Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Harian Seputar Indonesia, 19/1/2011)
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menuntaskan satu di antara bahasan paket Undang-Undang (UU) Politik yakni berkaitan dengan revisi atas UU No 2/2008 tentang Partai Politik.
Aturan main tentang parpol ini kini tertuang dalam UU No 51/2010. Hingga kini undang-undang ini masih melahirkan reaksi keras terutama dari kalangan parpol kecil yang merasa terancam keberadaannya. Meski demikian, seiring dengan pengesahan undang-undang itu,muncul juga fenomena konsolidasi kekuatan politik dari parpolparpol kecil untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan yang akan datang.
Perbaikan Parpol
Tujuh belas parpol kecil yang tergabung dalam Forum Persatuan Nasional (FPN) menganggap pengesahan undang-undang parpol ini tidak demokratis. Sejumlah aturan main dianggap secara sengaja telah “membunuh” parpol nonparlemen. Dinamikanya, kini mereka berupaya melakukan perlawanan hukum melalui judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Benarkah terjadi pembunuhan sistemik parpol kecil?
Tentu saja, pandangan ini tidak tepat.Upaya pengetatan aturan sesungguhnya menjadi keniscayaan jika kita berkeinginan memperbaiki kualitas sistem kepartaian. Di UU Parpol hasil revisi ini muncul sejumlah pengetatan aturan antara lain berkenaan verifikasi parpol baru maupun lama. Proses verifikasi oleh Kementerian Hukum dan HAM harus selesai 2,5 tahun sebelum pelaksanaan pemilu.
Artinya, sejak 17 Januari hingga paling lambat Agustus 2011,verifikasi harus sudah usai.Parpol yang tak siap memenuhi syarat-syarat yang diminta tak akan bisa menjadi kontestan pemilu. Misalnya, parpol harus memiliki kepengurusan di seluruh provinsi,75% kabupaten/ kota, serta minimal 50% kecamatan di seluruh Indonesia. Partai harus didirikan dan dibentuk oleh 30 orang serta didaftarkan minimal oleh 50 orang.
Sesungguhnya, jika dibaca dalam konteks perbaikan kualitas kepartaian dan perbaikan pemilu, waktu verifikasi 2,5 tahun sebelum hari H pemilu itu sudah tepat. Karut-marut verifikasi parpol menyumbang pada kekalutan persiapan penyelenggaraan pemilu secara keseluruhan. Bagi parpolparpol kecil,terdapat waktu untuk melakukan hitung-hitungan politik, apakah mereka sesungguhnya siap atau tidak menjadi kontestan pemilu.
Jika ternyata tak siap, cukup memberi kesempatan untuk menempuh strategi lain seperti melakukan agregasi kepentingan politiknya melalui parpol besar atau memutuskan penggabungan diri ke dalam kekuatan baru yang ditopang sejumlah parpol kecil yang saling memiliki kecocokan. Begitu pun bagi penyelenggara pemilu, jika verifikasi parpol sudah bisa diselesaikan jauh-jauh hari, mereka bisa fokus pada persiapan- persiapan lain.
Problem Pemilu 2009 dan sebelumnya, prokontra atas keikutsertaan parpol peserta pemilu, telah mengurangi fokus bahkan memiliki efek domino pada ketidakberesan persiapan lain yang sama pentingnya. Sebenarnya, ada dua hal yang harus dipertimbangkan oleh partai- partai kecil yang saat ini ada.
Pertama, pengetatan aturan main tentang parpol di UU No 51/2010 sepertinya sangat berat untuk direalisasikan parpol-parpol kecil terlebih jika parpolnya baru didirikan belakangan ini.Kedua,parpol kecil juga harus mempertimbangkan aturan lain yang sama beratnya ke depan, yakni terkait rencana kenaikan parliamentary threshold (PT) dari 2,5% ke angka yang lebih tinggi lagi.
Pasal 202 ayat (1) UU No 10/2008 tentang Pemilu Legislatif mengharuskan parpol yang tak memperoleh suara minimal 2,5% tak berhak mempunyai perwakilan di DPR. Sementara dalam pembahasan atas revisi UU No 10/2008 ini,wacana yang menguat adalah menaikkan angka PT meski besarannya belum disepakati di DPR.
Strategi Alternatif
Menjawab tantangan ini, parpol- parpol kecil sepertinya sudah mulai membuat strategi alternatif. Hal ini dapat kita baca melalui rencana 12 parpol dari 17 parpol kecil yang mengonsolidasikan diri di Forum Persatuan Nasional (FPN). Selain melakukan judicial review ke MK, mereka juga berencana menjajaki ada fusi parpol pada awal 2011.
Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Damai Sejahtera (PDS),Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI),Partai Persatuan Daerah (PPD),Partai Patriot,Partai Pemuda Indonesia (PPI).Selain itu, juga terdapat Partai Pelopor, Partai Kasih Demokrasi Indonesia (PKDI),Partai Indonesia Sejahtera (PIS),Partai Perjuangan Indonesia Baru (PIB), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Sementara lima parpol lainnya yang belum menyepakati rencana fusi adalah Partai Bintang Reformasi (PBR), Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK), Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN),Partai Matahari Bangsa (PMB),dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Dalam format fusi, parpol-parpol kecil itu akan melebur ke dalam wadah sekaligus identitas baru.
Fusi parpol ini pernah kita alami melalui ketetapan UU No 3/1975. PPP adalah hasil fusi dari Partai NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Sedangkan PDI merupakan hasil penggabungan dari PNI,Parkindo, Partai Katolik, IPKI, dan Murba. Seluruh satuan kekaryaan bergabung ke dalam Golongan Karya. Hanya,bedanya saat itu fusi dipaksakan oleh rezim Soeharto sebagai bagian dari korporatisme politik, sementara sekarang lebih karena pertimbangan strategis untuk mengantisipasi aturan main yang telah disahkan.
Tantangan terbesar dalam rencana fusi parpol-parpol kecil sekarang ini adalah pada kearifan politik elite mereka. Mampukah mereka melampaui fragmentasi kekuatan politik yang saat ini cair dan beragam? Hal tersulit adalah penyatuan secara formal organisasional dari mereka yang sebelumnya terpisah baik platform maupun kepentingannya masingmasing. Egoisme pragmatis kelompok harus ditekan sekaligus mengedepankan rasionalitas dalam hitung-hitungan politik ke depan.
Titik krusialnya adalah konsensus politik yang harus diformalkan dalam identitas baru jika memang menjadikan format fusi sebagai pilihan. Ide fusi ini sebenarnya sulit direalisasikan mengingat track record para elite parpol kita yang teramat sulit menyatu dalam satu wadah baru hasil peleburan faksifaksi yang sangat beragam di dalamnya.
Karena itu, parpol-parpol kecil juga seyogianya memikirkan alternatif lain selain fusi misalnya ide berkonfederasi dengan parpol besar yang memiliki irisan baik di level ideologi maupun platform partai. Proses konfederasi idealnya dilakukan sebelum pemilu sehingga parpol-parpol kecil itu tak perlu “berdarah-darah” memaksakan diri maju sebagai kontestan pemilu, tapi mengagregasi kepentingan mereka dengan parpol besar atau menengah yang dirasa cocok dengan mereka.
Hal ini pun memang butuh proses komunikasi politik yang tak mudah,namun lebih realistis dibanding peleburan identitas partai-partai secara formal dan struktural. Konsolidasi kekuatan parpol sekali lagi diperlukan untuk memperkuat sistem kepartaian kita. Karena itu,Kementrian Hukum dan HAM yang akan melakukan verifikasi juga harus serius. Jangan sampai aturan-aturan yang telah ditetapkan dilanggar atau diakali karena berbagai deal politik dan ketidaksiapan pemerintah.
Satu hal yang harus diberi catatan kritis adalah rencana Kementerian Hukum dan HAM yang hanya akan memverifikasi dokumen yang diajukan parpol dan tak akan melakukan verifikasi lapangan. Alasan untuk tidak ke lapangan sangat sederhana,yakni pekerjaan ini membuat capek dan mahal!
Tentu saja alasan ini menjadi rancu dan tak memiliki basis rasionalitas substantif dalam memandang verifikasi sebagai tindakan meneliti kelengkapan dan kebenaran syarat parpol.Kita tentu berharap tak lagi muncul akal-akalan dalam implementasi pengetatan syarat parpol karena hal ini akan menjadi godaan bagi parpol-parpol kecil yang akan berkonsolidasi untuk kembali ngotot menjadi kontestan pemilu.(*)
Tulisan ini bisa diakses di web Harian Seputar Indonesia:
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/376796/
Sumber Gambar:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar