Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Harian Seputar Indonesia, 28/12/2010)
Salah satu bidang yang patut kita berikan catatan dalam refleksi akhir tahun 2010 adalah komunikasi politik SBY di fase kedua pemerintahannya. Sejak berpasangan dengan Boediono, gaya komunikasi Istana memang berubah dibanding saat Jusuf Kalla menjabat sebagai wakil presiden.
Kini SBY kokoh di puncak hierarki kuasa dalam struktur istana, tanpa khawatir ada matahari kembar yang kerap menciptakan situasi paradoks terutama dalam manajemen kehormatan sang Presiden.Peristiwa demi peristiwa terjadi sepanjang tahun, dan tampak jelas benang merah dilema sang Presiden dalam mengartikulasikan substansi pesan dan balutan gaya komunikasinya di tengah otoritas yang di genggamannya.
Memudarnya Impresi
Meski pasangan SBY-Boediono menang dalam satu putaran, dan modal politik di Parlemen sangat memadai akibat koalisi tambun yang digalang, ternyata tak lantas membawa harapan meyakinkan di awal pemerintahannya.
Fase 100 hari pemerintahan SBY yang berakhir 28 Januari 2010 berakhir nyaris tanpa impresi. Ada beberapa faktor yang menyebabkan memudarnya impresi di awal pemerintahan SBY. Pertama, bingkai 100 hari yang dikemas dalam kinerja sejumlah kementerian tak sukses memalingkan perhatian khalayak.Meskipun pemerintah mengklaim Program Kerja 100 Hari telah terpenuhi dengan sukses, kenyataannya program- program tersebut telah tertutupi oleh hiruk-pikuk pemberitaan di ranah hukum dan politik. Sejumlah isu seperti skandal kasus Bank Century, kasus Antasari Azhar,kriminalisasi Bibit-Chandra, dan penanganan kasus Anggodo lebih lekat dalam perhatian publik.
Hal ini sekaligus menempatkan Program Kerja 100 Hari pemerintahan sebatas di wilayah pinggiran.
Kedua, menguatnya gejala disonansi kognitif di tengah masyarakat. Publik semula mengharapkan SBY mampu menjadi pemimpin kuat dan transformasional.Namun, dalam praktiknya, berbagai kebijakan politik yang diambil SBY banyak yang tidak sesuai harapan publik misalnya dalam penyelesaian kasus Century,SBY justru sibuk membentuk Setgab yang disinyalir menjadi mekanisme deal-deal politik antarelite pascapansus Century. Aroma kurang sedap berhembus di balik mundurnya Sri Mulyani Indrawati (SMI) dari jabatannya sebagi menteri keuangan. Pengunduran diri SMI yang penuh puja-puji mulai dari SBY hingga elite partai yang kerap berseberangan hanyalah realitas semu yang disebarkan melalui realitas simbolik media massa.
Inilah “the game of political words”yang sesungguhnya menutupi realitas dasar, yakni karutmarutnya penyelesaian hukum. Dalam konteks inilah, asumsi bahwa SMI telah dikorbankan di altar suci kekuasaan seolah mendapatkan konfirmasi, pada saat Setgab segera mengambil alih berbagai “resep” kebijakan strategis sebelum siap dihidangkan ke publik.Sidang-sidang DPR dan kebijakan pemerintah lantas hanya menjadi panggung depan dari berbagai resep Setgab tersebut. Inilah paradoks demokrasi yang sukses menarik kembali kartelisasi politik dalam dinamika politik Indonesia kontemporer.
Relasi Komunikasi
Selain impresi yang memudar di awal pemerintahannya,kita juga mencatat peningkatan gaya agresivitas verbal sang Presiden selama 2010. Hal ini dalam beberapa konteks menjadi iritasi antara Presiden dan rakyat,yang jika tak diwaspadai dapat menyebabkan infeksi di fase kedua pemerintahan sang Presiden. Iritasi itu misalnya terjadi saat menjelang evaluasi setahun pemerintahan SBY-Boediono pada 20 Oktober 2010.
Isu ada kekuatankekuatan yang akan menggulingkan pemerintahan SBY kembali dihembuskan orang-orang dekat Istana.Tuduhan semacam ini pun sudah beberapa kali disampaikan oleh istana misalnya menjelang Evaluasi 100 Hari pemerintahan juga sesaat menjelang peringatan Hari Antikorupsi pada 2009.Benarkah akan ada penggulingan kekuasaan? Nalar publik pun seolah tak memiliki tautan argumentasi dan fakta yang mendukungnya.Justru, hal ini memperkuat kesan fobia pemerintah atas kritisisme publik yang saat itu kian eskalatif. Jika pun hal itu sekadar manajemen konflik,tetap tak elok terutama dalam pendidikan politik bagi masyarakat.
SBY di beberapa kesempatan terbuka mengkritik para aktivis dan kelompok kritis.Yang menonjol misalnya saat SBY berang karena ada demonstran yang membawa kerbau besar bernama “SiBuYa”. Dalam konteks inilah kita bisa melihat dilema komunikasi SBY. Di satu sisi ingin tampil prima dalam mengomandani fase kedua pemerintahannya ini, di sisi lain juga kerap terjebak pada hiperealitas politik citra.Manajemen kehormatan diri berlebih agar tidak mendapat rintangan signifikan dari kaum kritis dan oposisi di DPR menyebabkan lambannya daya gerak pemerintah karena butuh waktu untuk mengonsolidasikan kekuatan koalisi yang juga kerap memanfaatkan momentum untuk kepentingan politik masingmasing.
Zona Nyaman
Refleksi akhir tahun ini juga tak bisa melupakan peristiwa konflik Malaysia-Indonesia. Isi pidato SBY di Mabes TNI pada 1 September 2010 mengenai hubungan RI-Malaysia seolah-olah kian mempertegas jati diri SBY sebagai penganut politik harmoni, sekaligus pemimpin negara dan pemimpin pemerintahan yang selalu ingin menempatkan posisi politiknya di zona nyaman. Uraian panjang lebar SBY sangat datar, terprediksi dari jauh-jauh hari, dan tak memunculkan sikap serta solusi baru dalam mengurai benang kusut relasi antagonistik kedua negara. SBY tampaknya tak mau mengambil risiko politik dari konflik yang terjadi.Argumentasi SBY sekilas tampak rasional dan faktual yakni berhubungan dengan kepentingan nasional.Ada tiga poin yang disinggung SBY, yakni akar historis, pergaulan di ASEAN, dan aspek ekonomi.
Menurut SBY,Indonesia dan Malaysia mempunyai hubungan sejarah, budaya, dan kekerabatan yang sangat erat. Dia bahkan menggarisbawahi hubungan RI-Malaysia ini yang paling erat dibanding negara-negara lain dan sudah terjalin selama ratusan tahun. Hubungan Indonesia dan Malaysia, menurut SBY, adalah pilar penting dalam keluarga besar ASEAN, bahkan organisasi ini bisa tumbuh pesat selama empat dekade terakhir antara lain karena kokohnya fondasi hubungan bilateral Indonesia - Malaysia. Sementara faktor ekonomi yang disinggung SBY menyangkut dua juta TKI yang bekerja di Malaysia. Lagi-lagi,SBY memberi penekanan bahwa jumlah ini merupakan yang terbesar di luar negeri.
Tanpa rincian yang jelas,SBY bahkan menyimpulkan bahwa keberadaan TKI di Malaysia itu membawa keuntungan bersama.SBYpun mengutip data investasi Malaysia di Indonesia lima tahun terakhir (2005-2009) adalah 285 proyek investasi, berjumlah USD1.2 miliar,dan investasi Indonesia di Malaysia berjumlah USD534 juta. Jumlah perdagangan kedua negara telah mencapai USD11,4 miliar pada 2009.Hal ini menunjukkan bahwa hubungan ekonomi Indonesia-Malaysia sungguh kuat. Wisatawan Malaysia yang berkunjung ke Indonesia adalah ketiga terbesar dengan jumlah 1,18 juta orang, dari total 6,3 juta wisatawan mancanegara. Tak ada yang salah dengan paparan SBY terkait fakta-fakta tersebut.
Sayangnya, setelah menunjukkan posisi penting Malaysia bagi Indonesia tersebut, kita tak menemukan kalimat penjelas yang meyakinkan dan tegas,bagaimana meletakkan kepentingan nasional tersebut dalam bingkai kedaulatan dan kehormatan sebuah bangsa. Saya khawatir, pernyataan SBY yang menempatkan Malaysia begitu powerful ini akan meletakkan posisi Indonesia sebagai subordinat dalam persepsi individu maupun pemerintahan Malaysia. Adakah solusi yang ditawarkan SBY? Ada memang,tapi tak cukup meyakinkan publik karena SBY hanya menawarkan solusi tunggal yakni melalui penuntasan perundingan batas wilayah antara Indonesia dan Malaysia. Langkah nyatanya adalah Joint Ministerial Meeting yang digelar di Kinabalu, Malaysia, 6 September 2010. Sampai saat ini tak begitu jelas apa hasil konkret pertemuan tersebut bagi bangsa dan rakyat Indonesia.
Dari sejumlah catatan tersebut, kita tentu berharap SBY di tahun-tahun mendatang hingga akhir fase kedua pemerintahannya bisa menunjukkan sosok pemimpin yang lebih transformatif.Tak hanya menjaga kemasan kata-kata retoris,tapi juga mampu menunjukkan tautan kata-kata indahnya dengan realitas politik yang kian membaik.(*)
Tulisan ini bisa diakses di web Harian Seputar Indonesia:
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/372137/
Sumber gambar: www.inilah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar