Oleh : Gun Gun Heryanto
(Telah Dipublikasikan di Harian SINDO, Jum'at 30 Maret 2007)
Setiap Tanggal 30 Maret senantiasa diperingati sebagai hari Film Nasional oleh insan perfilman di Tanah Air. Sebuah momentum yang kerap digunakan untuk menjadi penanda akan eksistensi perfilman kita.
Secara historis, tanggal ini merujuk pada syuting hari pertama film Darah dan Doa karya Usmar Ismail produksi perdana Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini) yang didirikannya. Darah dan Doa yang mulai diproduksi 30 Maret 1950, memang bukanlah film pertama Usmar, karena sebelumnya dia telah menyutradarai Film Kredit Harta Karun (1949) dan Tjitra di tahun yang sama.Darah dan Doa pun bukan film nasional yang pertama, karena sejak 1926 sebuah film bisu berjudul Loetoeng Kasaroeng, telah diproduksi NV Java Film Company. Meski demikian, Darah dan Doa yang mengusung tema revolusi fisik bangsa Indonesia, mampu menghadirkan cita rasa atau representasi nasionalisme sehingga dianggap layak menjadi penanda kelahiran film nasional. Kini, setelah 57 tahun sejak kelahirannya, sudahkah film-film kita benarbenar menjadi lebih Indonesia?
Euforia Kebangkitan
Banyak orang menilai, film nasional telah bangkit dari keterpurukan. Indikator sederhananya, semakin banyak film nasional yang diproduksi dan menghiasi bioskop-bioskop kita. Bahkan, beberapa sineas muda dengan sangat percaya diri menyatakan, maraknya film kita akhir-akhir ini sebagai penutup lembar buram film nasional, sekaligus membuka pintu lebar-lebar pencerahan dan kegairahan. Di satu sisi,kita memang patut mengapresiasi fenomena tersebut. Paling tidak,telah banyak generasi baru sineas yang muncul dan menelurkan karya. Usmar Ismail, Teguh Karya, Arifin C Noer, juga tokoh-tokoh senior lainnya kini telah diteruskan Garin Nugroho, Mira Lesmana,Riri Reza,Nia Dinata,Rizal Mantovani,Rudi Soedjarwo,Hanung Bramantyo, dan sederet nama lain dengan berbagai pilihan genre yang menjadi identitas mereka.
Di sisi lain, kita juga perlu mewaspadai agar kebangkitan film nasional ini tak sekedar euforia. Banyak bukti bahwa kita kerap terlena dengan maraknya film nasional, hingga kita lengah untuk menjaga konsistensi. Dunia perfilman kita bangkit dan hanya bertahan lima atau maksimal sepuluh tahun. Setelah itu, kembali tersungkur bahkan pernah hingga mencapai titik nadir. Sekadar mengingatkan, pada 1941 tercatat ada sekitar 41 judul film nasional den0gan Terang Boelan sebagai film yang terpopuler.
Ini tak bertahan lama, karena sejak 1942 hingga 1950 mengalami paceklik. Di kurun waktu ini, krisis produksi masih bisa dimaklumi karena memang kolonial Jepang telah mengebiri semangat kebebasan dengan hanya membolehkan lahirnya film-film yang bersedia menjadi aparat ideologi negara (ideological state apparatus). Pada 1955 tercatat ada sekitar 65 judul film dan gairah timbul menggelegak berbarengan dengan diselenggarakannya Festival Film Indonesia yang pertama kali.
Sepuluh tahun kemudian, film kita kembali terpuruk bahkan bisa dikatakan mati suri berbarengan dengan krisis politik yang melanda negeri ini. Era 1970 hingga 1980 dengan maraknya tema-tema seks, film kita kembali mengalami grafik peningkatan.Tercatat ada sekitar 604 judul film yang turut meramaikan kegairahan ini. Namun pasca itu, film kita kembali tertidur lelap dan baru terbangunkan oleh gelombang deras era digital di tahun 1990-an. Dari 1990 hingga 2000,industri film kita pun timbul tenggelam bahkan sempat beberapa kali terpuruk karena digerus kekuatan dahsyat produk-produk film Hollywood, Bollywood dan China. Pada 2001 hingga sekarang, film nasional dapat dikatakan sedang menikmati kembali euforia kebangkitan.
Dominasi dan politik koorporatif negara yang kian melemah akibat munculnya gelombang reformasi, turut menyemaikan sineas-sineas ”generasi baru” yang menawarkan tawaran ide lebih beragam. Mulai romantisme cinta remaja seperti AADC, politik seperti Gie, satire sosial seperti Arisan dan Berbagi Suami dan tentunya sederet film horor yang seolah membawa kita kembali ke era Suzana.Sampai kapan kebangkitan film kita ini akan bertahan? Tentunya kita perlu mewaspadai catatan sejarah film kita, supaya kita tak hanya memaknai kebangkitan sebagai euforia semata.
Horor vs Rasionalitas
Hari Film Nasional kali ini ditandai juga dengan bangkitnya hantu-hantu dari kubur, pocong, sundel bolong, kelong wewe, kuntilanak, dan sejumlah setan-setan lain yang bergentayangan di hampir seluruh bioskop.Mereka menebar ketakutan, mistik dan di level tertentu juga kerap menihilkan rasionalitas penonton.Tak salah juga jika kita katakan, saat ini adalah era kebangkitan kembali film horor nasional. Apa kira-kira yang melatarbelakangi maraknya film-film horor belakangan ini? Kurang lebih ada empat faktor yang mempengaruhinya. Pertama, ketakutan yang ditebar film horor, secara komersial memang menguntungkan bagi si pembuat film.
Menurut catatan beberapa media, film Bangku Kosong misalnya, ditonton kurang lebih 880 ribu penonton, Kuntilanak ditonton 1,3 juta orang, Jelangkung (2001) ditonton 1,5 juta orang, Tusuk Jelangkung (2002) ditonton 1,3 juta orang. Belum lagi pendapatan diperoleh dari VCD dan DVD yang juga dijual ke pasaran. Kedua, biaya produksi rata-rata film horor jauh lebih murah. Hal ini karena kebanyakan film horor tidak memasang artis-artis ”kelas atas”, melainkan banyak menggunakan artis baru yang sebelumnya tak pernah dikenal.Jika pun memasang artis yang mahal, jumlahnya dapat dipastikan tak akan sebanyak film jenis drama percintaan atau satire sosial dan politik.
Konsep minimalis bujet juga dapat diwujudkan dengan baik, karena film-film horor dapat mengurusi banyak hal menyangkut unsur drama yang menakutkan lewat rekayasa pasca produksi. Dengan ongkos yang relatif lebih murah, terjadilah logika hukum pasar yakni dengan modal sekecil-kecilnya berupaya memperoleh keuntungan yang sebesarbesarnya. Jika bisa membuat film dengan murah dan menguntungkan, mengapa pilih yang mahal? Ketiga, bisa jadi film-film horor ini pun lahir dari proses komodifikasi mistisme yang tumbuh subur dari tradisi tutur masyarakat.
Cerita tentang sundel bolong, pocong, genderuwo, leak, dan lain-lain selalu mendapat ruang di dalam perbincangan sehari-hari masyarakat. Meski perbincangan tentang hal ini sering absurd dan tidak rasional, masyarakat seolah mempercayainya sebagai realitas objektif yang apa adanya. Tradisi tutur ini,selalu disosialisasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya, sehingga fenomena seperti ini memudahkan pembuat film untuk mengubah ”realitas objektif” mistisme yang seolah-olah apa adanya itu untuk kemudian menjadi realitas simbolis yang dipasarkan. Keempat, bisa jadi maraknya film horor juga dipengaruhi semacam pelarian masyarakat dari realitas sosial yang carut-marut. Hingga level tertentu, himpitan sosial, ekonomi, dan politik yang berkepanjangan memunculkan gejala kejenuhan di masyarakat.
Akibatnya, mistik meskipun irasional menjadi satu di antara pilihan untuk relaksasi.Dengan membangun ketakutan bersama-sama,teriak bersama-sama, dan mendramatisasi setan-setan gentayangan, seolah-olah dapat memunculkan kepuasan tersendiri. Sebagian besar film-film horor itu telah memberikan kontribusi pada institusionalisasi mistik dan irasionalitas. Meskipun ada satu dua film horor yang mencoba untuk mengetengahkan cita rasa ilmiah dan modern,para sineas kita seyogianya turut mendukung dan mengawal perubahan masyarakat kita yang sedang mengalami transisi dari kultur agraris ke masyarakat informasi industrial.
Caranya, tentu lewat karya-karya film yang cerdas, berkualitas dan menjadi inspirasi bagi masyarakat untuk bergerak menuju pencerahan dan perubahan.Hal ini penting untuk selalu kita ingat, agar saat ini dan ke depan kita dapat melihat bangkitnya film nasional bukan sekadar bangkitnya film horor nasional.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar