Oleh : Gun Gun Heryanto
Jakarta sebagai kota metropolitan, layaknya sebuah latar dari pentas drama kehidupan. Penggalan cerita kekerasan, keangkuhan, pertaruhan nasib dan mimpi semuanya dikonstruksi yang dalam perspektif interaksionisme simbolis (Stephen W. Littlejohn, 1998), menjadi arena orang belajar dari pengalaman. Struktur dan institusi sosial tercipta dari adanya pertukaran simbol-simbol dalam kelompok sosial. Dari konstruk tersebut, tindakan sosial menjadi konsep dasar yang memediasi hampir seluruh proses psikologis dan sosial lainnya. Tindakan lebih jauh dilihat Burke salah seorang tokoh interaksionisme simbolis sebagai konsep dasar dalam dramatisme. Dengan demikian penting kiranya, menempatkan perbincangan Jakarta sebagai drama masyarakat metropolitan dalam suatu setting diskursus komunitarian.
Socio-cultural Animocity
Jakarta semakin banyak melibatkan aktor yang bermain. Meskipun secara real, kebutuhan dan kapasitas wilayah Jakarta untuk menjadi panggung kehidupan semakin terbatas. Dari jumlah 435.000 jiwa pada tahun 1930, menjadi 9,8 juta (1995), dan sekitar 12 juta jiwa saat ini. Setiap tahun diperkirakan 200.000 hingga 250.000 orang pindah ke Jakarta. Upaya Pemerintah DKI sendiri dalam menekan laju pertumbuhan penduduk hanya bisa 0,16 persen pertahun. Dapat kita bayangkan ekses yang diakibatkannya, terjadi paradoks antara imagined city yang bercirikan good society yang semakin mengarah ke utopia, dengan self destroying society yang semakin menemukan bentuknya di masyarakat metropolitan.
Akar masalah yang menyebabkan semakin parahnya dehumanisasi pada masyarakat metropolitan sekarang ini, adalah masalah Socio-cultural animosity. Yakni suatu kebencian sosial dan budaya yang bersumber dari perbedaan nasib yang dikonstruksi oleh sejarah masa lalu. Terkandung unsur keinginan balas dendam yang memunculkan tidak hanya manifest coflict tetapi juga yang lebih berbahaya lagi, yakni hidden atau latent coflict.
Konflik tersembunyi ini bersifat laten karena terdapat sosialisasi kebencian yang berlangsung di hampir seluruh pranata sosialisasi di masyarakat. Keluarga, sekolah, kampung, rumah ibadah, ormas, orpol, termasuk media massa melakukan terpaan secara terus menerus.
Munculnya konflik itu bisa disebabkan beberapa faktor. Diantaranya, pada masyarakat Jakarta yang heterogen terlanjur berkembang simbol-simbol privalege yang menjadi mitos dan streotif kelompok tertentu. Orang cina, kristen, militer akar etnis berlainan seperti Jawa, Minang, Makssar, Bugis dan lain-lain. Contoh paling kolosal, saat terjadi akumulasi kemarahan massa 13-15 Mei lalu, maka kebencian yang tersembunyi itu, tersalur dengan penyerangan, penjarahan dan pembunuhan terhadap etnis cina. Secara materi, berdasarkan informasi mengakibatkan kerugian 2,5 triliyun (Kompas, 18 Mei 1998). Selain tentu saja kerugian yang lebih besar yakni terganggunya nilai-nilai ideal kemanusiaan. Bisa jadi, ini hanya merupakan salah satu contoh ledakan dari ledakan-ledakan besar yang sudah dan akan terjadi.
Faktor lain yang memunculkan animocity, bisa juga dipengaruhi proses integrasi yang belum tuntas. Mengadopsi integrasi dari Etzioni (1993), terdapat model-model integrasi. Model integrasi normatif, yaitu integrasi yang berakar pada kesepakatan dan kepatuhan yang membudaya terhadap nilai-nilai dan norma tertentu. Integrasi ini mempunyai hubungan timbal balik dengan adanya rasa senasib, cita-cita bersama dan ikatan solidaritas. Integrasi model ini sekarang sudah hilang di masyarakat Jakarta. Kalaupun ada, sangat terbatas pada kelompok kecil yang terpisah-pisah.
Secara sosiologis seseorang akan patuh pada nilai-nilai dan norma yang ada bila ia memiliki rasa bersalah (guilty feeling), rasa malu (shame feeling) dan rasa takut (fear) serta kontrol yang terjadi dalam diri setiap orang (inner control). Sikap ultra individualisme telah terinstitusionalisasikan secara baik sehingga ikatan solidaritas menjadi sangat lemah.
Model integrasi lainnya, adalah integrasi fungsional. Yakni integrasi yang berdasar pada rasa saling membutuhkan dan ketergantungan fungsional antar kelompok. Banyak kasus yang mengakibatkan integrasi model ini terganggu. Misalnya saja kasus bisnis yang berjalan tidak sehat. Banyak perusahaan di Jakarta yang lahir dan tumbuh sarat dengan KKN, sehingga corporate culture yang dibangun tidak menciptakan hubungan fungsional yang utuh. Banyak terjadi kesenjangan yang secara psikologis menumbuhsuburkan keakuan.
Integrasi yang dominan dalam kondisi seperti ini, justru integrasi koersif yakni integrasi yang belandaskan pada kekuatan yang tidak bisa dihindarkan (memaksa) dari suatu kelompok dominan terhadap lainnya. Misalnya saja, dapat kita amati saat Forum Betawi Rembug (FBR), memaksa “ketaatan” masyarakat miskin perkotaan terhadap eksistensi Sutiyoso, dengan cara tidak mengotak-atik LPJ-nya.
Sentralisasi Kapital
Daya tarik Jakarta berkaitan dengan tingginya peredaran uang. Lebih dari tiga dekade pemerintahan Orde Baru, dua pertiga investasi asing yang masuk ke Indonesia di tanam di Jakarta. Pada saat yang sama, 45 persen investasi dalam negri juga ditempatkan di Jabotabek. Dengan demikian Jakarta antraktif bagi investor karena merupakan pusat administratif, politis, ekonomi dan kebudayaan.
Terjadinya sentralisasi kapital ini, bukan tanpa masalah. Orang daerah berbondong-bondong datang ke Jakarta dengan tujuan memperbaiki nasib. Mereka di satu sisi tidak bisa dipersalahkan sebab memang secara real mimpi perbaikan nasib itu diarahkan ke Jakarta. Disisi lain, SDM berkualitas di daerah habis tersedot ke pusat, sehingga daerah tidak bisa mengoptimalkan diri.
Prinsip Komunitarian
Untuk membangun good seciety di Jakarta perlu kiranya kita mengukuhkan kembali prinsip komunitarian. Prinsip yang banyak diinspirasikan dari Konsep Walter Lippman (1937). Prinsip ini menurut Etzioni (1993) berupa kesepakatan manusia untuk menciptakan moral baru, kehidupan sosial dan keteraturan publik berdasarkan pada penguatan nilai “kebersamaan”, tanpa adanya puritanisme dan penindasan.
Yang penting dari prinsip ini, masyarakat metropolitan perlu mengimbangi nilai keakuan yang telah berakar, dengan nilai-nilai kekitaan yang bersifat komunitarian. Artinya kekitaan yang tidak menindas keakuan, dengan kata lain adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban. Prinsipnya antara lain, anti puritanisme, merancang secara hati-hati kewenangan dan kekuasaan untuk pemerintah. Dalam prinsip komunitarian, institusi pendidikan juga bisa menjadi agen pendidikan moral tanpa mengindoktrinasi. Warga harus memperkuat kehidupan komunitas tanpa menjadi orang fanatik dan saling bermusuhan terhadap komunitas lain. Perjuangan kepentingan pribadi dalam prinsip ini,harus diimbangi dengan komitmen pada komunitas. Oleh karenanya kerakusan individu yang tanpa batas harus diganti dengan kepentingan pribadi yang bermanfaat secara sosial dan memperoleh peluang yang disyahkan oleh masyarakat.
Pembangunan oleh pemerintah harus mengacu pada konsep people centre development dan Reinventing Government yang menekankan bahwa tugas pemerintah adalah memberi daya (empowering) dan memberi kemudahan (facilitating) dengan cara memberikan informasi kepada komunitas dan mengikut sertakan mereka menjadi partisipan yang proaktif. Pemda DKI sudah memiliki perangkat perundang-undangan yang menjadi landasan dan pedoman bagi pelaksanaan pembangunan jangka panjang (20 tahun) dan menengah (10 tahun), tinggal kesadaran para penyelenggaranya untuk lebih memanusiawikan prosesnya.
Penyakit sosial berupa anomie (normlessness) atau kekaburan antara apa yang benar dan salah, yang meluas di kalangan masyarakat bisa dihindari dengan adanya penegakan hukum yang tidak diskrimatif. Menuju masyarakat komunitarian pada masyarakat metropolitan bukan lagi sutau keinginan yang idealis tetapi kebutuhan yang realistis bahkan strategis.
Daftar Bacaan
Littlejhon, Stephen W. Theories of Human Communication, Albuquerque New Mexico : Wadsworth Publishing Company, 1998
Etziani, Amitai. The Spirit of Community : The Reinvention of American Society, New York : Touchstone. 1993
Kompas, 18 Mei 1998
Tidak ada komentar:
Posting Komentar