu yang mau kita sampaikan itu. Sah-sah saja SBY curhat kepada rakyatnya, namun harus jelas bobot isu yang dibicarakan, sehingga tidak menyisakan tanya, mengapa seorang Presiden mau menjerembabkan diri pada kubangan isu yang artifisial.


Sementara menyangkut prosedur komunikasi, sudah seharusnya SBY mendistribusikan pesan politiknya secara strategis. Dalam manajemen privasi komunikasi, sangat wajar terjadi dialektika berbentuk ketegangan-ketegangan antara keinginan untuk mengungkapkan atau menutupi informasi privat. Sebagai presiden yang memiliki juru bicara dan staf khusus, sudah pada tempatnya ada distribusi kewenangan untuk menyampaikan pesan tertentu kepada masyarakat luas. Menanggapi fenomena kerbau “SiBuYa” dalam demonstrasi misalnya, cukup dikemukakan juru bicara atau staf khusus saja.


Terakhir, setiap saat SBY adalah sumber berita bagi media massa. Oleh karenanya, seluruh ucapan dan prilakunya senantiasa berada dalam pembingkaian berita (news framing) media. Keberadaan media massa menjadi peluang sekaligus tantangan bagi diri dan pemerintahan SBY. Kegeraman SBY soal “SiBuYa” menjadi contoh kongkrit bahwa pengendalian opini publik di berita media, bukanlah hal yang mudah. ***


Tulisan bisa diakses di:http://www.harianjogja.com/epaper/