Oleh : Gun Gun Heryanto*
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Republika, 12 Desember 2010)
Jerman di pengujung 2010 berselimut mendung dan beralaskan salju hampir sepanjang hari. Dingin menusuk tulang seakan menjadi penegas pergeseran empat musim di daratan Eropa.
Suhu yang berkisar antara 1 derajat hingga minus 7 derajat Celsius menghadirkan fenomena budaya berpakaian yang serba tertutup. Baju tebal, sal yang senantiasa melingkar di leher, penutup kepala, sarung tangan, dan sepatu bot panjang menjadi pemandangan yang biasa kita temukan di antara para pejalan kaki yang lalu lalang di berbagai ruas jalan.
City of Science
Gottingen, nama sebuah kota tua yang eksotis, multikultural, dan memancarkan aura mendalam penduduk pribumi terdidik dan memiliki kebanggaan atas setiap jengkal hamparan tanah mereka. Kota itu dikenal dengan sebutan city of science. Untuk mencapai Gottingen, dari Indonesia biasanya lewat bandara Frankfurt, salah satu metropolitan Jerman yang didesain menjadi kota perlintasan bagi banyak tujuan para pelancong ke kota-kota lain di Jerman.
Dua orang Jerman yang salah satunya penulis terkenal bernama Dr Fritz Schulze, ilmuwan ahli Asia khususnya tentang Indonesia dari Department of Southeast Asian Studies Universitat Frankfurt, menyambut penulis dengan sangat ramah.
Dia fasih sekali berbahasa Indonesia karena selain kajiannya soal Indonesia, juga kini beristrikan orang Padang, Sumatra Barat. Wajar, jika kini Fritz sangat 'mengindonesia', bahkan praktik bahasa tutur dan bahasa tubuh tertentu terasa high context culture seperti kebanyakan budaya berkomunikasi orang Indonesia. Dari Frankfurt, penulis naik kereta cepat ICE yang maksimum kecepatannya bisa mencapai 250 km/jam. Sepanjang perjalanan menuju Gottingen, hamparan tanah basah bekas hujan rintik dan pepohonan yang daun serta buahnya berguguran menjadi pemandangan utama.
Setelah melewati kurang lebih 26 terowongan, akhirnya kami sampai di stasiun Kota Gottingen. Penulis disambut hangat Prof Dr Irene Schneider, akademisi dari Georg-August Universitat Gottingen. Dia seorang ahli tentang dunia Islam, terutama mengkaji secara khusus soal hukum Islam. Melihat kondisi Gottingen, ingatan penulis melayang ke Kota Yogyakarta. Sebuah daerah istimewa yang bukan hanya kuat secara historis, melainkan juga kaya akan ragam budaya akibat berdatangannya banyak pelajar dan mahasiswa dari segenap penjuru Nusantara.
Seperti itu pula Kota Gottingen, banyak mahasiswa dari berbagai penjuru dunia datang dan belajar di sini. Mulai dari mahasiswa strata satu, program master, doktoral, dual degree program, maupun shortcourse. Sepanjang hari, pada 7 November, penulis bersama beberapa teman dipandu Prof Schneider melakukan city tour untuk mengetahui berbagai hal seputar Kota Gottingen.
Yang mengagumkan, Kota Gottingen sejak didirikan hingga sekarang senantiasa memelihara kotanya hanya sebagai kota ilmu. Dengan mudah, orang di Gottingen menyatakan profesi yang paling berpengaruh di Gottingen sekarang adalah ilmuwan.
Memang, jika berkeliling kota dengan berjalan kaki di sekitar kota seperti sepanjang jalan Papendiek, Garten, Weender, Friedrich, Weender dan sejumlah jalan lainnya tak akan kita temukan industri-industri besar di sana. Yang banyak kita temukan adalah gereja, toko buku, kampus, toko makanan, dan sejumlah toko-toko lain yang sejatinya masih banyak berhubungan dengan kehidupan kampus.
Pluralitas
Hal menarik lain yang bisa kita temukan di Gottingen adalah pluralisme beragama. Gottingen sangat ramah dengan keberadaan orang-orang berbeda etnis juga berbeda agama. Banyak orang-orang dari Arab Saudi, Pakistan, Irak, dan juga teman-teman dari Indonesia sangat nyaman berbusana Muslim dan tak merasakan sinisme atau perlakukan diskriminatif. Orang-orang Gottingen, baik pribumi maupun para pendatang sepertinya sudah sangat terbiasa menghormati perbedaan atas nama pengetahuan dan toleransi.
Senin, 8 November, penulis menghadiri forum diskusi dengan para peneliti dan mahasiswa program doktoral di Universitas Gottingen dan banyak berdiskusi dengan mereka. Di situ, saya mengetahui betapa banyaknya ilmuan dari dunia Islam yang studi di sini, antara lain, yang hadir pada kesempatan tersebut adalah dari Irak, Iran, Syiria, dan Pakistan. Mereka rata-rata studi soal Islam dengan pendekatan tradisi ilmiah Barat.
Menurut Prof Schneider, Islam dan dunia Islam telah mereka anggap sebagai sebuah kajian yang sangat istimewa. Banyak hal yang ingin mereka pelajari dari dunia Islam, mulai dari hukum Islam, politik Islam, ekonomi Islam, soal Alquran dan dinamika masyarakat di kawasan Islam. Oleh karena posisinya yang sangat penting itulah, Gottingen University sudah cukup lama membentuk secara resmi seminar fur Arabistik/Islamwissenschft semacam fokus kajian Islam yang di dalamnya terdapat sejumlah studi soal Islam dan dunia Islam. Misalnya, ada Iranian Studies, ada Arabic Language, dan lain-lain. Tak heran, banyak mahasiswa Gottingen University yang mahir berbahasa Arab dan familiar dengan banyak hal soal Islam.
Salah satu bukti mereka sangat perhatian soal Islam, pada 10 November 2010, pusat penelitian Gottingen University yang bernama Lichtenberg-Kolleg yang kini dikepalai oleh Prof Dr Dagmar Coester-Waltjen, menyelenggarakan seminar serius soal Islam bertopik "Islamic Law in Theory and Practice: Pakistan and England".
Ada dua pembicara utama, antara lain, Prof Dr Shaheen Sardar Ali seorang ilmuan keturunan Pakistan yang mengajar di Warmick School of Law, Inggris, dan Prof Dr Ralp Grillo dari University of Sussex, Inggris. Para partisipan yang hadir sangat beragam dari berbagai universitas terkenal di daratan Eropa. Dinamika diskusi menunjukkan Islam dipandang sebagai kekuatan penting dan kian berpengaruh dalam perbincangan dan praktik hak-hak asasi manusia, hukum, politik, dan sosial di dunia internasional. Mereka seolah mengamini bahwa wajah Islam radikal dan menakutkan hanya dilakukan oleh mereka para penyimpang yang sesungguhnya tak memahami Islam secara komprehensif.
Para akademisi termasuk Prof Irene Schneider dan Dr Fritz pun setuju, Indonesia kini bukan lagi wilayah pinggiran dalam kajian tentang dunia Islam. Oleh karenanya, mereka sangat berkeinginan memiliki Asian Studies termasuk kajian soal Indonesia karena dianggap sebagai negara Muslim terbesar di dunia yang sesungguhnya bisa melakukan banyak peran di dunia.
Prof Schneider memandang Indonesia ke depan bisa menjadi salah satu pusat penting kajian tentang dunia Islam. Mungkinkah Indonesia bisa menunjukkan posisi penting tersebut? Tentu jawabannya akan kembali pada keseriusan bangsa Indonesia dalam menghargai pengetahuan dan jaringan global serta tetap mempertahankan wajah Islam yang multikultural.
http://koran.republika.co.id/koran/153/124945/Wajah_Islam_di_Gottingen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar