Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Jurnal Nasional, 10/1/2011)
SAAT Orde Baru berkuasa, mendengar istilah bahaya laten senantiasa diasosiasikan dengan komunisme. Hingga setiap saat diperingatkan selalu waspada atas ideologi ini. Bahaya laten sesungguhnya dipahami sebagai bahaya tak tampak di permukaan, tetapi terus bergerak aktif menemukan momentum aktual menjadi kenyataan. Modus bahaya laten biasa menghidupkan jejaring aktif dan menunggu lengahnya masyarakat, saat mewujud dalam realitas ada, teramat sangat melumpuhkan.
Mengamati pergerakan persekongkolan para politisi Senayan dalam kasus pembangunan gedung baru DPR, seolah mengingatkan kembali pada istilah bahaya laten ini. Tentu penggunaan istilah ini, tidak dalam konteks mengasosiasikan para anggota DPR dengan komunisme. Melainkan menggambarkan betapa pergerakan untuk tetap meloloskan kebijakan yang nyata-nyata ditentang banyak pihak ini sebagai bahaya laten yang harus diwaspadai segenap elemen masyarakat.
Membeli Waktu
Baru beberapa hari ini mengawali tahun 2011, sudah beredar kabar tak sedap dari Senayan. DPR mengawali kiprah di tahun ini dengan mengumumkan proyek pembangunan gedung baru tetap dijalankan! Sebuah paradoks kehormatan yang secara disengaja dibuat dan menjadi penanda kebebalan para wakil rakyat. Lebih fantastis lagi, rencana pembangunan gedung 36 lantai ini, disetujui seluruh fraksi di DPR. Artinya, usulan pembangunan gedung DPR yang sempat mengendap beberapa bulan pascapenentangan luar biasa dari masyarakat itu, hanyalah strategi “membeli waktu” dari para kolaborator. Diam-diam stelsel aktif para pengusul menjalar ke berbagai fraksi melalui proses lobi, hingga sempurna menjadi noktah kehormatan dewan di awal tahun.
Dalam tulisan saya Menyoal Rumah Bangsawan Senayan di Harian Jurnas (7/9/10), saya mengemukakan dua alasan mengapa rencana pembangunan gedung baru DPR itu layak ditentang. Pertama, faktor pemborosan uang rakyat di tengah situasi negara dan bangsa yang masih terpuruk. Saat itu, saya mengutip data yang disampaikan mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani di Hotel Bidakara, Jakarta, pada April 2010, memprediksi utang pemerintah diperkirakan Rp1.878 triliun atau naik dibandingkan posisi awal utang tahun 2010 yang hanya di kisaran Rp1.600 triliun rupiah. Tentu ada beban berat bagi APBN mencicil kurang lebih Rp100 triliun per tahun. Karena itu, para elitee termasuk yang DPR wajib efisiensi anggaran, bukan sebaliknya. Menghamburkan uang hanya untuk kepuasan dan kehormatan segelintir orang.
Jika pun alasan untuk memberi solusi atas overkapasitas yang terjadi di DPR, seyogianya gedung dibangun secara sederhana dengan anggaran rasional dan punya sense of crisis. Kedua, logika publik secara otomatis akan resisten dengan pembangunan gedung mewah di saat fungsi-fungsi dewan sangat jauh dari kategori optimal. Jejak rekam fungsi legislasi jeblok, rapor merah fungsi pengawasan, serta tak jelas cetak biru fungsi anggaran, membuat wibawa DPR terus tenggelam dari satu periode ke periode berikutnya. Kali ini, para politisi Senayan kembali sangat percaya diri menyatakan show must go on! Rencana bangun gedung baru tetap berjalan, meski rakyat terheran-heran melihat kebebalan yang dipertontonkan. Kali ini, saya memiliki sejumlah kritik atas rencana itu.
Pertama, sungguh mengherankan mengapa DPR mengawali tahun baru justru dengan pengumuman rencana gedung baru ini. Tentu, siapa pun yang mengkaji komunikasi politik sangat paham, konteks waktu adalah pesan itu sendiri. Di awal tahun, masyarakat biasa mengawali dengan berbagai resolusi menjadi lebih baik. Menciptakan suasana baru yang dapat memberikan impresi guna menumbuhkan harapan berkehidupan lebih baik. Tahun 2010, telah sukses menjadi panggung buram politik DPR. Fungsi dan peran para wakil rakyat tak berjalan optimal.
Citra dewan tak beranjak dari performa babak belur seperti periode sebelumnya. Jika para elite di DPR paham peran komunikasi, tentu saja jauh akan lebih komunikatif jika mereka mengawali tahun ini dengan menyosialisasikan berbagai rencana strategis DPR selama setahun ke depan. Sekaligus menunjukkan ke khalayak luas apa saja yang telah dan sedang dicapai oleh DPR selama 2010. Jumpa wartawan di awal tahun (7/1), justru secara sengaja menghadirkan bingkai berita (news framing) tak menguntungkan bagi citra maupun kinerja DPR. Buktinya, kini DPR kembali direpotkan oleh reaksi keras berita dan opini media yang skeptis atas rencana.
Tentu, terpaan berita miring media akan terus bergulir hingga rencana ini dibahas di masa persidangan III tahun sidang 2010-2011, pertengahan Januari. Kedua, sangat nyata diungkapkan rencana itu sudah disepakati oleh seluruh fraksi. Padahal bahasan formal baru pertengahan Januari. Jika pernyataan Ketua DPR Marzuki Alie itu benar, persekongkolan itu sudah sukses tanpa sedikit pun menyisakan rasa malu kepada rakyat. Ini tentu terkait rekam jejak pernyataan beberapa elite parpol yang duduk di fraksi-fraksi DPR. Media tentu mencatat, saat rencana ini mencuat ke publik dan memuncak di September-Oktober 2010, sejumlah politisi DPR bersuara lantang menyatakan penolakan mereka di media massa. Lantas jika semua fraksi sudah setuju, ke mana suara mereka sekarang?
Wajar jika kita menyimpulkan itulah watak DPR sesungguhnya, yakni kemunafikan berjamaah! Di media mereka menciptakan realitas “seolah-olah” prorakyat yang dalam tulisan Jean Baudrillard, The Precession of Simulacra, dikategorikan sebagai simulasi realitas. Tindakan yang membentuk persepsi palsu atau seolah-olah mewakili kenyataan. Ruang pemaknaan di mana tanda-tanda yang saling terkait dianggap tak harus memiliki tautan logis. Satu wujud nyata dari simulasi realitas yang kerap membahayakan adalah reality by proxy yakni ketidakmampuan kesadaran dalam membedakan antara realitas dan fantasi. Inilah wujud simulasi realitas yang sangat menjengkelkan publik.
Ketiga, di awal rencana pembangunan gedung diperkirakan menghabiskan dana Rp1,8 triliun. Sekarang pun diprediksi masih di atas Rp1 triliun. Lantas di mana janji pimpinan DPR yang saat pengumuman penangguhan rencana ini, menyatakan akan menekan biaya secara signifikan hingga tak terlampau membebani APBN 2011. Semua menjadi terkesan akal-akalan dan sangat dangkal.
Paradoks Kehormatan
Bisa saja pembahasan rencana ini melaju dengan mulus dan menjadi kesepakatan seluruh fraksi di DPR. Namun, satu hal yang pasti, ini akan memunculkan paradoks kehormatan bagi lembaga yang kerap dilabeli sebagai “rumah rakyat” ini. Sangat wajar jika memunculkan valensi harapan (violation valence). Dalam Expectancy Violations Theory (teori pelanggaran harapan) dari Judee Burgoon, pelanggaran harapan berakar pada bagaimana pesan-pesan ditampilkan. Misal, bagaimana saat norma-norma komunikasi politik seperti penulis gambarkan sebelumnya dilanggar para politisi DPR. Dalam valensi pelanggaran para komunikator berusaha menginterpretasi makna dari sebuah pelanggaran dan memutuskan apakah mereka menyukai atau tidak.
Opini publik yang keras menentang pembangunan gedung baru DPR berbiaya tinggi itu tentu lahir dari interpretasi kritis dan menjadi sinyal ketidaksukaan khalayak. Skeptisme publik memang kerap tercermin dalam spiral keheningan, tapi di lain waktu bisa hadir dalam tsunami penentangan. Sebagai politisi, para anggota DPR tentu paham akan hal itu. Karena itu, sebelum kehormatan DPR porak-poranda karena tsunami opini publik, maka persekongkolan itu harus dihentikan. Jangan sampai DPR tetap melaju. Persis seperti ucapan Don Corleone ke Johnny Fontane tentang Woltz dalam Film The Godfather “I'm gonna make him an offer he can't refuse”!
Tulisan ini bisa diakses di web Harian Jurnal Nasional:
http://www.jurnalnasional.com/show/newspaper?rubrik=Opini&berita=155246&pagecomment=1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar