Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Pikiran Rakyat, 24/02/2011)
Tarik-menarik kepentingan politik dalam rencana pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Pajak terjawab sudah. Pada Selasa (22/02), rapat paripurna DPR memutuskan gagalnya pembentukan Pansus Hak Angket Pajak melalui voting 266 suara tidak setuju dan 264 suara setuju. Inilah kegaduhan politik terbaru di Senayan, yang menjadi contoh dampak demokrasi kolusif berbasis jual-beli “pukulan”. Hal menarik yang patut kita cermati adalah, mengapa rencana ini gagal tidak seperti Pansus Century di waktu sebelumnya? Menarik juga membaca peta kekuatan koalisi pasca kegagalan usulan ini.
Penyebab Kegagalan
Kegaduhan rencana pembentukan Pansus Hak Angket Pajak ini bermula pada Senin, 21 Januari. Sebanyak 30 orang anggota DPR dari sembilan fraksi mengajukkan usulan pembentukan Pansus Angket Mafia Pajak kepada Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso. Namun, keesokan harinya, 8 orang angggota Fraksi Partai Demokrat menarik kembali dukungan dengan alasan persoalan pajak ini sudah ditangani panitia kerja (panja) yang dibentuk Komisi III dan Komisi XI. Grilya politik dilakukan para politisi terutama dimotori Partai Golkar, PKS dan Hanura. Melajunya usulan hingga ke paripurna menunjukkan pesan kuat bahwa fondasi koalisi dan setgab memang sangat rapuh. Masing-masing parpol anggota koalisi mengembangkan skenarionya sendiri-sendiri dan berupaya mengejar “setoran” baik citra, mekanisme pertahanan diri, hingga posisi dan daya tawar politik.
Paling tidak ada dua faktor yang menyebabkan kegagalan hak angket pajak ini. Pertama, merebaknya aroma kepentingan “sang penabuh gendang”. Dalam hal ini adalah partai Golkar. Tak bisa kita lupakan, Golkar telah sukses besar dalam drama kasus Century. Posisi tawar Golkar melejit bahkan kasat mata agenda-agenda penting Golkar banyak terakomodasi. Skeptisme atas inisiatif hak angket ini membesar karena kuatnya sinyal-sinyal skenario pragmatis.
Hal ini, tentunya dibaca oleh partai-partai non koalisi yang banyak belajar dari manajemen konflik saat Century. Penentu dalam voting kemarin adalah posisi Partai Gerindra. Andai saja Gerindra sikap politiknya memihak para inisiator pembentukan pansus, maka tentu ceritanya akan berbeda. Perbedaan suara yang tipis menjadi sinyal kuat, solidnya suara Golkar, PKS, PDIP dan Hanura.
Kedua, mentahnya isu sehingga tak menjadi snowball dukungan yang memiliki efek resonansi memadai baik di internal DPR sendiri maupun di luar. Opini yang berkembang di masyarakat lebih banyak curiga dan menggugat track record DPR dalam urusan seperti ini. Memang masifikasi isu dan dukungan publik, bukanlah faktor langsung dalam kegagalan pembentukan pansus. Hanya saja menjadi variabel antara yang sangat efektif menjadi daya dorong ledakan isu hingga berpotensi menjadi titik episentrum kepedulian dan rasa percaya diri para anggota DPR itu sendiri. Penggiat, pengamat dan para tokoh ormas banyak mengingatkan publik agar publik tak larut dalam euforia kohesivitas simbolik yang penuh kesia-siaan dalam rencana Hak Angket Pajak ini.
Saat Century, para inisiator hak angket sukses memberi kesan kepada publik bahwa upaya mereka direstui oleh para tokoh senior negeri ini. Sebut saja nama-nama seperti Gus Dur, Syafii Maarif, Din Syamsuddin, KH. Hasyim Muzadi, dll. Sehingga, hal ini menjadi kekuatan moral tersendiri bagi para inisiator untuk menyolidkan barisan. Proses “menggoreng” isu Hak Angket Pajak tak memperoleh antusiasme publik, sehingga tidak cukup kuat menjadi tekanan moral bagi partai-partai di DPR. Kita masih ingat, saat dukungan publik meluas atas rencana pembentukan Pansus Century, maka Demokrat tak bisa mengelak dan di injury time mau tidak mau harus mendukung. Tekanan publik seperti itu tak mengemuka dalam pengajuan hak angket pajak sehingga benteng pertahanan Demokrat yang disokong PPP, PKB,PAN plus Gerindra tetap unggul tipis.
Modal publsitas pembentukan pansus hak angket pajak ini kurang memadai baik di media massa maupun media jejaring sosial (social network). Media massa lebih berhati-hati bahkan kerap mencurigai bau busuk kepentingan di balik pembentukan hak angket. Diskursus di dunia maya pun nampak lesu, seolah menjadi penanda para partisipan dan aktivis cyberdemocracy di situs jejaring sosial tak lagi percaya pada prilaku para politisi Senayan. Hak angket mengalami delegitimasi dan memberi ruang bernafas bagi Demokrat untuk memenangi kontestasi.
Peta Kekuatan
Sesungguhnya jika meraba peta kekuatan, saat Century merebak kita bisa menangkap ketidaknyamanan SBY dan Demokrat atas “kenakalan” Golkar dan PKS. Namun, tak ada pilihan lain selain menerapkan zona of possible agreement. Politik akomodasi menjadi solusi meski jika para politisi Demokrat mau jujur, peristiwa Century telah menciderai dan menjadi duri dalam daging pemerintahan SBY periode kedua. Namun, pilihan aman menjadi putusan karena masih percaya Golkar maupun PKS merupakan kekuatan menentukan. Pertimbangan inilah yang membuat SBY harus merelekan diri berbagi kuasa dengan Ical dan Golkar.
Pergulatan hari ini tentu tak akan lepas dari investasi dan kontestasi menuju 2014. Setiap partai menggadang-gadang cara menumbangkan rival utamanya sejak dini. Golkar dan PKS merupakan kekuatan yang konsisten menjadi partai koalisi bercitarasa oposisi. Agenda Demokrat sekarang, tentu saja mengamankan pemerintah SBY-Boediono dari marabahaya. Posisi PDIP sudah sangat jelas yakni masih menghormati keinginan Megawati untuk tetap oposisi, meski banyak elit PDIP yang juga rindu masuk kekuasaan.
Pasca gagalanya Hak Angket Pajak ini, sangat mungkin dilakukannya reevalusi bangunan koalisi. Demokrat nampaknya akan lebih percaya diri dalam menentukan sikap tegas terhadap mitra koalisi yang kerap tak sehati. Belum matinya peluang bermitra dengan partai besar lain seperti PDIP dan partai menengah seperti Gerindra akan menghidupkan asa Demokrat berpaling dari Golkar dan PKS. Skenario lain, Demokrat tak menyatakan pecah kongsi tetapi diam-diam mereduksi kekuatan mitra “nakal” tersebut hingga menjelang 2014.**
Tulisan ini bisa diakses di web Pikiran Rakyat:
http://epaper.pikiran-rakyat.com/
Sumber Gambar:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar