Oleh Gun Gun Heryanto
Tahun 2007 segera berlalu, meninggalkan beragam cerita yang tak pernah ada habisnya. Penggalan cerita yang disuguhkan berbagai televisi kita kian beragam, mulai dari hingar-bingar politik, fenomena kekerasan, mistik, binalitas, hingga sejumlah kontroversi seputar figur dan selebriti yang memuncak di penghujung tahun. Sekilas, nampak tak ada masalah apa pun, karena televisi telah menjadi pola hidup dan menu tontonan harian keluarga.
Bagi sebagian besar masyarakat kita, televisi telah menjadi oase dalam proses relaksasi dari kepenatan dan himpitan masalah sosial yang begitu menumpuk. Televisi telah sukses memerankan dirinya sebagai penghibur, yang meninabobokan kesadaran khalayak. Keindahan dan kompleksitas dramaturgi yang dibangun dalam realitas simbolik televisi telah menghipnotis masyarakat, sehingga mereka tuna kuasa untuk melakukan kritik atas hegemoni ketidakpatutan yang kerapkali terlembagakan. Meski di satu sisi, si kotak ajaib ini merupakan instrumen modernisasi dan demokrasi yang sangat penting, namun di sisi lain juga telah memerankan diri sebagai aparat ideologi dari kekuatan pasar maupun negara yang turut membentuk kesadaran manusia satu dimensi (one dimensional man).
Celebrity Effect
Mengamati dunia televisi kita sepanjang tahun 2007, nampak kian menguatkan tesis Douglas Kellner dalam bukunya Television and the Crisis of Democracy (1990) yang menyatakan tingkah laku industri penyiaran akan semakin ditentukan oleh the logic of accumulation and ecxlusion. Ini merupakan “konstitusi” rejim kediktatoran pasar yang menonjolkan kompetisi dan hak akumulasi modal sebebas-bebasnya. Apapun programnya, selama menghasilkan uang akan dianggap sebagai sesuatu yang “alami, wajar dan sudah seharusnya demikian”. Dunia televisi kita, hingga penghujung tahun ini masih mengusung berbagai fenomena ketidakpatutan yang diproduksi dan reproduksi secara massal.
Sepanjang tahun ini, isi televisi kita makin didominasi oleh maraknya infotainment dengan segala diversifikasi programnya (talk show, reality show dll.) yang memaksa isu-isu privat menghegemoni isu-isu publik. Betapa luar biasa gamblangnya televisi kita memberitakan perselingkuhan, skandal,poligamy,kematian dan sederet kasus lainnya. Tentu saja, pembingkaian kontroversi yang dilakukan oleh televisi kita perlu dikritisi bersama. Pertama, banyak program infotainment yang tak lagi mengindahkan etika profesi kewartawanan. Kalau pencarian berita seputar selebritis diklaim sebagai jurnalisme infotainment, mengapa banyak sekali kaidah-kaidah normatif publikasi berita yang melanggar kepatutan ? Misalnya saja, banyak infotainment yang mengumbar keseronokan secara kasat mata, saat memberitakan kasus Yahya Zaeni dan Maria Eva tahun lalu.
Kita dapat memahami bahwa berita harus selalu mengusung fakta. Namun jika fakta adegan cabul dalam video mesum pelaku ditampilkan secara gegabah, intensif dan serempak, bukankah ini akan memiliki dampak kuat yang negatif. Televisi kita telah menerapkan prinsip konsonansi, yakni isi informasi tentang suatu hal yang disampaikan oleh berbagai media massa secara serempak dan nyaris seragam baik isi, arah, frekuensi maupun cara penyajiannya.
Bisa dibayangkan, jika berita cabul dengan potongan-potongan gambar seronok tersebut ditayangkan di waktu-waktu yang memang bisa diakses oleh segala umur, bukankah hal ini dapat menstimulasi khalayak untuk berperilaku sama? Sekilas nampak positif, seolah televisi menjadi alat sosial kontrol atas prilaku tak senonoh anggota DPR dan artis dangdut tersebut. Namun, jika ditelaah lebih mendalam justru akan mengkondisikan juga prilaku imitasi.
Menurut Miller dan Dollard dalam teori reinforment imitasi (1941) menyebutkan, imitasi itu dapat dilakukan melalui matched-dependent behavior. Seorang individu belajar untuk menyamai tindakan orang lain (model atau si pemimpin) melalui proses instrumental conditioning. Cara vulgar media menampilkan video mesum tersebut dan porsi ulasan berlebih yang menyulap Maria Eva mendadak populer serta ”untung” karena undangan dari berbagai stasiun televisi, dapat menjadi instrumen yang mengkondisikan prilaku imitasi.
Dalam hal ini, layak kiranya kita mengutip pendapat Bandura (1969) tentang inhibitory & disinhibitory effect (efek malu dan tidak malu). Inhibitory merupakan efek yang menyebabkan orang lain yang menyaksikan perilaku tertentu menjadi malu dan menahan diri untuk mengulangi perbuatan yang sama. Sedangkan disinhibitory merupakan efek sebaliknya yang menyebabkan orang tidak malu untuk mengulanginya. Jika televisi kita menjadi instrumen yang mengkondisikan perilaku-perilaku seperti itu sebagai ”ladang menguntungkan” dan memperpendek jalan merengkuh popularitas, tidak mustahil akan lahir kasus serupa di masa mendatang dimana pelakunya tak sedikit pun dihinggapi rasa malu.
Kedua, yang harus dikiritisi adalah proporsionalitas waktu tayang. Keseharian kita tahun ini, bahkan mungkin tahun 2007 pun tak akan jauh berbeda, dikepung oleh berbagai jenis infotainment dengan segala bentuk kemasannya. Pagi, siang, sore, hingga larut malam program ini dijual habis-habisan oleh televisi kita. Kontroversi poligamy AA Gym dan misteri kematian Alda Risma misalnya, sangat mendapat porsi berlebihan mengalahkan bencana lumpur panas Lapindo Brantas, Pilkada Aceh, bencana banjir dan longsor di Sumut dll.
Tak dapat dipungkiri, program infotainment yang sarat drama, kontroversi dan sentuhan emosional ini, memang menguntungkan secara bisnis. Namun demikian, ada baiknya para pekerja media pun menyadari eksistensi media sebagai public sphere. Dengan demikian, jangan sampai televisi kita terlampau didominasi oleh isu-isu privat hingga mengalahkan isu publik. Terlebih, jika untuk memperkuat unsur dramatisnya, isu-isu tersebut diarah-arahkan, diplintir, dieksploitasi sesuai skenario si pembuat berita. Ada baiknya media juga meraba dampak pemberitaan dari perspektif yang diberitakan.
Peran Media
Catatan akhir tahun lainnya yang menonjol di televisi kita adalah paradoks peran media di masyarakat. Televisi yang seharusnya menjadi media edukasi dan informasi, malah menjadi institusi paling berpengaruh dalam mencangkokan nilai-nilai kekerasan dan budaya instan.
Jhon Sinclair dkk., dalam bukunya New Patterns in Global Television : Peripheral Vision (1996) menyebutkan, bahwa televisi merupakan medium cangkokan yang megah. Pemikiran ini beranjak dari kenyataan hampir seluruh isi media merupakan cangkokan antara muatan lokal dengan berbagai komoditas isi yang dikehendaki struktur pasar global.
Dua penanda yang menonjol dari hasil cangkokan tersebut yakni kekerasan dan budaya hedonis yang bertumpu pada kesadaran instan. Penanda pertama, telah melahirkan banyak korban misalnya tayangan program smackdown produksi World Wrestling Entertainment (WWE) serta semua program sejenis antaralain After burn, Raw, Bottomline, Heat, Experience, Extreme Championship Wrestling. Acara kekerasan pun tersebar di berbagai tayangan berita kriminal yang menghiasi hampir seluruh televisi kita.
Penanda kedua, berbagai televisi kita sepanjang tahun ini masih melembagakan berbagai cara instan mencapai kesuksesan. Berbagai ajang pencarian bakat super instan, maraknya kuis berhadiah milyaran rupiah, mengadu nasib melalui sms atau premium call dan sejumlah instrumen pembentuk kesadaran palsu lainnya telah membius khalayak untuk senantiasa menjadi loyalis yang tidak memiliki daya kritis.
Tentu saja, kritik atas kinerja televisi kita sepanjang tahun 2007 ini, tidak serta merta menihilkan peran penting yang telah dimainkan oleh media dalam membangun peradaban masyarakat. Selalu ada jalan tengah antara ekstrim liberal media yang berporos pada logika keuntungan dan ekstrim otoritarian media yang berporos pada logika kekuasaan, yakni tanggung jawab media yang berporos pada logika hak-hak publik untuk mendapatkan program yang berkualitas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar