Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di PIkiran Rakyat, 11/1/2011)
Memulai tahun 2011 DPR langsung membuat gebrakan. Bukan prestasi seputar legislasi bukan pula soal optimalisasi fungsi pengawasan dan anggaran, melainkan isu lama yang hidupkan lagi, yakni pembangunan gedung baru DPR. Gedung baru 36 lantai ini, rencananya akan menyedot APBN kurang lebih 1,3 triliun. Sementara dana tahap awalnya akan digelontorkan dari APBN 2011 sebesar 800 miliar.
Argumentasinya tetap mengacu pada over kapasitas gedung DPR yang ada, terutama jika menampung para anggota DPR plus tenaga ahli alat kelengkapannya. Hal baru yang cukup membuat kita terheran-heran adalah padunya suara para politisi senayan lintas fraksi, sehingga kebijakan pembangunan gedung mewah itu kian bulat menjelma menjadi kebijakan dewan. Jika tak ada aral melintang, maka dalam masa persidangan III tahun sidang 2010-2011 yang akan berlangsung pertengahan Januari, rencana ini intensif dibahas.
Inilah strategi “mundur satu langkah untuk maju seribu langkah” dari para politisi yang konon klaimnya adalah wakil rakyat. Setelah diguncang kerasnya resistensi opini publik yang memuncak di bulan September-Oktober 2010, DPR mengendapkan usulan. Media massa saat itu menjadi saluran ampuh dalam menyuarakan protes masyarakat. Masifikasi penentangan, membuat benteng pertahanan DPR goyah. Dari pola bertahan, menjadi akomodatif dan akhirnya terpaksa kompromistis dengan suara pemilik mandat, yakni rakyat Indonesia.
Itu tentunya cerita lama, dinamikanya kini DPR kembali tampil percaya diri. Persis seperti pemain bola yang baru bangkit dari cidera, pergerakannya gesit dan jika tak diantisipasi akan leluasa mengembangkan permainan. Ada beberapa hal yang sudah semestinya mendapat perhatian masyarakat seiring dengan pembahasan kembali rencana ini.
Pertama, menyangkut besaran anggaran. 1,3 Triliun masih merupakan angka yang fantastis! Saat menunda rencana pembangunan gedung baru DPR di akhir 2010 lalu, DPR menjanjikan akan meninjau ulang skema anggaran yang terkesan tak miliki sense of crisis. Saat itu, usulannya berkisar di angka 1,8 triliun dengan ornamen segala fasilitas yang tak terkait langsung dengan efektivitas kerja-kerja DPR. Penurunan angka ke 1,3 triliun juga masih menunjukkan belum signifikannya peninjauan ulang tersebut.
Tentu, kita harus menyadari betul bahwa APBN kita masih harus terbebani oleh cicilan hutang pemerintah sebesar 100 triliun per tahun dari perkiraan hutang di 2010 yang mencapai kurang lebih 1.878 triliun. Satu keharusan di saat APBN kita terbebani cicilan hutang, adalah penghematan agar pemerintah punya daya dalam menyelaraskan laju birokrasinya. Mengeluarkan anggaran di atas 1 triliun untuk gedung baru, tentu saja tak mendukung pencanangan program efisiensi tadi.
Kedua, rencana ini dapat menciptakan communication gap antara para politisi Senayan dengan rakyat. Satu asumsi yang dapat kita rasakan adalah DPR tidak menunjukkan auranya sebagai wakil rakyat, akan tetapi lebih menyerupai suara kaum “bangsawan” senayan. Konsep perwakilan kita tentu bukan mengacu pada versi John Locke (1632-1704). Locke dalam karyanya Two Treatises of Government menyatakan legislatif merupakan lembaga perwakilan masyarakat, hanya saja masyarakat yang dimaksud adalah kaum bangsawan. DPR sebagai wakil rakyat tentunya merujuk pada perspektif Secondat de Montesquieu. Dalam karyanya Spirits of the Laws, Montesquieu menekankan legislatif sebagai lembaga perwakilan rakyat yang sedari awal dibuat guna menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat secara keseluruhan, termasuk rakyat jelata.
Tentu, aspirasi masyarakat atas rencana pembangunan gedung baru itu sudah sangat jelas, yakni menolak rumah rakyat dijadikan monumen keangkuhan para “bangsawan” Senayan. Resistensi masyarakat tentunya sangat beralasan.
Pertama, dalam rencana pembangunan gedung baru beberapa waktu lalu, yang menonjol adalah berbagai fasilitas yang tak terlampau relevan dengan fungsi kerja dewan. Seharusnya jika pun rencana ini mau tetap dihidupkan kembali sekarang, hal pertama yang mestinya dijelaskan Ketua DPR yang sekaligus menjabat sebagai Ketua Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) ialah fasilitas-fasilitas apa saja yang logis dan mendesak dimiliki sehingga nantinya dapat dirasakan oleh masyarakat.
Tentu, hal ini penting disampaikan mengingat hakekat dasar gedung DPR sebagai rumah rakyat. Misalnya ruang hearing yang representatif, public sphere untuk penyampaian aspirasi yang memadai dan tak mengganggu fasilitas jalan umum, penguatan perpustakaan dewan demi keunggulan berbagai draft-draft legislasi yang disusun oleh badan legislasi beserta staf ahlinya. Jika Marzuki Ali, saat jumpa wartawan, Jum’at (7/1) itu menyentuh penggambaran-penggambaran gedung dewan yang ramah pada rakyat, tentu akan mengurangi sinisme yang mengarah pada rencana tersebut.
Kedua, sangat wajar muncul resistensi kembali mengingat adanya kesan kuat kolaborasi lintas fraksi. Saat muncul gelombang penentangan masyarakat beberapa waktu lalu, banyak anggota dewan tampil di media menyuarakan penolakan. Jadi, jika tiba-tiba saat ini wakil rakyat menjadi paduan suara untuk bersepakat, lumrah memunculkan kecurigaan. Sebuah kebijakan, apalagi menyedot biaya besar, sudah selayaknya mendengar aspirasi yang berkembang di masyarakat bukan semata-mata didasarkan atas persekongkolan.
Ketiga, menyangkut waktu yang menjadi konteks pengumuman kembali rencana tersebut. Mengapa harus disampaikan mendahului prioritas-priotas kerja DPR lainnya. Setumpuk pekerjaan rumah 2010 belum usai termasuk revisi UU Pemilu yang mendesak. Akan lebih elegan jika DPR mengawali 2011 ini dengan menunjukkan stimulus kerja optimal ke publik baik di fungsi legislasi, kontrol maupun anggaran. Bukan serta-merta menstimulasi dengan rencana pembangunan gedung baru. Lagi-lagi ini menunjukkan cara berkomunikasi politik yang lemah.
Tulisan ini bisa diakses di web Pikiran Rakyat:
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=171233
Tidak ada komentar:
Posting Komentar