Kamis, 06 Desember 2007

Pleonasme Simbol Kenegaraan

Maraknya aksi demonstrasi menentang kenaikan harga BBM, tarif dasar listrik dan telepon belakangan ini ternyata mengundang reaksi dari Megawati. Tentu saja, dalam kapasitasnya sebagai komunikator politik, pesan Mega menjadi sarat makna dan mempengaruhi diskursus publik. Layaknya proses komunikasi pada umumnya, komentar Mega kali ini juga berada dalam suatu konteks yakni ketidakharmonisan antara suprastruktur dan infrastruktur politik, dua aras pokok dalam jalinan komunikasi politik.

Simbol Kenegaraan
Di depan peserta Rakornas Sosialisasi Kebijakan Komunikasi dan Informasi di Istana Negara, Rabu (8/1) lalu, Mega menyesalkan aksi-aksi massa yang merusak simbol-simbol kenegaraan. Simbol-simbol yang dimaksud, antara lain bendera, foto dan patung kepala negara.
Dalam perspektif Mega, pembakaran seperti itu dinilainya tidak menghormati pemimpin bangsa dan hanya akan membuat bangsa Indonesia sulit menjadi bangsa yang utuh seperti Jepang dan Korea. Namun sebaliknya, dalam perspektif massa pengunjuk rasa, aksi tersebut merupakan pesan kekecewaan terhadap pemimpinnya yang tidak lagi peduli terhadap nasib bangsa yang kian sulit.
Yang menarik ditelaah dalam masalah ini adalah pemaknaan terhadap simbol itu sendiri. Merujuk kepada pendapat David K. Berlo (dalam Cangara, 2000 :102), simbol adalah lambang yang memiliki suatu objek, sedangkan kode adalah seperangkat simbol yang telah disusun secara sistematis sehingga memiliki arti. Foto dan Bendera bagi Mega merepresentasikan simbol kenegaraan yang memiliki arti otoritatif dan sangat politis. Oleh karenanya, mereka yang membakar simbol-simbol tersebut dipandang telah menghina negara dan pemimpinnya.
Simbol ibarat “citra” muncul dalam konteks yang sangat beragam dan digunakan untuk berbagai tujuan. Menurut Alex Sobur (2001: 44-45), sifat simbol itu mewakili sesuatu yang lain dan simbolisme dianggap sebagai usaha yang dilakukan dengan sengaja, terencana dan sangat diperhitungkan untuk menerjemahkan (secara mental) konsep-konsep menjadi istilah-istilah yang ilustratif, indriawi dan didaktis.
Banyak yang berpendapat bahwa hubungan antara simbol dengan yang disimbolkannya bersifat arbiter. Oleh karenanya, makna simbol itu menjadi interdependensi pada konvensi diantara sesama penafsir. Contoh kasus, dalam menentang masuknya Singapore Technologies Telemedia (STT) dalam kepemilikan 41,94 saham Indosat bisa jadi massa pengunjuk rasa yang membawa bendera merah putih menjadikannya sebagai simbol nasionalisme. Begitu juga saat kampanye 1999 lalu, banyak orang yang turun ke jalan dengan mengusung foto dan patung Mega maupun Hamzah. Simbol dalam konteks ini, adalah harapan rakyat akan terjadinya perubahan nasib yang mereka delegasikan lewat tokoh-tokoh tersebut.
Popularitas Mega hingga mendapat dukungan politik untuk menduduki jabatan presiden juga merupakan hasil dari interaksi simbolis. Saat itu, Mega adalah representasi wong cilik. Simbol perlawanan yang diusungnya, telah mengkonstruksi dia sebagai simbol perubahan kaum marginal.
Wajar disaat harapan rakyat akan perubahan nasib yang lebih berpihak kepada rakyat kecil tidak terpenuhi, mereka marah dan membakar simbol-simbol itu sebagai ekspresi kekecewaan. Konsekuensinya, semakin banyak kebijakan pemerintah yang mengecewakan, delegitimasi terhadap simbol-simbol kenegaraan juga akan semakin kuat.
Pleonasme Politik
Kebijakan pemerintah menaikan harga BBM, tarif dasar listrik dan telopon kali ini menunjukan terjadinya krisis komunikasi politik. Dalam situasi yang serba sulit, lahirnya sebuah kebijakan publik mestinya mengacu kepada mutual understanding antara rakyat dengan pemerintah. Artinya diperlukan optimalisasi komunikasi antara suprastruktur politik dalam hal ini pemerintah dengan rakyat sebagai infrastruktur politik.
Pemerintah mestinya melakukan sosialisasi yang rasional mengenai seluruh kebijakan yang menyangkut kebijakan publik. Hal ini penting guna meningkatkan loyalitas dan mendorong terwujudnya partisipasi masyarakat dalam mencapai tujuan nasional. Dalam kapasitasnya sebagai media penghubung, komunikasi mestinya dioptimalkan agar terjalin komunikasi timbal balik (two way Communcation) antara masyarakat dan pemerintah.
Perlu diberi catatan, pengharapan rakyat pada pemerintahan Mega-Hamzah adalah perubahan. Konsekuensinya, keberpihakan terhadap agenda reformasi dan rakyat kecil menjadi pertaruhan besar. Menurut Dan Nimmo, bagi komunikator politik, untuk menjadi pemimpin politik ia harus berprilaku sebagaimana yang diharapkan orang dari pemimpin. Pengikut mengaitkan kepemimpinan pada orang yang sesuai dengan pengertian mereka tentang pemimpin itu (Dan Nimmo,1993). Oleh karenanya, mustahil seorang pemimpin dapat mengkoordinasikan tata nilai politik dan ideliasasi sosial secara seimbang tanpa kemampuan mengoptimalkan komunikasi politik.
Kenaikan yang berbarengan, secara psikososial tentu saja membuat shock masyarakat. Hal ini dengan sendirinya menstimulasi kepanikan sosial akibat melambungnya berbagai kebutuhan pokok. Masalahnya justru bukan pada kenaikan tarifnya, tetapi pada timing dan prosesnya yang melawan logika publik. Resistensi dilakukan karena publik merasa pemerintah Mega-Hamzah sama halnya dengan pemerintahan sebelumnya tidak memiliki sense of crisis.
Pemerintah hingga saat ini, masih tetap pada keputusannya, meskipun hampir di setiap daerah aksi demonstrasi makin marak. Elemen mahasiswa, serikat buruk, asosiasi pengusaha dan lain-lain kompak turun ke jalan. Macetnya saluran komunikasi politik, dikhawatirkan makin memperkuat sikap skeptis rakyat terhadap lembaga-lembaga formal negara. Di sisi lain, pihak-pihak yang merasa kuat dan memiliki kekuasaan dikhawatirkan memaksakan kehendak dan kepentingannya lewat transformasi simbol-simbol politik.
Komunikasi politik semacam ini,meminjam istilah Novel Ali (1999) bisa menimbulkan pleonasme atau kemubadziran baik bagi sumber (komunikator) maupun sasaran (komunikan). Pleonasme memaksimalkan relasi antagonis dan meminimalkan sharing dalam pembentukan kebersamaan antara sumber dan sasaran. Pada akhirnya hal ini juga mengakibatkan pleonasme simbol-simbol kenegaraan, karena berbedanya tingkat apresiasi terhadap substansi makna simbol-simbol tadi.
Pleonasme bisa mendorong mencuatnya heteronomi komunikasi, dimana masyarakat bisa juga pemerintah kehilangan kemampuan untuk bertahan dari serangan informasi politik dan berada di bawah kekuasaan komunikasi politik (the power of political communication) yang sarat konflik.

Rhetorically sensitive
Untuk menghindari krisis komunikasi politik yang kumulatif Megawati maupun Hamzah Haz sudah semestinya mengkonstruksi diri menjadi komunikator ideal, yang menurut tipologi Roderick Hart (1972 : 75-91) sebagai tipe rhetorically sensitive. Menjadi komunikator yang sensitif retoris, artinya Mega dan Hamzah harus peka terhadap situasi yang berkembang. Sebagai individu tentu seorang pemimpin mempunyai kepentingan, tetapi dia juga mau dan mampu mendengar serta menerima input dari masyarakat. Dengan kepekaan terhadap situasi dan kondisi inilah, dia akan menuju kearah pemahaman yang lebih efektif dalam penerimaan ide-ide secara meluas.
Mega tidak perlu lagi khawatir akan terjadinya pleonasme simbol-simbol kenegaraan. Sebab hal ini hanya akan terjadi kalau pemimpin tetap bersikukuh dalam tipe noble selves, yang mengganggap dirinya superior sehingga tidak perlu melakukan adaptasi dengan rakyatnya. Pemerintahan Mega-Hamzah sebenarnya memiliki sumber daya politik yang cukup. Hanya saja, kalau tidak dimanfaatkan demi kepentingan rakyat, momentum itu akan berlalu tanpa keberhasilan apa-apa.

Sumber Rujukan
Ali, Novel, Peradaban Komunikasi Politik Potret Manusia Indonesia, Bandung : Rosadakarya, 1999
Cangara, Hafied, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000
Harta, Roderick P., and Don M Burks, “Rhetorical Sensistivity and Social Interaction,” Speech monoghraps 39, 1972
Nimmo, Dan, Komunikasi Politik, Tjun Surjaman (terj.), Bandung : Rosdakarya, 1993
Sobur, Alex, Analisis Teks Media, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2001

Tidak ada komentar: