Oleh : Gun Gun Heryanto*
(Telah Dipublikasikan di Harian SINDO, 16 November 2006)
Politik kerap kali didefinisikan sebagi “who gets what and when”. Sebuah upaya untuk mencapai kekuasaan, yang sejatinya memang mengiurkan setiap orang. Tak bisa dimungkiri, Bangsa Indonesia yang sudah bersepakat untuk belajar demokrasi melalui pemilihan langsung baik di tingkat pusat maupun daerah, sedang mengalami gegap gempita dan euporia pesta demokrasi. Bak permainan baru yang sedang digemari, energi masyarakat, banyak yang tersedot ke dalam rivalitas politik yang kian mengharu biru. Pilkada digelar dimana-mana, riuh rendah dukungan dan penolakan terhadap kandidat terpilih, seolah menjadi penanda paling nyata bahwa wilayah permainan dan rivalitas politik tak lagi tersentral di Jakarta. Melalui Pilkada langsung, hasrat politik sekian banyak orang dapat tersalurkan. Tentu, setelah mereka mampu bertarung dengan kandidat lain di sebuah era industri citra. Pertarungan yang masih didominasi oleh politik citra atau politik yang berporos pada popularitas kandidat di tengah massa pemilih.
Industri Citra
Realitas politik yang terjadi saat ini, menuntut para politisi perseorangan atau pun partai untuk memiliki akses yang seluas-luasnya terhadap mekanisme industri citra. Yakni, industri berbasis komunikasi dan informasi yang akan memasarkan ide, gagasan, pemikiran dan tindakan politik. Politik dalam perspektif industri citra merupakan upaya mempengaruhi orang lain untuk mengubah atau mempertahanakan suatu kekuasaan tertentu melalui pengemasan citra dan popularitas. Semakin dapat menampilkan citra yang baik, maka peluang untuk berkuasa pun semakin besar.
Hampir tak ada satu pun komponen-komponen sistem politik yang dapat meniadakan hubungan saling menguntungkan antara politisi dengan industri citra politik. Komponen seperti sosialisasi politik, rekrutmen politik, artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, pembuatan aturan dan pelaksanaan aturan dibentuk dan dilaksanakan melalui akses terhadap industri citra. Di antara industri citra yang sangat menonjol dewasa ini adalah industri media massa.
Kekuatan utama media yang tidak bisa dinafikan di era informasi saat ini yakni kekuatan dalam mengkonstruksi realitas. Artinya, kekuatan dalam mengemas berbagai isu yang ada, sehingga menonjol ke permukaan dan akhirnya menjadi perbincangan publik (public discourse) yang menarik. Banyak orang ataupun institusi sosial dan politik yang berkepentingan dengan media. Mereka berupaya memiliki akses untuk masuk dan mempengaruhi media, dengan asumsi penguasaan atas media akan menjadi pintu masuk dalam pengemasan dan penguasaan opini publik. Selanjutnya, dengan menguasai opini publik diharapkan akan mudah mengarahkan kecenderungan pilihan khalayak sesuai dengan yang diharapkan.
Opini dalam perspektif komunikasi dipandang sebagai respon aktif terhadap stimulus yakni respon yang dikonstruksi melalui interpretasi pribadi yang berkembang dari imej dan menyumbang imej. Oleh karena opini merupakan respons yang dikontruski, maka sangat stratagis jika politisi yang bertarung memiliki perhatian pada politik pengemasan opini. Paling tidak, ada tiga komponen utama di dalam sebuah opini. Pertama, keyakinan yang terdiri dari credulity atau soal percaya dan tidak terhadap sesuatu. Dengan marketing yang baik, khalayak akan digiring untuk mempercayai apa yang menjadi konsep dan tawaran kandidat. Semakin besar kepercayaan khalayak terhadap kandidat, maka opini yang berkembang akan semakin positif.
Kedua, di dalam opini juga terkandung nilai berbentuk nilai-nilai kesejahteraan (welfare Values) dan nilai-nilai deferensi (deference value). Nilai-nilai kesejahteraan antaralain pencarian kesejahteraan, kemakmuran, keterampilan dan enlightement. Sementara nilai-nilai deferensi antaralain penanaman respek, reputasi bagi moral rectitude, perhatian dan popularitas serta kekuasaan. Dengan memahami komponen-komponen nilai tersebut, kandidat seyogyanya memahami benar jika opini tidak bisa dibiarkan mengalir secara bebas, melainkan harus dikonstruksi. Tentunya dengan cara-cara yang elegan.
Ketiga, opini juga terdiri dari komponen ekspektasi. Yakni komponen yang berkaitan dengan unsur konatif. Ini merupakan aspek dari imej pribadi dan proses-proses interpretif yang terkadang disamakan oleh para psikolog sebagai impuls, keinginan (volition) dan usaha keras atau striving. Kesadaran untuk mengemas opini publik adalah kesadaran untuk menyelaraskan keinginan dan usaha keras pencapaian tipe ideal sebuah tatanan dengan tipe ideal yang diharapkan khalayak pemilih. Semakin luas arsiran wilayah harapan antara kandidat dengan pemilih, maka akan semakin besar pula peluang kandidat untuk memenangi pertarungan citra.
Publisitas Politik
Di hampir setiap penyelenggaraan Pilkada di berbagai daerah, hingga kini persoalan kampanye politik selalu menuai masalah. Polemik yang mempertanyakan legitimasi kapan sebuah kampanye boleh dan tidak boleh dilakukan. Tak hanya itu, batasan-batasan tegas apa yang dikategorikan sebagai kampanye dan bukan pun kerapkali menjadi persoalan yang pelik. Peraturan Pilkada selalu membatasi masa kampaye dari tanggal sekian hingga tanggal sekian, namun demikian berbagai langkah pemasaran politik (marketing of politics) berjalan jauh hari sebelum masa kampanye dimulai. Contoh yang sangat dekat dan menonjol akhir-akhir ini yakni Pilkada DKI, Pilkada Banten dan Pilkada Nanggroe Aceh Darussalam. Hampir tak ada satu sudut pun di area publik yang bebas dari terpaan pemasaran politik. Spanduk, giant banner, sticker dll., seolah-olah menjadi pemandangan yang lumrah dan realitas apa adanya.
Dalam perspektif komunikasi politik, kampanye termasuk ke dalam kategori penyampaian pesan politik. Aktivitas kampanye biasanya merupakan upaya sistemis, terencana dan terorganisir untuk mempengaruhi khalayak agar menjatuhkan pilihannya pada kandidat yang menjadi kontestan. Kampanye sebagian besar diorientasikan bagi publik umum. Mereka dipersuasi, dikenalkan dan diajak turut serta memilih salah satu kandidat. Sebuah upaya “menggarap” massa di luar kader yang sudah ditasbihkan menjadi loyalis partai atau ideolog-ideolog yang intensif bergerak di dalam wadah politik yang dimiliki kandidat. Dengan demikian, di dalam kampanye selalu terkandung ajakan untuk mendukung kandidat pada saat pemilihan.
Saat ini, sudah tidak zamannnya lagi jika kandidat Pilkada masih menganggap sosialisasi politik hanya terpaku pada kampanye politik dengan waktu yang dibatasi. Namun demikian, bukan berarti kandidat lantas boleh semena-mena menggunakan seluruh waktu dan ruang publik untuk menyeru khalayak agar memilihnya. Kita sepakat, jika kampanye dalam arti seruan eksplisit untuk mencoblos salah satu kandidat dibatasi waktu penyelenggarannya. Kita juga boleh sepakat jika ada ajakan, seruan ataupun intimidasi untuk memilih kandidat di luar waktu yang ditetapkan harus ditindak secara tegas. Akan tetapi kita juga harus hati-hati benar untuk tidak menghakimi kesadaran pemasaran politik modern sebagai pelanggaran.
Dalam pemasaran politik dikenal salah satunya adalah publisitas politik. Publisitas merupakan upaya mempopulerkan diri kandidat atau institusi partai yang bertarung. Ada empat bentuk publisitas yang dikenal dalam khazanah komunikasi politik. Pertama, dikenal sebagai pure publicity yakni mempopulerkan diri melalui aktivitas masyarakat dengan setting sosial yang natural atau apa adanya. Misalnya saja, bulan Ramadhan dan Idul Fitri merupakan siklus aktivitas tahunan sehingga menjadi realitas yang apa adanya. Kandidat bisa memanfaatkan kesempatan tersebut untuk memasarkan dirinya. Misalnya dengan mengucapkan “Selamat Menjalani Bulan Ramadhan” atau “Selamat Idul Fitri 1427 H” dengan embel-embel nama atau photo kandidat. Semakin banyak jenis bentuk pure publicity yang digarap, maka akan semakin populer kandidat.
Kedua, free ride publicity yakni publisitas dengan cara memanfaatkan akses atau menunggangi pihak lain untuk turut mempopulerkan diri. Misalnya saja dengan tampil menjadi pembicara di sebuah forum yang diselenggarakan pihak lain, menjadi sponsor gerakan anti narkoba, turut berpartisipasi dalam pertandingan olahraga disebuah daerah kantung pemilih dan lain-lain.
Ketiga, tie-in publicity yakni dengan memanfaatkan extra ordinary news (kejadian sangat luat biasa). Misalnya saja peristiwa tsunami, gempa bumi atau banjir bandang. Kandidat dapat mencitrakan diri sebagai orang atau partai yang memiliki kepedulian sosial yang tinggi sehingga imbasnya memperoleh simpati khalayak. Sebuah peristiwa luar biasa, dengan sendirinya memikat media untuk meliput. Sehingga partisipasi dalam peristiwa semacam itu, sangat menguntungkan kandidat.
Keempat, paid publicity sebagai cara mempopulerkan diri lewat pembelian rubrik atau program di media massa. Misalnya, pemasangan advertorial, Iklan spot, iklan kolom, display atau pun juga blocking time program di media massa. Secara sederhananya dengan menyediakan anggaran khusus untuk belanja media.
Dalam perspektif penulis, di era industri citra sekarang ini, berbagai langkah untuk memasarkan diri sebagai upaya sosialisasi politik merupakan hal yang lumrah dan sudah seharusnya demikian. Berbagai jenis media publisitas dapat digunakan secara elegan. Maksud elegan di sini artinya kandidat tidak merusak tatanan dengan membuat seruan, ajakan, atau justru intimidasi secara eksplisit untuk mencoblos. Seruan ekplisit mencoblos hanya digunakan saat masa kampanye berlaku. Mempersuasi tidak harus selalu menunjukan nomor atau kalimat ajakan mencoblos melainkan dengan cara memalingkan perhatian publik, lalu membuat diri mereka memiliki kepentingan dan hasrat yang sama, mengarahkan orang untuk menimbang kelebihan kandidat yang akan menjadi bekal keputusan mereka saat memilih. Semakin besar kesamaan dalam hal keyakinan, nilai-nilai dan ekspektasi khalayak maka semakin besar pula peluang kandidat memenangkan pertempuran.
3 komentar:
salam kenal Pak Gun Gun Heryanto,
saya Lianfi, mahasiswa tingkat akhir jurusan manajemen komunikasi Fikom,Universitas Padjdjaran. saya sangat tertarik dengan tulisan pak Gun Gun ini. Kebetualan skripsi saya juga berkaitan dengan marketing politik. kalau bapak berkenan, saya ingin memohon bantuan bapak untuk berkonsultasi langsung mengenai skripsi saya tersebut dengan pk Gun Gun. dan jika di izinkan, sebaiknya melalui media apa? terimakasih banyak sebelum nya..
hormat saya
Lianfi
citra politik untuk anak muda, mungkin itu yang sedang membooming.. tentu saja hal Itu akan diuji terlepas apakah oleh media dan politik. Tetapi sayangnya citra gagasan dan wacana yang
dibuat anak muda miskin publisitas pak! solusinya kumaha pak?
ilham
Pada saat ini marketing hanya digunakan secara sempit di dalam panggung politik (indonesia). Padahal marketing dapat digunakan dalam bentuk yang lebih luas, bukan sekadar kampanye. Keilmuan ini seharusnya dapat memberikan pandangan baru bagi partai untuk lebih "mendengarkan" aspirasi rakyat. Menjadikan voters sebagai subyek, bukan sebagai objek. Dengan begitu partai akan mendapatkan kepercayaan dari rakyat untuk dipiilih, bukan sekadar kampanye pencitraan, jadinya ga riil dong kalo cuma citra doang. Gimana pak? bukannya itu merupakan suatu pembodohan? kasihan dong masyarakat kalo cuma dibodohi....
hehehe..
Posting Komentar