(Tulisan ini telah dipublikasikan di Harian SINDO, 19/10/2010)
Setahun sudah usia pemerintahan SBY berjalan. Kebinet Indonesia Bersatu (KIB) II tertatih mengikuti dinamika dan ritme politik nasional, kawasan dan hubungan antar negara. Setelah fase seratus hari berlalu tanpa impresi pada 28 Januari 2010, evaluasi setahun pada 20 Oktober ini pun nyaris tak bergerak jauh dari skeptisme publik atas refleksivitas pemerintah dalam denyut nadi kehidupan khalayak. Dominannya kepentingan parpol, kerap menutup rapat geliat upaya perbaikan, bahkan logika kekuasaan pun senantiasa terjerembab ke dalam praktik oligarki partai politik. Sejumlah tindakan komunikasi politik pemerintahan SBY, menjadi sorotan utama dalam tulisan ini, mengingat iritasi politik yang ditimbulkannya, kian menghadirkan ruang telanjang disonansi kognitif dari masyarakat atas performa komunikatif pemerintah.
Kesadaran Diskursif
SBY adalah ikon kesuksesan politik citra dalam pendekatan marketing politik di Indonesia kekinian. Menerabas kekuatan arus utama politik yang telah mapan di Pemilu 2004, dan mengukuhkan jati diri politisi citra yang diminati pada Pemilu 2009. Secara kuantitatif, SBY mencatatkan kemenangan meyakinkan, lewat ronde final yang hanya berjalan satu putaran. Sejak mandat kekuasaan disematkan, SBY begitu peduli dengan urusan citra sehingga kerap mengalami kegamangan antara wibawa dan efektivitas birokrasi, antara politik santun yang menekankan harmoni dan kepempimpinan kuat berbasis kinerja. Kegamangan ini lah yang disadari atau tidak telah menjadi beban utama praktik komunikasi politik SBY sejak periode pertama kekuasaanya hingga sekarang.
Evaluasi setahun pemerintahan biasanya dibingkai dalam pendekatan dualistik (dualistic approach) yang menilai pemerintahan ini sukses atau gagal. Bahkan, kerap muncul desakan dari sekelompok orang, apakah pemerintahan ini layak dilanjutkan atau dihentikan di tangah jalan. Pendekatan seperti ini, biasanya hanya akan berujung pada interaksi diferensial di tengah dialektika relasional antara argumen-argumen dan klaim-klaim yang serba bersebrangan. Kelompok di luar kekuasaan banyak yang menilai SBY gagal, sementara pemangku kekuasaan dan aparaturnya, justru banyak mengklaim sejumlah keberhasilan. Pemerintahan pun, biasanya tetap melenggang semau yang mereka lakukan, tanpa banyak mengakomodasi kritikan-kritikan yang berserakan di berbagai media dan aksi-aksi publik.
Kita masih ingat, KIB II diawali dengan langkah yang penuh masalah. Jagat politik nasional digaduhkan sejumlah kasus mulai dari skandal kasus Century, misteri kasus Antasari Azhar, kriminalisasi Bibit- Chandra, penanganan kasus Anggodo yang sukses memarjinalkan program-program 100 hari dari perhatian publik. Kegagalan menunjukkan impresi yang memadai pada fase 100 hari, seharusnya menjadi pelajaran bagi SBY untuk memenuhi kepercayaan publik pada momentum evaluasi setahun pemerintahannya.
Poole, Seibold dan McPhee dalam A Structurational Approach to Theory Building in Group Decision Making Research (1986), memandang perlu adanya refleksivitas (reflexivity) dalam setiap upaya membangun perbaikan organisasi termasuk birokrasi. Refleksivitas pada dasarnya merujuk pada kemampuan aktor untuk memonitor tindakan-tindakan dan perilaku mereka. Sebagian besar reflesivitas didasarkan pada pengalaman masa lalu yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang. Dengan membaca masa lalu dan memperbaikinya, maka sesungguhnya bisa menatap masa depan yang jauh lebih baik. Pemerintah seharusnya memiliki dua kesadaran dalam proses refleksivitas ini yakni, kesadaran diskursif (discursive conciousness) dan kesadaran praktis (practical conciousness).
Kesadaran diskursif, merujuk pada kemampuan untuk menjelaskan kepada khalayak atas sejumlah sikap, kebijakan dan tindakan pemerintah sehingga khalayak bisa memahaminya dengan baik. Kenyataannya, kesadaran diskursif ini hingga sekarang masih tertutupi oleh prasangka berlebihan, mekanisme pertahanan diri, dan sejumlah pembenaran yang kerap berlebih-lebihan versi pemilik otoritas kekuasaan dan aparaturnya.
Kita mencatat, sejumlah kasus minimnya aktualisasi kesadaran diskursif dalam komunikasi politik pemerintahan SBY. Pertama, dalam kasus hubungan tak harmonis RI-Malaysia. Kegundahan publik menyeruak ke permukaan akibat kurang tegasnya pilihan sikap pemerintah. Menyimak keseluruhan isi pidato SBY di Mabes TNI, Rabu (01/09/10), mengenai hubungan RI-Malaysia, mempertegas watak kepemimpinan SBY sebagai penganut politik harmoni, sekaligus menempatkan poisi politiknya di zona nyaman. Uraian panjang lebar pidato SBY sangat datar, terprediksi jauh-jauh hari, dan tak memunculkan sikap serta solusi baru dalam mengurai benang kusut relasi antagonistik yang kerap muncul di antara bangsa kedua negara.
Kedua, kesadaran diskursif juga tak tercermin dari orang-orang dekat SBY dalam karut-marut administrasi pemerintahan, seperti tercermin dalam kasus posisi Jaksa Agung. Sebagaimana kita ketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu mengeluarkan keputusan terkait posisi Jaksa Agung Hendarman Supandji. Dalam uji materi UU Kejaksaan Agung terutama pasal 22 ayat 1 huruf D, MK mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan Yusril Ihza Mahendra. Konsekuensi putusan MK, bahwa sejak Rabu (22/09/10) pukul 14.35 WIB, Hendarman Supandji dianggap sudah tak lagi menjabat Jaksa Agung. Namun orang-orang di lingkar istana, seolah-olah yakin benar bahwa Jaksa Agung masih legal dan tak ada masalah serius. Untung saja, sikap minim kesadaran diskursif ini, cepat mereda saat SBY menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 104 P/2010 tentang Pemberhentian Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung.
Ketiga, pemerintah kurang mampu menjelaskan keganjilan posisi hubungan resmi istana dan kehidupan pribadi SBY beserta keluarga. Publik tentu ingat, di acara resmi kenegaraan tepatnya pada HUT-RI ke-65, para tamu undangan mendapatkan paket souvenir yang sarat dengan nuansa publisitas personal SBY dan keluarga. Antaralain CD album lagu SBY, buku Agus Harimurti dan Ani Yudhoyono. Kasus serupa juga menyisip dalam soal test CPNS Kementrian Perdagangan baru-baru ini. Lagi-lagi, ini soal kehati-hatian dalam pembentukan kesan free ride publicity yang tak elegan. Kita tentu sadar, bahwa dalam proses komunikasi politik, konteks menjadi penting dalam menilai posisi aktor.
Keempat, soal isu penggulingan kekuasaan yang selalu dihembuskan oleh orang-orang dekat istana menjelang momentum evaluasi pemerintahan. Beberapa waktu lalu, sebalum evaluasi 100 hari tiba, SBY sempat menghembuskan adanya penggalangan kekuatan yang akan mengancam kekuasaanya. Tak tanggung-tanggung, SBY pun mengumpulkan tujuh pimpinan lembaga tinggi negara, yakni MPR, DPR, DPD, BPK, MA, MK, dan KY, Kamis (21/1/2010). Pertemuan tersebut, membawa pesan kuat bahwa pemakzulan (impeachment) bukanlah sesuatu yang relevan bagi eksistensi pemerintahan SBY-Boediono. Langkah ini tak elegan, dalam konteks keterjagaan independensi lembaga tinggi negara di mata rakyat. Bagaimanapun institusi seperti MK dan MA misalnya, tidaklah tepat berada dalam forum yang sangat politis seperti itu. Kini, menjelang evaluasi setahun pemerintahan, isu adanya kekuatan-kekuatan yang akan menggulingkan pemerintahan SBY kembali dihembuskan oleh orang-orang dekat istana. Benarkah akan ada penggulingan kekuasaan? nalar publik pun seolah tak memiliki tautan argumentasi dan fakta yang mendukungnya. Justru, hal ini akan memperkuat kesan fobia pemerintah atas kritisisme publik yang kian hari kian eskalatif. Jika pun hal itu sekedar manajemen konflik, tentu saja bukan cara yang elok.
Kesadaran Praktis
Hal lain yang dibutuhkan dalam refleksivitas pemerintahan adalah kesadaran praktis (practical conciousness). Pemerintah seharusnya dapat dirasakan kehadirannya di tengah masyarakat. Kita bisa mencontoh aksi nyata Presiden Chili Sebastian Pinera, yang turun tangan dalam aksi penyelamatan 33 penambang yang terperangkap di bawah tanah selama 69 hari. Sebuah aksi nyata seorang pemimpin, yang layak mendapat perhatian dunia internasional. Tindakan cepat, tanpa basa-basi dan formalitas lembaga kepresidenan memancar dari aksi Pinera. Di saat hampir bersamaan, musibah pun melanda Indonesia. Sangat wajar jika media lantas membandingkan Pinera dengan SBY yang baru hadir di Wasior, Papua Barat setelah 9 hari bencana terjadi.
Realitas simbolik media menghadirkan dua impresi yang berbeda. Aksi Pinera digambarkan menyentuh, herois, dan menunjukkan kehadiran pemimpin serta pemerintah tepat di saat rakyat menunggu perannya. Sementara, kehadiran SBY di Wasior datar, formalis, terkesan protokoler dan justru menimbulkan polemik karena berbeda pandangan dengan para aktivis lingkungan hidup seperti Walhi yang menyatakan bahwa penyebab bencana adalah praktik illegal logging. Kita juga tentu ingat, lambannnya proses penangangan korban lumpur Lapindo oleh pemerintah hingga saat ini. Pinera dan SBY tentu saja punya watak kepemimpinan yang berbeda, dengan problem yang berbeda-beda pula. Namun, rasanya penulis harus jujur, bahwa arti kehadiran seorang pemimpin dalam tindakan nyata seperti digambarkan Pinera, belum nampak kuat di setahun pertama berjalannya KIB II. ***
Tulisan ini bisa diakses di web SINDO:
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/358382/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar