Selasa, 20 Oktober 2009

PERFORMA SBY


Oleh: Gun Gun Heryanto


(Tulisan ini Dimuat di Pikiran Rakyat, Selasa, 20 Oktober 2009)


Sisi lain yang menarik kita perbincangkan di luar hiruk-pikuk pembentukan kabinet baru adalah sosok SBY sendiri, terkait dengan performa (performance) pemerintahannya ke depan. Pelantikan Presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober, menjadi penanda paling nyata bahwa Indonesia kini secara faktual maupun legal telah memiliki kembali pemimpin nasional. Inilah produk dari suatu mekanisme demokrasi prosedural yang disepakati dan berjalan di negeri ini. SBY kini nampak lebih percaya diri, karena memiliki sumberdaya politik yang jauh lebih memadai. Inilah momentum politik SBY jilid dua yang sekaligus menjadi pembuktian apakah SBY mampu mencatatkan dirinya sebagai presiden yang sukses di republik ini.

Sumber daya Politik

Dilihat dari perspektif sumberdaya politik (political resources), posisi SBY di awal periode kedua ini sungguh kuat. Hal ini bisa kita simak dari berbagai indikator. Pertama, dia telah mengantongi kekuasaan yang sah (legitimate power) sebagai produk dari Pemilu presiden langsung. Dengan modal kemenangan melalui Pemilu satu putaran ini, menjadi sinyal kuat bahwa rakyat masih memberikan kepercayaan pada SBY.

Kedua, SBY akan ditopang oleh kekuatan besar di DPR. Perkembangan terakhir, lima pimpinan partai politik dari PKS, PPP, PAN, Partai Demokrat dan PKB, resmi menandatangani kontrak politik untuk mendukung pemerintahan SBY, Kamis (15/10). Partai Golkar juga sudah secara resmi menyatakan berkoalisi dengan pemerintahan SBY. Dengan demikian, langkah SBY ke depan menjadi ringan karena 423 suara di DPR akan berada di belakangnya. Jika pun PDI-P, Gerindra dan Hanura menyatu dalam barisan oposisi, maka suara mereka hanya berjumlah 137 suara. Ironisnya lagi, mereka yang berpotensi menjadi barisan oposisi pun kian menunjukkan orientasi akomodasi politik dan belum menjadi kekuatan oposisi yang konsolidatif.

Ketiga, SBY didukung oleh barisan teknokrat terutama bidang ekonomi yang tentunya dipimpin oleh Boediono. Situasi matahari kembar di pemerintahan seperti pernah dialami saat SBY bersanding dengan JK tak akan dialaminya lagi. Bahkan, di beberapa peristiwa, nampak policy JK lebih dominan. Sementara Boediono adalah ekonom yang memiliki pengalaman dalam mendesain kebijakan ekonomi, bidang yang memang menjadi kebutuhan sekaligus titik lemah SBY. Hal ini bisa terlihat dari tugas pertama yang diberikan SBY kepada Boediono, yakni menyusun program 100 hari pemerintahannya. Boediono dan teknokrat lainnya dalam pemerintahan ke depan tentu akan menjadi kekuatan politik tersendiri bagi SBY.

Keempat, dukungan dan pengakuan luar negeri terutama AS yang memadai. Nyaris tak ada resistensi negara-negara lain, terhadap sosok dan kiprah SBY setelah terpilih sebagai presiden untuk periode ke dua. Bahkan, Obama dalam kapasitasnya sebagai Presiden AS telah memberi selamat kepada SBY, jauh-jauh hari sebelum pengumuman resmi KPU diumumkan. Ini menjadi sinyal kuat, bahwa SBY diterima AS dan juga komunitas internasional pada umumnya.

Citra dan Agenda

Dalam menjaga performa tentu saja terkait dengan dua aspek yang tak bisa dipisahkan, yakni citra dan agenda kerja. Citra terkait dengan carapandang masyarakat atas sosok SBY dengan segala macam atributnya, sementara agenda terkait dengan program kerja nyata SBY ke depan. Pacanowsky dan O’Donnell dalam bukunya Communication and Organizational Culture (1982), mendefinisikan performa sebagai metafora yang menggambarkan proses simbolik dari pemahaman akan perilaku manusia dalam sebuah organisasi.

Bercermin pada periode pemerintahannya yang pertama, kita melihat kecenderungan citra SBY yang dari tahun ke tahun menurun. Meskipun, untuk persoalan elektabilitas, SBY tetap unggul di banding kandidat lain yang bertarung di Pemilu 2009 lalu. Meminjam Data dari hasil riset Lembaga Survey Indonesia (LSI), pada Tahun 2004 atau awal-awal pemerintahannya, persentase kepuasan publik atas duet SBY-JK itu 80 persen. Dua tahun kemudian, kepuasan masyarakat atas kinerja Presiden masih 67 %, sementara untuk JK 62 %. Memasuki tahun ketiga, popularitas SBY menurun lagi tepatnya 49,7 % sementara JK 46,9 %. Di penghujung pemerintahannya, SBY terbantu dengan proses pemasaran politik yang sangat intensif oleh dirinya sendiri, tim sukses dan konsultan kampanye, hingga popularitasnya kembali meningkat dan memenangi pemilu.

Hal lain yang menentukan performa SBY ke depan adalah menyangkut agenda kerja. Terdapat sejumlah masalah krusial yang mesti diprioritaskan SBY. Pertama, masalah kemiskinan. Menurut Data BPS Maret 2008, Angka kemiskinan Indonesia mencapai 35 juta jiwa atau 15.4%. SBY-Boediono tentunya harus memiliki formula yang tepat agar 35 juta jiwa tadi dapat hidup layak.

Kedua, persoalan akut menyangkut pengangguran. Data BPS menunjukkan jumlah penduduk yang menggangur di Indonesia pada tahun 2008 adalah 8.4%. Ini berarti ada sekitar 9 juta penganggur.

Ketiga, harus menunjukkan kepada publik bahwa program-program SBY tidaklah identik dengan neolib yang selama ini dialamatkan kepada mereka. Tiga program pokok ekonomi neolib yakni privatisasi BUMN, liberalisasi di berbagai sektor penting, dan menggantungkan pembangunan pada utang luar negeri harus dijawab melalui berbagai kebijakan nyata.

Keempat, memprioritaskan penanganan kasus HAM, kasus korupsi dan reformasi birokrasi. Selamat bekerja SBY-Boediono!


Tulisan ini bisa diakses di web Pikiran Rakyat:


ICAL DAN MASA DEPAN GOLKAR




Oleh: Gun Gun Heryanto




(Tulisan ini telah dimuat di Harian Jurnal Nasional, Jum’at Oktober 2009)




Aburizal Bakrie yang kerap dipanggil Ical akhirnya tampil sebagai pemenang dalam perhelatan demokrasi partai berlambang beringin. Ical mengantongi 296 suara mengungguli rival terberatnya Surya Paloh dengan 240 suara. Sebuah rivalitas yang mempertontonkan tak hanya adu kualitas individu kandidat, melainkan juga prestis, gelontoran uang dan manajemen dukungan. Dengan kemenangan Ical tersebut, dapat ditebak orientasi partai ini ke depan. Bukan menjadi partai di luar kekuasaan seperti terbersit dalam keinginan Jusuf Kalla dalam pidato pembukaan Munas ke-8 Partai Golkar di Pekanbaru Riau, melainkan akan kembali melanjutkan tradisi politik lama, yakni menjadi bagian dari kekuasaan.


Kunci Kemenangan

Membaca kemenangan Ical, dapat kita identifikasi sejumlah faktor yang menjadi penentu kemenangannya. Pertama, Ical tak dimungkiri memiliki magnet reward power. Diantara kandidat lain yang bertarung, Ical nampak yang paling eksplosif mengemas politik "hadiah" ini bagi para elit Golkar yang memiliki hak suara. Kita bisa mengambil contoh, kemasan janji Ical yang akan menyediakan dana 1 Triliun bagi institusi Golkar jika ia terpilih, jelas menggiurkan banyak pihak. Paket jualan kesan ini, sangat mendongkrak pencitraan politik Ical sebagai sosok paling mumpuni untuk menahkodai Golkar yang dalam tradisinya sarat dengan politik transaksional.
Kecakapan dan kecukupan materi dianggap sebagai prasyarat mutlak untuk mengembalikan kejayaan Golkar di masa depan. Munas menjadi ajang politik transaksional antar kandidat dengan para elit Golkar pemilik suara sah. Berhembus khabar, 1 suara dinegosiasikan antara 500 juta hingga 1 Milyar Rupiah. Sesuatu yang mustahil bisa dilakukan oleh kandidat yang tak memiliki kantong tebal seperti Yuddy Chrisnandi. Meski pun Surya Paloh dan Tommy memiliki sumber "gizi" yang memadai, nampaknya mereka tak seroyal Ical.
Kedua, faktor akses ke kekuasaan. Di banding dengan tiga kandidat lain, hanya Ical yang paling memiliki akses ke SBY. Surya Paloh jauh-jauh hari telah menyatakan ingin mengembalikan kejayaan Golkar bahkan jika perlu berada di luar kekuasaan. Jejak rekam Surya Paloh yang turut mendukung pencalonan JK sebagai presiden pun menjadi cerita tersendiri. Di Banyak tempat kampanye, Surya Paloh seakan yakin bahwa Golkar tak mesti sejalan dengan pemerintahan SBY.
Jika dianalisis, terdapat benang merah yang sama antara subtansi pemikiran JK saat pidato pembukaan Munas, dengan pernyataan-pernyataan Surya Paloh. Terlebih, di arena munas Surya Paloh sempat bertemu empat mata dengan JK. Ini menunjukkan bandul dukungan JK sebenarnya bergerak ke arah Surya Paloh. Namun, dalam tradisi Golkar bukan tokoh yang menjadi simpul pengikat suara melainkan kekuasaan. Siapa pun yang lebih memiliki akses ke kekuasaan biasanya cenderung diamini. Kita tentu ingat, meski pun konstribusi Akbar Tanjung dalam membawa Golkar dari kehancuran pasca reformasi 1998 sangat besar, kenyataanya Akbar tak mampu melawan kedigdayaan JK yang saat itu menggenggam akses kekuasaan dalam kapasitasnya sebagai Wakil Presiden. Dengan demikian, loyalitas elit Golkar pemilik suara sah dalam Munas tidak dalam konteks loyalitas pada tokoh melainkan pada representasi akses kekuasaan itu. Tumbangnya Surya Paloh sekaligus menunjukkan kekalahan JK dalam munas. Ketiga, adalah terpaan media (media exposure). Dari empat kandidat, hanya Ical dan Surya Paloh yang intensif menggunakan pengaruh pencitraan dirinya melalui media massa yang mereka kuasai. Ical misalnya, begitu gencar memanfaatkan TVOne dan ANTV sementara Surya Paloh mengendalikan Metro TV dan Media Indonesia. Selain tentu saja mereka juga jor-joran kampanye melalui media-media lain yang satu group atau di luar group medianya.
Namun, jika kita perhatikan intensitas pembingkaian pemberitaan (political news framing) Ical jauh di atas rata-rata Surya Paloh. Ical misalnya, tanpa ragu menjadikan waktu primetime TVOne untuk menyiarkan secara live pernyataan dukungan para pimpinan DPD layaknya tayangan kenegaraan. Idealitas bahwa media mesti imparsial telah runtuh. Ini menguatkan tesis Pamella Shoemaker dalam bukunya Mediating the Message (1996) bahwa isi media tak akan bisa independen dan lepas dari anasir pengaruh individu pekerja media, rutinitas media, kebijakan organisasional seperti kepentingan pemilik, ekstra media dan ideologi. Dengan memiliki saham di TVOne dan ANTV serta kemampuan untuk membeli rubrik dan jam tayang media lain, maka wajar jika sosok Ical semakin berkibar. Hal ini sekali lagi menunjukkan, kandidat sadar benar bahwa media memiliki posisi penting dalam menjemput kemenangannya.
Masa Depan Golkar

Kemenangan Ical dalam konteks Golkar ke depan dapat kita maknai dalam dua hal. Pertama, mimpi untuk memperkuat proses demokrasi melalui efektifnya kekuatan check and balance pupus sudah. Partai beringin ke depan tentu akan merindangi pemerintahan SBY-Boediono. Di bawah Ical, kekuatan Golkar di parlemen maupun di luar akan kembali padu dengan kekuasaan. Ciri menonjol politik transaksional berbungkus politik harmoni kian melembagakan citra Golkar sebagai partai kekuasaan. Dalam bahasa Ical "Golkar mandiri bersama SBY".
Padahal, setelah Golkar kalah dalam kontestasi Pemilu 2009, muncul banyak harapan pada Golkar, PDIP dan Gerindra untuk bisa padu menjadi kekuatan oposisi di DPR. Sehingga, demokrasi di Indonesia akan tumbuh kian sehat karena signifikannya kekuatan pengontrol. Kemenangan Ical dalam hal ini, bisa juga dimaknai dalam konteks kian kokohnya sumberdaya politik SBY di periode kedua pemerintahannya, karena lewat Ical SBY bisa mengendalikan Golkar.
Kedua, mekanisme regenarasi kepemimpinan Golkar ternyata belum mampu menghadirkan suatu proses yang transformasional. Artinya, belum mampu menghadirkan sosok kuat yang inspiratif dan mampu menjadi peneguh kesadaran kelompok (shared group conciousness). Figur yang bisa menjadikan Golkar kuat, mandiri serta mampu mencetak kader-kader ideologis bukan kader-kader pragmatis.
Penataan Lembaga
Tugas Ical menahkodai partai Golkar tidaklah mudah. Sejumlah persoalan menempatakan Golkar dalam situasi yang kompleks. Paling tidak terdapat tiga hal krusial yang mesti segera di atasi oleh Ical. Pertama, menyangkut basis gerakan partai Golkar ke depan. Bagaimana rapuhnya nilai-nilai normatif yang menjadi pengikat kepaduan (cohesivness) di tubuh Golkar. Contoh terdekat, kader Golkar tak solid dalam pemenangan Pemilu Legislatif maupun Pilpres. Hal ini sangat mungkin, karena tak adanya nilai kesadaran kelompok (shared group conciousness). Bukan sebaliknya menjadikan pragmatisme sebagai landasan kelompok, sehingga dari satu era ke era politik lain, Golkar selalu menjadi partai yang menggantungkan diri pada kekuasaan.
Kedua, tugas besar Ical adalah konsolidasi partai dari pusat hingga daerah. Hal ini yang nampak kedodoran di era kepemimpinan JK. Ada baiknya dalam konteks ini, Ical bisa mengambil contoh dari apa yang telah dilakukan oleh Akbar Tanjung yang rajin turun ke bawah. Kekuatan Partai Golkar bukan terletak pada pengurus DPP, melainkan pada kader-kader di daerah. Jika Ical mampu membingkainya dengan baik, maka tentu akan menjadi satu diantara faktor sukses kepemimpinanya ke depan.

Ketiga, Ical harus membangun kepercayaan bangsa Indonesia secara umum kepada partai beringin ini. Tak disangkal, Golkar berada di titik nadir dalam hal kepercayaan masyarakat. Oleh karena itu, harus ada kerja nyata yang sistematik dan dapat dirasakan langsung oleh masyarakat luas sehingga Ical dapat menunjukkan bahwa Golkar masih layak dipertimbangkan sebagai salah satu pilar penting dalam pembangunan civil society di Indonesia.




Tulisan ini bisa juga diakses di web Harian Jurnas berikut ini:




Kamis, 08 Oktober 2009

MANAJEMEN KEHORMATAN DPR


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dimuat di Koran Jakarta, Kamis 8 Oktober 2009)


Prosesi penahbisan anggota DPR 2009-2014 sudah berlalu. Dari komposisinya, background, patron politik, dan lain-lain masih bercita rasa sama seperti DPR sebelumnya. Sebagai fakta politik, para anggota DPR baru itu terpilih dalam pesta demokrasi, patut kita hargai. Bagaimanapun, secara normatif, eksistensi lembaga ini penting dan kita butuhkan dalam memperkuat demokratisasi di negeri ini meski secara prosedural, fungsionalisasi lembaga ini kerap ambigu, terutama saat mereka harus benar-benar melayani rakyat yang diwakilinya. DPR sebagai lembaga politik, dalam praktiknya tidak lepas dari anasir kepentingan politik, baik individual maupun partai politik. Dengan demikian, model komunikasi transaksional yang menegosiasikan ide, gagasan, pemikiran, bahkan suara dan kehormatan dirinya menjadi bagian yang mapan terpola dalam aktivitas sehari-hari di gedung parlemen. Formula politik sebagai “seni kemungkinan” mengarahkan setiap individu untuk lihai kapan harus melakukan akomodasi, dominasi, hingga berbagai strategi kolaborasi.DPR periode 2004-2009 masih meninggalkan jejak rekam citra buram. Pertama, citra lembaga DPR masih lekat dengan persepsi masyarakat sebagai lembaga korup. Catatan dari berbagai laporan menunjukkan kurang lebih ada sembilan kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR. Kedua, dalam melaksanakan fungsi pengawasan, DPR periode lalu tampak kedodoran. Hanya ada dua hak angket yang tuntas, yaitu hak angket kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan kasus penjualan tanker Pertamina. Padahal tak kurang dari delapan hak angket yang diajukan. Kondisi yang sama terjadi dalam hak interpelasi. Dari sembilan hak interpelasi yang dibuat, hanya empat yang tuntas. Yakni, persetujuan atas resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1747, kasus Lapindo, busung lapar, dan kasus harga bahan pokok. Ketiga, dalam konteks fungsi legislasi pun cukup menyedihkan. Sejumlah UU produk DPR menyebabkan ketidakpuasan di masyarakat. Ada lima belas UU yang diujimaterikan di Mahkamah Konstitusi. Memang tak dinafikan, secara kuantitatif terdapat sekitar 183 RUU dari 284 RUU Rencana Program Legislasi Nasional 2005-2009 yang sudah disahkan. Namun coba kita amati lagi secara mendalam, hampir separo dari RUU yang berhasil disahkan itu terkait dengan ratifikasi perjanjian internasional, pengesahan peraturan pemerintah pengganti undang-undang, soal anggaran pendapatan dan belanja negara, dan pengaturan soal pembentukan daerah otonom baru. Secara substansi belum menunjukkan kecemerlangan DPR karena sebagian besar RUU tadi masih berkutat pada hal-hal rutin dan formalistik. Dalam konteks legislasi ini, citra DPR pun masih diperparah dengan pembahasan RUU yang mengancam demokratisasi seperti RUU Rahasia Negara. Indikasinya, jika tidak terdapat penentangan yang luar biasa dari para tokoh nasional dan kalangan media massa, bukan mustahil “monster” atas nama rahasia negara itu disahkan di injury time masa bakti DPR.


Politik Dasamuka?

Kita tentu berharap DPR baru punya komitmen untuk menjaga kehormatan diri dan lembaganya.Wajah anggota DPR sebagai wakil rakyat yang melekat pada diri dan fungsinya harus benar-benar dihayati dan dikendalikan seoptimal mungkin. Bukan sebaliknya, para anggota DPR mempertontonkan praktik politik Dasamuka.Dalam dunia pewayangan, Dasamuka merupakan tokoh yang populer dengan nama Rakhwana. Dia adalah raja Alengka yang digambarkan sebagai sosok raksasa bermuka sepuluh lengkap dengan 20 tangan yang dimilikinya. Penggambaran itu menunjukkan kesombongan dan kemauan yang tak terbatas karena selalu ingin diposisikan sebagai kesatria besar. Nama “Rahwana” sendiri memiliki arti “(ia) yang raungannya dahsyat”. Watak politik Dasamuka bercirikan dominatif dan berupaya menempatkan kekuasaan secara penuh dalam kendalinya. Dalam cerita wayang, digambarkan bagaimana Rahwana berambisi menancapkan kekuasaannya di tiga dunia dengan melakukan penyerangan untuk menaklukkan ras manusia, makhluk jahat (asura-rakshasa-dety-danawa), dan makhluk surgawi. Ciri lain politik Dasamuka adalah kerap tak mengindahkan nilai-nilai etika dan moralitas dalam pencapaian keinginannya. Perilaku politiknya dikendalikan oleh kesombongan dan kemauan yang tak terbatas tadi. Penulis tidak mengharapkan perilaku anggota DPR baru seperti watak Dasamuka. DPR merupakan lembaga yang lahir dari rahim demokrasi. Sehingga sangat tidak tepat jika para anggota DPR mendominasi atau bahkan menyubordinasikan rakyat yang diwakilinya hanya karena sindrom kekuasaan. Salah satu bukti, mereka tidak berwatak dominatif, harus senantiasa terbuka untuk mau mendengar berbagai tuntutan dan dukungan yang berkembang di masyarakat. DPR bukan lembaga di bawah kekuasaan eksekutif, juga bukan di bawah partai politik, melainkan sebuah dewan terhormat yang semestinya bisa melahirkan berbagai kebijakan umum yang terhormat pula dengan perilaku yang seyogianya dibalut oleh nilai-nilai etis dan moralitas.


DPR ke Depan

Ke depan, anggota DPR, meminjam pendapat John Van Mannen dan Stephen Barley (1985:31-54), ada baiknya mengatur manajemen kehormatan organisasi minimal di empat domain. Domain pertama, ecological context yang merupakan dunia fisik termasuk di dalamnya lokasi, waktu dan sejarah, serta konteks sosial. Lingkungan fisik DPR di Senayan sudah cukup representatif, periodisasi waktu menjabat pun sudah diatur jelas, hanya saja DPR periode lalu tak mampu menghadirkan output kinerja yang menyejarah dalam konteks sosial bangsa Indonesia kekinian. Hal yang saatnya diubah segera oleh para anggota DPR baru dengan menunjukkan komitmen dan kehormatan sebagai wakil rakyat. Dengan demikian, DPR benar-benar menjadi simbol rumah rakyat. Domain kedua menyangkut jaringan atau interaksi deferensial. Dalam konteks ini, DPR harus mau dan mampu memetakan interaksinya dengan pihak lain. Yang menarik adalah jika DPR periode ini mampu menghadirkan kekuatan check and balance melalui kekuatan efektif oposisi di parlemen. Harapannya, partai besar yang kalah dalam Pemilu 2009, yakni Golkar dan PDIP, menjadi motor oposisi. Hanya saja melihat perkembangannya, kedua partai tersebut justru kian merapat ke lingkar kekuasaan dan bimbang menjadi kekuatan penyeimbang. Dua domain terakhir adalah pemahaman kolektif dan tindakan individual. Anggota DPR baru, baik pribadi maupun kolektif, harus konsisten memerankan sosok wakil rakyat, bukan sebaliknya memperkokoh citra politik Dasamuka.***


Tulisan ini bisa diakses di web Koran Jakarta berikut ini: