Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Sinar Harapan, 14/1/2011)
DI tengah hiruk-pikuk soal kasus Gayus, muncul berita mengejutkan dari Mahkamah Konstitusi (MK).
Hal ini terkait dengan langkah MK mengabulkan permohonan penghapusan Pasal 184 Ayat 4 UU No 27/2009 tentang MRP, DPR, DPD dan DPRD yang lazim disingkat UU MD3.
Sebagaimana diketahui, April 2010, Bambang Soesatyo (Golkar), Lily Wahid (PKB), dan Akbar Faisal (Hanura) memasukkan permohonan pembatalan Pasal 184 Ayat 4 UU MD3 tersebut. Permohonan tersebut dikabulkan MK, Rabu (12/1), dan tentu akan melahirkan dinamika baru tak hanya di ranah hukum, melainkan juga politik. SBY, Partai Demokrat, dan berbagai kekuatan politik lainnya akan sibuk melakukan hitung-hitungan ulang sekaligus berupaya memosisikan putusan tersebut dalam konstelasi politik ke depan.
Pemetaan Politik
Keputusan MK memang sudah tepat terutama jika menjadikan UUD 1945 sebagai rujukan. Secara nyata terdapat paradoks antara aturan main yang ada di UU dan yang tertera di konstitusi kita UUD 1945. Dalam Pasal 184 Ayat 4 UU No 27/2009 dinyatakan “usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak menyatakan pendapat DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri paling sedikit 3/4 dari jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 3/4 dari jumlah anggota DPR yang hadir.”
Hal ini secara terang benderang bertentangan dengan Pasal 7B Ayat (3) dan UUD 1945. Di pasal tersebut dinyatakan bahwa hak menyatakan pendapat cukup dengan dukungan 2/3 anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 jumlah anggota DPR. Sebagai gambaran, mari kita komparasikan juga dengan isi Ayat (7) Pasal 7B UUD 1945 yang menyatakan bahwa Keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR. Dengan memosisikan konstitusi UUD 1945 sebagai rujukan tentunya keputusan MK ini sulit terbantahkan.
Dampak utama dari keputusan MK ini tentu saja adalah tekanan bagi kekuasaan SBY. Mengingat substansi pasal ini terkait dengan momok pemakzulan (impeachment) yang sangat dikhawatirkan akan mengganggu kenyamanan kekuasaan SBY periode kedua. Sebelum keputusan MK ini ada, kekuasaan SBY nyaris tak tersentuh dari serangan pemakzulan. Selain modal dasar kursi Partai Demokrat, SBY juga merasa aman dengan dukungan PKS, PAN, PKB, PPP, dan Partai Golkar. Sebelumnya, syarat kuorum agar hak menyatakan pendapat itu lolos ialah dukungan dari 3/4 atau 420 anggota DPR. Namun, dengan dikabulkannya uji materi oleh MK, kuorum proses pemakzulan presiden/wakil presiden hanya membutuhkan 2/3 atau 373 anggota dewan. Pemakzulan memang bukan sesuatu yang mudah karena hak menyatakan pendapat yang menduga presiden atau wakil presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, membutuhkan rangkaian proses hukum dan politik. Hanya saja, kini pemakzulan bukan lagi sesuatu yang tak mungkin dilakukan.
Efek Domino
Sebagai putusan hukum yang memiliki implikasi politis, tentu putusan MK ini memiliki residu politik yang harus diantisipasi. Residu bawaan yang tak terhindarkan adalah merangsang “gairah nakal” para politikus petualang. Dengan kembali adanya peluang untuk melakukan pemakzulan presiden maupun wakil presiden, sangat mungkin dijadikan amunisi baru untuk jual beli kasus. Sudah menjadi pengetahuan umum, saat ini deretan kasus mengantre di penegak hukum. Misalnya, kasus mega skandal Century, kasus mafia pajak yang melibatkan Gayus, kasus Susno Duadji, dan sejumlah kasus lain.
Tak dipungkiri, sejumlah kasus itu memiliki irisan politik dengan orang atau sekelompok orang di partai politik. Berbagai kartu truf dikeluarkan para politikus untuk sama-sama mengamankan zona berbahaya yang mengancam kekuasaan mereka. Konfigurasi kekuasaan politik kita memang karut-marut. Tak cukup jelas, mana partai koalisi pendukung pemerintah dan mana yang benar-benar oposisi.
Sehingga, kita kerap menemukan jejak partai koalisi yang bercita rasa oposisi seperti dalam kasus Century. Sangat mungkin, peluang pemakzulan ini dimanfaatkan untuk menyandera sejumlah masalah yang melilit elite dalam praktik demokrasi kolusif.
Ciri menonjol pemerintahan SBY periode kedua adalah kekuasaan yang dibangun atas dasar koalisi besar. Tujuannya adalah meminimalkan konflik dan mereduksi kekuatan oposisi. Asumsi SBY, dengan koalisi enam parpol di parlemen sekaligus konsolidasi kekuatan di Sekretariat Gabungan (Setgab) telah menjadi garansi bagi kekuasaannya hingga 2014. Hanya saja, dinamikanya tidak demikian, sejumlah kasus membuat Setgab “meriang”. Terjadi sejumlah iritasi komunikasi di antara partai-partai pendukung pemerintah yang bergabung di Setgab akibat pertentangan kepentingan yang menyeret kekuasaan ke dalam transaksi-transaksi elite, meski jauh dari harapan publik.
Namun demikian, putusan MK ini sepatutnya kita lihat dari sisi positifnya yakni menumbuhkan optimisme perimbangan kekuasaan yang kembali akan mendapatkan tempat. Pemerintahan SBY-Boediono telah mengantongi modal politik memadai karena memenangi pemilu. Celakanya, alih-alih menciptakan zaken kabinet, yang ada justru obesitas birokrasi sekaligus menjadi penampungan sejumlah orang parpol. Sangat sulit memosisikan pendapat rakyat dalam fragmentasi kekuasaan politik yang hegemonik seperti sekarang.
Pemerintah tak bisa diingatkan karena tak cukup alat kendali yang efektif untuk mengevaluasi kinerja pemerintahan. Dengan putusan MK ini, tentunya DPR harus mengoptimalkan fungsi kontrol mereka terutama jika presiden dan wakil presiden melanggar aturan main yang disepakati dalam berbagai regulasi. Dialektika relasional antara DPR dengan pemerintah pascaputusan MK ini seyogianya bermanfaat untuk memperkuat sistem dan struktur politik kita.
Tulisan ini bisa diakses di web Sinarharapan:
http://www.sinarharapan.co.id/berita/content/read/dampak-politis-putusan-mk/
Sumber gambar: www.flickr.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar