Oleh : Gun Gun Heryanto
(Telah Dipublikasikan di Jurnal Fakultas Psikologi UIN Jkt)
ABSTRAK
Konstruksi realitas simbolik yang ditayangkan Media televisi dewasa ini, sangat berpengaruh tak hanya di level persepsi melainkan juga prilaku khalayak. Terpaan media yang terus menerus, kerapkali mensubordinasikan kesadaran khalayak pada kesadaran yang dibentuk dan diinginkan media. Terlebih di sebuah masyarakat yang tingkat media literacy (melek medianya) rendah. Wajar jika Erich Fromm menyebut industrialisme sejak abad ke dua puluh telah menciptakan tipe psikologis baru yakni homo consumens. Kebutuhan bagi konsumsi massa distimulasi dan dimanipulasi dengan iklan. Masyarakat senantiasa diserbu berbagai tawaran produk dan jasa dari berbagai perusahaan melalui tayangan iklan di media massa. Sehingga khalayak menjadi konsumen dari sesuatu yang diinginkan bukan dari sesuatu yang dibutuhkan.Salah satu faktor penyebabnya tentu saja karena media telah mengintegrasikan diri ke dalam sistem industri kapitalisme yang menyediakan tempat bagi promosi produk dan jasa tak hanya dari korporasi level domestik melainkan juga internasional.
Keywords : Iklan Komersial, Media Televisi, Homo Consumens, Kapitalisme, Regulasi Media
Pendahuluan
Hal yang menarik dikaji dalam pembahasan televisi sekarang ini, adalah fenomena komersialisasi yang mengintegrasikan media ke dalam sistem kapitalisme. Secara umum, televisi memiliki keterkaitan dengan industri pasar. Konsekuensinya, media berorientasi pada keuntungan dan akumulasi modal serta sensistif terhadap dinamika persaingan pasar.
Oleh karena media mengintegrasikan diri ke dalam aktivitas industri, Albarran (1996 : 5) mendekati fenomena ini dari perspektif media economic. Ini merupakan studi tentang bagaimana industri media menggunakan sumber-sumber yang terbatas jumlahnya untuk memproduksi content yang didistribusikan kepada konsumen dalam masyarakat guna memuaskan beragam keinginan dan kebutuhan. Pendekatan media economic akan membantu kita dalam memahami hubungan antara produsen media terhadap audiensnya, pengiklan dan masyarakat.
Mengelaborasi dampak iklan komersial di Televisi sebagai rangkaian dari aktualisasi kapitalisme, kita akan bersinggungan dengan bahasan mengenai posisi media dalam sistem kapitalisme terlebih dahulu. Bahasan selanjutnya, mengenai karakteristik iklan komersial dalam kaitannya dengan konseptualisasi ekonomi politik penyiaran media. Pembahasan akan diakhiri dengan ulasan mengenai Televisi publik sebagai alternatif dari perkembangan media komersial.
Kapitalisme Media Televisi
Kapitalisme bisa dilihat sebagai sistem nilai atau sebagai sistem sosial-ekonomi yang dimiliki oleh kelompok sosial yang menganutnya. Keduanya memiliki logika dan mekanisme yang cukup unik.
Menurut Franz Magnis Suseno (1999 : 161-163), sebagai sistem nilai, kapitalisme bekerja pada tataran nilai individu atau kelompok dan dinamika yang ada di dalamnya. Hal ini bisa dikatakan, sebagai tataran nilai instrumentalis, yaitu terdapatnya nilai mengabdi, menjalankan demi sebuah tataran nilai yang lebih besar, berupa nilai dinamisasi kapital. Dengan demikian, nilai kapitalisme lebih meletakan pada nilai tukar dibandingkan dengan nilai pakai.
Sedangkan, keunikan sistem kapitalisme sebagai sistem sosial ekonomi lebih berproses pada penekanan hukum penawaran dan permintaan pasar. Kapitalisme mengembangkan ekonomi bebas. Logika puncak kapitalisme adalah keuntungan yang lebih besar untuk pengembangan berkelanjutan. Prinsip dasar kapitalisme ini melekat dan menjadi watak dasar perkembangan kapitalisme hingga sekarang (lihat Heilbroner , 1991 : 4-18).
Salah satu institusi sosial yang saat ini banyak terkait dengan sistem kapitalisme adalah televisi. Menurut Shoemaker (1991 :121), organisasi media merupakan entitas ekonomi, formal dan sosial yang menghubungkan para awak media, pemilik modal, dan pasar dengan tujuan untuk memproduksi, mendistribusi dan membuka cara konsumsi isi media yang ditawarakan.
Sebagai capitalist venture televisi beroperasi dalam sebuah struktur industri kapitalis yang tidak selalu memfasilitasi tetapi juga mengekang. Dalam pandangan Smythe, fungsi utama media pada akhirnya menciptakan kestabilan segmen audien bagi monopoli penjualan pengiklan kapitalis (Smythe, 1997 : 1).
Ketika memasuki era hadirnya televisi, merebak kecenderungan komersialisasi televisi di banyak negara di dunia. Dizard, pengarang buku Televison : A World View mengungkapkan perubahan ke arah komersialisasi ini dengan kata-kata sebagai berikut : “Television has developed primarily as a commercial medium. This was to be expected in the United States and a few other countries, notably in latin America, where broadcasting was traditionally a private venture...,”(dalam Oliver Boyd-Barrett, 1995 : 193).
Pertanyaannya, kekuatan apa yang mendorong ke arah terjadinya komersialisasi yang begitu hebat dalam televisi ?. Kita menemukan dua jawaban dari pertanyaan ini dalam tulisan Boy-Barrett (1995 : 194). Pertama, penyiaran komersial merupakan suatu metode yang paling memuaskan untuk memenuhi kebutuhan finansial dan pragmatis. Sebagaimana Dizard mengatakan “perubahan ke arah komersialisasi mempertegas efektivitas dari model penyiaran gaya Amerika Serikat sebagai sumber penghasil total pendapatan maupun sebagai bentuk hiburan dan persuasi yang sangat dapat diterima”. Alasan kedua, adalah faktor ekonomi industri. Nothing less than viability of the American industrial economy itself is involved in the movement toward international commercialization of broadcasting.
Lebih lanjut, Picard menyatakan bahwa industri media adalah industri yang unik karena mereka melayani dua pasar yang berbeda sekaligus dengan satu produk (dual product market). Pasar yang pertama yakni audiens (pemirsa, khalayak), industri media memproduksi produk beruba “goods”. Misalnya TV menjual program acaranya yang dinilai dalam bentuk ratting. Pasar yang kedua, adalah pengiklan. Kepada para pengiklan, media menjual “service” berupa ruang dan waktu siarnya untuk digunakan beriklan (Pickard dalam Albarran, 1996 :27).
Sementara itu, Dimmick and Rothenbuhler (1984) mengatakan bahwa ada tiga sumber kehidupan bagi media yakni content, capital dan audiences. Content terkait dengan isi dari sajian media, misalnya program acara. Capital menyangkut sumber dana untuk menghidupi media, misalnya sumber dana yang diperoleh dari iklan atau kegiatan off air dan penjualan produk. Sementara audiens, terkait dengan segmen khalayak yang dituju. Dengan demikian dapatlah dipahami, mengapa media dalam hal ini televisi banyak digunakan untuk kepentingan komersial. Ketiga sumber hidup media tersebut saling terkait. Dengan content yang menarik, audiens akan tetap memilih stasiun TV tertentu sebagai pilihannya. Semakin banyak audiens yang menonton program tersebut, semakin tinggi ratting-nya. Akibat lebih lanjut, para pengiklan akan semakin berminat untuk mamasang iklan pada program tersebut. Atau bisa saja terjadi, stasiun TV yang mempunyai modal yang cukup kuat, dapat memproduksi acara (content) yang berkualitas sehingga dapat menarik audiens, yang berlanjut pada tingginya ratting dan pada gilirannya akan menarik pengiklan untuk masuk.
Modus komersialisasi industri media massa mengandung berbagai kelemahan, bahkan bisa jadi kontra-produktif bagi kapitalis. Di antara kelemahan itu antara lain : pertama, para kapitalis media memang telah berusaha maksimal untuk mengurangi resiko usaha. Sebagian besar pasar yang ada, cenderung membentuk kekuatan oligopolistik, di mana beberapa industri media justru menciptakan serangkaian hambatan yang menutup peluang bagi pendatang baru. Pada sisi penekanan harga, produksi dan keuntungan kekuatan oligopolistik yang ada justru mengarah ke pembentukan monopoli yang sangat jauh dari mitos “pasar yang penuh persaingan”.
Kedua, industri media lebih berorientasi pada pemenuhan keinginan market sesuai dengan kriteria apa yang paling menguntungkan secara ekonomi dan politik bagi para pemilik modal. Oleh karena itu, pasar tidak akan mengatasi konsekuensi-konsekuensi setiap paket yang diproduksi. Memang tidak dapat diabaikan banyak produk media yang positif, namun banyak pula produk media yang bersifat dangkal dan tidak sesuai dengan konteks budaya. Dengan menggunakan proposisi yang demikian, dapat dikatakan bahwa dalam konteks kapitalisme, jurnalis dan produk media lebih merupakan ‘alat produksi’. Hidayat dalam tulisannya menegaskan, bahwa memang teks isi media beserta tindakan jurnalis dalam memproduksi media tak terlepas dari konteks proses-proses sosial memproduksi dan mengkonsumsi media, baik pada jenjang organisasi, industri dan masyarakat (Hidayat, 2000 : 431).
Pickard memandang organisasi media memiliki fungsi tertentu dalam sistem ekonomi. Media melayani keinginan dan kebutuhan empat kelompok berbeda yakni : pertama pemilik media yang terdiri dari individu-individu atau stock holders yang memiliki media. Kedua, audiens yang melihat, mendengar dan membaca isi media. Ketiga, pengiklan yang membayar waktu atau tempat untuk menyampaikan pesan kepada audiens. Keempat, pekerja media yang bekerja bagi perusahaan media (Pickard 1989 : 9 ).
Pemilik menginginkan terpeliharanya perusahaan dan aset mereka, peringkat tinggi dalam pengembalian investasi mereka serta pertumbuhan perusahaan. Keinginan audiens adalah produk dan pelayanan media yang berkualitas. Keinginan pengiklan meraih akses kepada targat audiens mereka. Sementara pekerja media menginginkan kompensasi yang baik, fair, kesempatan yang sama serta kondisi kerja yang nyaman.
Secara tegas dikatakan, media tak dapat dipisahkan dari sistem ekonomi dimana mereka dioperasikan karena kekuatan ekonomi yang dipilih untuk mengatur media merupakan pilihan dari manager-manager industri (Pickard, 1989 : 14). Dampaknya, hampir keseluruhan isi televisi mengabdi kepada pengiklan. Chesney misalnya, sangat prihatin bahwa sekarang ini industri media dikuasai oleh berbagai perusahaan transnasional besar yang hanya berorientasi pada keuntungan (Chesney, 1998, h.5-7).
Iklan dan Homo Consumens
Saat ini, agen-agen periklanan banyak mengandalkan jasa media untuk membuka pasar bagi patronnya yaitu produsen atau perusahaan penghasil barang-barang kebutuhan konsumen. Dalam tulisannya Schiller menggarisbawahi, sekali perusahaan-perusahaan yang dikelola swasta itu mulai beroperasi, maka seluruh energi mereka akan terkonsentrasi pada upaya menciptakan penerimaan secara luas dari publik atas barang-barang yang mereka hasilkan. Caranya, tentu saja lewat iklan yang disiarkan melalui media komersial (Boy-Barrett, 1995 :195).
Dalam lanjutan tulisannya, Boyd Barrett juga mengutip ucapan Erich Fromm yang mengatakan industrialisme pada abad ke dua puluh telah menciptakan tipe psikologis baru yakni homo consumens yang secara umum untuk alasan ekonomi. Kebutuhan bagi konsumsi massa distimulasi dan dimanipulasi dengan iklan (Boy Barrett,1995 : 195)
Homo konsumen seperti dikatakan Fromm itu adalah masyarakat yang selalu diserbu berbagai tawaran produk-produk dari perusahaan-perusahaan melalui tayangan iklan media massa. Dengan demikian penting kiranya kita memahami konsepsi iklan komersial yang saat ini begitu dominan di dalam Televisi. Lantas apa dan bagaimana karakteristik iklan komersial itu ?.
Iklan komersial merupakan bagian dari bauran promosi (promotion mix) dan bauran promosi adalah bagian dari bauran pemasaran (marketing mix). Secara sederhana, iklan didefinisikan sebagai pesan yang menawarkan suatu produk yang ditunjukan kepada masyarakat lewat media. Namun demikian, untuk membedakannya dengan pengumuman biasa, iklan komersial lebih diarahkan untuk membujuk orang supaya membeli. Seperti dikatakan Frank Jefkins (1982 : 111), advertising aims to persuede people to buy.
Definisi ini dipertegas oleh Courtland L. Bovee, yang menyatakan “advertising is the nonpersonal communication of information usually paid for persuasive in nature about product, service or ideas by identified sponsors through the various media”. Periklanan merupakan suatu bentuk komunikasi non pribadi yang berisi informasi biasanya dikenakan biaya tertentu dan seringkali berupa pembujukan mengenai suatu produk, jasa atau ide dari suatu sponsor tertentu yang dikenal dengan menggunakan beberapa jenis media (Courtland, 1985 : 5).
Karena sifatnya persuasif, iklan menurut Tilman dan Kirk Patrick merupakan komunikasi massa yang menawarkan janji kepada konsumen. Melalui pesan yang informatif sekaligus persuasif mereka menjanjikan : (1) adanya barang dan jasa yang dapat memenuhi kebutuhan. (2) tempat memperolehnya, (3) kualitas dari barang dan jasa (Tilman & Kirk Patrick, 1972 : 174).
Masyarakat Periklanan Indonesia mendefinisikan iklan sebagai segala bentuk pesan tentang suatu produk yang disampaikan lewat media, ditunjukan kepada sebagian atau seluruh masyarakat. Sementara Periklanan didefinisikan sebagai keseluruhan proses yang meliputi penyiapan, perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan penyampaian iklan (lihat, Direktorat Bina Pers dan Grafika Depen RI, 1983 : 45).
Dalam memancing respon tertentu dari konsumen terhadap produk atau jasa yang diiklanlan, ada semacam acuan pengiklan harus menggunakan daya tarik iklan (advertising appeal). Sementara gaya pelaksanaan kreatif (creative execution style) berkaitan dengan cara suatu daya pikat tertentu diterjemahkan dalam suatu bentuk pesan yang diajukan kepada konsumen.
Esensi iklan dalam studi media massa mengandung tiga pemikiran, yaitu : Pertama iklan menyediakan dukungan finansial bagi media. Kedua, iklan benar-benar dipertimbangkan oleh industri itu sendiri. Ketiga, iklan dapat menembus kebudayaan kita dan merupakan media diantara khalayak serta membangun citra diri dan citra masyarakat (Eldon Hiebert, 1990 : 178). Secara konseptual merujuk pendapat Joseph R. Domminick (1990 : 363), iklan dapat dipandang sebagai bentuk presentasi dan promosi nonpersonal dari ide-ide, barang-barang dan layanan yang menurut kebiasaan dibayar untuk dan oleh sponsor tertentu.
Berbeda dengan sebuah berita, iklan tidak sekedar menyampaikan informasi tentang sesuatu benda atau jasa, tetapi mempunyai sifat “mendorong” dan “membujuk” agar kita menyukai, memilih dan kemudian membelinya. Memang dalam iklan terdapat suatu kegiatan penyampaian berita, tetapi berita itu disampaikan atas pesanan pihak yang ingin agar produk atau jasa yang dimaksud disukai, dipilih dan dibeli. Karena iklan ditunjukan kepada khalayak ramai, dengan demikian iklan bukan merupakan komunikasi interpersonal melainkan non personal. Komunikasi semacam ini digolongkan dalam komunikasi massa.
Iklan memang menonjolkan sifat persuasifnya, yakni bagaimana seorang individu berubah sikap sebagai hasil transaksi dengan pihak lain. Satu definisi mengenai persuasi dapat kita temukan dalam buku Dedy Djamaluddin Malik (1993 :5). Persuasi diartikan sebagai usaha sadar untuk mengubah sikap, nilai atau prilaku dari individu atau kelompok lain melalui pesan.
Coutland L. Bovee membuat tipologi iklan komersial berdasarkan pada objek yang iklankannya. Tipe iklan yang dimaksud yakni iklan produk dan iklan non produk (1986 : 5). Iklan produk terbagi menjadi iklan produk barang dan produk jasa, sementara iklan non produk merupakan iklan yang dirancang guna menjual ide-ide. Produk adalah apa saja yang dapat ditawarkan ke pasar untuk dapat diperhatikan, dimiliki, digunakan atau dikonsumsi sehingga dapat memuaskan kebutuhan dan keinginan.
Proses Iklan Komersial
Menurut Rhenald Kasali, iklan merupakan investasi yang menguntungkan. Mungkin tidak langsung berdampak pada laba, tapi investasi yang ditanamkan pada benak konsumen. Iklan sama pentingnya dengan dengan biaya pengemasan atau biaya distribusi. Dengan demikian, biaya iklan merupakan investasi untuk menghasilkan laba. Untuk mencapai laba yang dikehendaki dibutuhkan sasaran antara, yakni target penjualan atau pangsa pasar (Rhenald Kasali, 1995 :13-14).
Proses iklan komersial untuk mencapai tingkat keuntungan yang dikehendaki biasanya menggunakan pendekatan. Pendekatan yang lazim dipakai adalah “efek enam tahap” yang diperkenalkan oleh Jhon R. Rossiter (1987 : 15) :
1. Penampilan. Merupakan upaya produsen menempatkan iklan pada media massa. Tujuannya agar produk atau jasa yang ditawarkan diketahui, didengar, dibaca, atau dilihat oleh konsumen potensial. Penampilan terjadi melalui media.
2. Proses. Penampilan belum menghasilkan apa-apa. Langkah yang diharapkan dari penempatan iklan di media massa itu selanjutnya adalah respons dari calon pembeli. Proses atau respon tersebut terjadi pada atau melalui komponen-komponen dari iklan yang dimuat. Proses itu meliputi langkah-langkah calon pembeli yang spontan, seperti perhatian, belajar menghayati, penerimaan dan reaksi emosional.
3. Efek Komunikasi. Respons yang diharapkan selanjutnya adalah reaksi “asosiasi” jalan pikiran calon pembeli terhadap merek. Respon ini lebih permanen , dan berhubungan dengan seleksi merek, maka itu disebut efek dari komunikasi yang diajukan. Dua hal yang didapat dari efek komunikasi adalah kesadaran merek dan sikap terhadap merek itu.
4. Tindakan Khalayak Sasaran. Efek komunikasi di atas, seperti asosiasi terhadap merek misalnya, mengantarkan suasana bagi calon pembeli untuk mengambil keputusan. Keputusan yang timbang-timbang itu menyangkut kepastian tindakan, apakah jadi membeli merek tersebut atau tidak. Dalam konteks ini produsen sudah memperhatikan sudah memperhatikan prinsip-prinsip yang terkandung dalam tingkah laku pembelian.
5. Penjualan atau Pangsa Pasar. Langkah kongkret individual para calon pembeli menimbulkan penjualan bagi produsen. Jika dibandingkan dengan penjualan pesaing lainnya yang sejenis di pasar, maka kita melihat adanya pangsa pasar. Ini dibutuhkan untuk menjaga kedudukan di dalam pasar sebelum pasar dikuasai pesaing.
6. Laba. Bagi perusahaan secara keseluruhan, laba dibutuhkan sebagai sarana untuk hidup dalam jangka panjang. Jika terjadi peningkatan penjualan maka sebaiknya laba juga meningkat.
Tujuan iklan, umumnya mengandung misi komunikasi. Jadi periklanan pada dasarnya komunikasi massa dan harus dibayar untuk menarik kesadaran, menanamkan informasi, mengembangkan sikap atau mengharapkan adanya suatu tindakan yang menguntungkan bagi pengiklan. Sangat penting memahami periklanan sebagai komunikasi massa yang merupakan bagian dari keseluruhan aktivitas di bidang pemasaran.
Terinspirasi tulisan Rusell H. Cooley, Rhenald Kasali menyebutkan metode yang disebut proses komunikasi yang terdiri dari langkah-langkah yang harus dilalui suatu produk untuk sampai pada tujuan yang dikehendaki, yaitu berupa tindakan yang diambil konsumen. Proses itu yang disebut hierarchy of effect model (Rhenald Kasali, 1995 : 52).
1. Ketidaksadaran (unaware). Seorang calon pembeli yang belum pernah melihat dan mendengar suatu produk bermula pada keadaan yang disebut tidak berkesadaran, yaitu tidak sadar atas kehadiran produk. Iklan diarahkan untuk meraih kesadaran calon pembeli sebagai langkah awal.
2. Kesadaran (aware). Langkah ini dibutuhkan sebagai suatu proses pembentukan kesadaran awal bagi konsumen sebelum orang mengatakan suka atau tidak suka terhadap suatu produk.
3. Pemahaman dan citra (Comprehensive and image) Calon pembeli diarahkan untuk mempelajari hal-hal seperti karakter spesifik produk dan perbedaannya dengan merek lain. Ini merupakan proses belajar dalam bidang kognitif.
4. Sikap (Attitude). Langkah ini memastikan sikap calon pembeli dengan mengukur suka atau tidak suka pangsa pasar terhadap produk pengiklan.
5. Tindakan (action). Ini disebut fase final, di mana produsen mengharapkan agar calon pembeli mengambil tindakan-tindakan yang diharapkan. Dalam iklan komersial tindakan pangsa pasar jelas digiring pada keberpihakan mereka terhadap produk yang diiklankan. Misalnya tindakan membeli barang atau transkasi lainnya.
Konstruksi Iklan Komersial
Membicarakan televisi (radio dan televisi) sebagai medium iklan, melekat di dalamnya dimensi ekonomi yang sarat dengan nuansa bisnis. Bagi pengiklan, media massa dalam hal ini televisi merupakan sarana untuk menyebarkan informasi mengenai produk yang dihasilkannya kepada masyarakat luas. Sebagai konsekuensinya, pengiklan harus mengeluarkan sejumlah biaya untuk membayar ruang dan waktu yang digunakan. Televisi juga berupaya menciptakan program acara yang menarik, dalam arti dapat meraih jumlah pemirsa sebanyak-banyaknya untuk menciptakan ratting yang tinggi. Ratting merupakan refleksi dari jumlah pemirsa yang menonton suatu acara TV yang pada akhirnya akan menarik pengiklan masuk.
Dalam penilaian David A Acker, televisi merupakan media yang efektif bagi periklanan karena beberapa karakateristiknya. Pertama, dapat menjangkau khalayak yang luas dan besar, sehingga dapat menjangkau segala segmen baik dari segi umur, sosial-ekonomi, tingkat pendidikan dan jenis kelamin. Kedua, merupakan media yang dapat digunakan dalam waktu dan tempat yang sama secara bersama-sama oleh suatu keluarga (David A. Aacker, 1987 :264).
Konstruksi iklan komersial di televisi sangat tergantung pada bentuk siarannya, apakah merupakan bagian dari suatu kongsi, jaringan, lokal, kabel atau sebagainya. Diantara konstruksi iklan tersebut dalam tulisan Rhenald Kasali (1995 : 120-121) adalah :
1. Pensponsoran. Banyak sekali acara televisi yang penayangannya dan pembuatannya dilakukan atas biaya sponsor atau pengiklan. Pihak sponsor bersedia membiayai seluruh produksi plus fee.
2. Partisipasi. Iklan sepanjang 15, 30 atau 60 detik disisipkan diantara satu atau beberapa acara (spots). Pengiklan dapat membeli waktu yang tersedia, baik atas acara yang tetap maupun tidak tetap. Pendekatan ini juga lebih fleksibel dalam arti dapat memilih jangkauan pasar, khalayak sasaran, jadwal dan anggaran. Meskipun demikian, dampak bentuk ini tidak sekuat bentuk pensponsoran sehingga pihak pengiklan tidak dapat mengontrol isi dan mutu program yang bersangkutan. Sedangkan waktu yang tersedia biasanya sudah habis dibeli pengiklan besar. Akibatnya, pengiklan kecil hanya memperoleh jam sisa yang menurut penelitian pengiklan besar tidak efektif.
3. Spot Announcements. Bentuk ini mengacu pada pengertian bahwa announcement iklan tersebut ditempatkan pada pergantian acara. Iklan spot 10, 20, 30 atau 60 detik dijual oleh stasiun-stasiun, baik untuk pengiklan lokal maupun nasional.
4. Public Service Announcement. Ini adalah bentuk iklan layanan masyarakat yang ditempatkan di tengah-tengah suatu acara. Iklan ini biasanya dimuat atas permintaan pemerintah atau suatu LSM.
Ada beberapa kekuatan dan kelemahan televisi dalam kaitannya dengan iklan. Kekuatannya antaralain : pertama efisiensi biaya artinya dengan daya jangkau televisi yang sangat luas, menimbulkan efisiensi biaya untuk menjangkau khalayak. Kedua, dampak yang kuat misalnya model audio visul TV mampu menciptakan kelenturan bagi pekerja-pekerja kreatif dengan mengkombinasikan gerakan, kecantikan, suara, warna, drama dan humor. Ketiga, pengaruh yang kuat artinya televisi mempunyai kemampuan yang kuat untuk mempengaruhi persepsi khalayak sasaran.
Sementara beberapa kelemahannya antara lain : pertama biaya besar. Sekalipun biaya untuk menjangkau setiap kepala rendah, biaya produksi termasuk pembuatan film sangat mahal belum lagi penyiarannya yang harus diulang-ulang pada jam-jam siaran utama. Kedua, khalayak yang tidak selektif. Sekalipun berbagai teknologi telah diperkenalkan untuk menjangkau sasaran yang lebih selektif, televisi tetap sebuah media yang tidak selektif. Segmentasinya tidak setajam surat kabar atau majalah. Jadi, iklan-iklan yang disiarkan televisi memiliki kemungkinan menjangkau pasar yang tidak tepat. Ketiga, kesulitan teknis. Televisi juga tidak luwes dalam pengaturan teknis. Iklan-iklan yang telah dibuat tidak dapat diubah begitu saja jadwalnya, apalagi menjelang jam-jam penyiarannya (Rhenald Kasali, 1995 : 121-122).
Konstruksi iklan komersial di televisi ini menjadi suatu lahan bisnis yang menggiurkan, ini dapat dilihat dari bermunculannya stasiun-stasiun TV swasta. Seperti digambarkan Ishadi SK, munculnya stasiun TV swasta ini karena tiga pertimbangan. Pertama, sektor swasta yang karena hasil pembangunan menjadi semakin kuat dan besar memerlukan institusi pendukung untuk promosi produk dan jasanya dalam bentuk media massa. Kedua, kebutuhan sektor bisnis telah membuat media massa menjadi sasaran bisnis yang menjanjikan. Penanaman modal di sektor media massa di negara berkembang maju pesat sejalan dengan baru membisniskan media massa disamping sisi idelanya. Ketiga, media massa yang dikelola oleh swasta menjadi lebih kompetitif, efisien dan berorientasi kepada khalayak yang merupakan pasar mereka sehingga media massa dikelola secara lebih menarik dan profesional (Ishadi SK, 1993: 3-4).
Komersialisasi Internasional
Fenomena televisi saat ini, memang menampilkan wajah komersialisasi secara dominan. Beragam acara muncul dan menggiring khalayak kepada pengiklan. Kenyataannya TV saat ini menjadi media bagian dari sistem kapitalisme global. Ekspansi perusahaan multinasional yang semakin menguat berjalan secara terus-menerus, sehingga terjadi interkoneksi antara iklan, manufacturing dan industri penyiaran.
Tayangan acara TV yang mengandung unsur komersial, tidak semata-mata dalam bentuk iklan spot, tetapi dapat berupa sponsor program atau melakukan blocking time khusus untuk melakukan launching produknya yang tidak saja produk lokal melainkan juga produk internasional. William I Stanton (1994 : 564-565) menyebut sejumlah alasan yang menyebabkan bergeraknya perusahaan ke pasar internasional.
Pertama, menguatnya permintaan terhadap beragam produk konsumen yang serupa di negara-negara berkembang, sebuah kecenderungan yang digambarkan John Naisbitt sebagai terbentuknya ‘global lifestyle’yang merupakan trend bersekala global periode 1990-2000. Kedua, kejenuhan pasar domestik, sehingga produsen yang tak memiliki pengalaman internasional sebelumnya ‘terdesak’ untuk memasuki pasar luar negeri. Ketiga, adanya comparative advantage, yang menyebabkan negara seperti AS dengan pengalamannya yang jauh lebih tinggi dari negara manapun di dunia memiliki keuntungan saat bersaing merebut konsumen. Keempat, adanya kemajuan teknologi.
Dalam kaitan ini Adorno dan Horkheimer (1979) menilai media massa saat ini merupakan struktur penekan dalam masyarakat kapitalis. Bagi mereka, televisi begitu juga radio sama sekali tidak berpretensi untuk mengembangkan seni dan budaya manusia, melainkan sekedar bisnis belaka untuk mencari keuntungan. Budaya massa yang komersial dan universal merupakan sarana utama yang menunjang tercapainya dominasi modal dalam budaya industri. Terjadi penyeragaman nilai dalam masyarakat, sehingga mendorong media massa menjadi alat strategis untuk mewujudkan kekuasaan mutlak dari kapitalisme. Tidak heran kalu Adorno dan Horkheimer secara sinis menilai industri budaya sesungguhnya merupakan penipuan massa atau mass deception (dalam Boyd-Barrett, 1995 : 77-79).
Logika yang sekarang terbangun, jika TV berhasil memprogram dan menayangkan acara sesuai dengan selera khalayak, mampu mengundang pemirsa dalam jumlah yang banyak maka pengiklan akan datang. Kepentingan pengiklan menginformasikan produknya kepada segmen khalayak. Jadi kalau dalam film-film serial buatan Hollywood, sebut saja produksi Warner Brothers misalnya banyak iklannya, ini bukan karena pengiklan mendukung misi film tersebut, tetapi semata-mata karena tontonan yang dibuat industri film tersebut mampu menyedot banyak pemirsa.
Komersialisasi media televisi saat ini, memungkinkan menjadi mata rantai apa yang disebut Herbert Schiller tentang imperialisme kultural (dalam Ade Armando, Jurnal Demokrasi & HAM,2000 : 65-67). Dalam sistem tersebut, negara-negara berkembang akan dipandang sebagai bagian dari pasar tunggal, dengan produksi yang ditentukan di pusat-pusat perusahan multinasional. Untuk itu negara-negara maju berkepentingan mempromosikan dan kemudian memasarkan barang-barangnya ke negara-negara berkembang. Oleh karena itu, harus ada upaya menciptakan kesamaan nilai dan asumsi terutama di kalangan manajemen tingkat atas di negara-negara tersebut. Dalam konteks inilah, iklan di stasiun TV menjadi sangat vital.
Melalui informasi yang terus-menerus ke jajaran elit di sebuah negara, akan berlangsung apa yang disebutnya sebagai ‘pengambilalihan kebudayaan’ (cultural takeover). Pengambilalihan itu terjadi melalui proses penetratif diantaranya tentu saja melalui iklan komersial di televisi.
Urgensi Regulasi Televisi
Untuk membatasi fenomena komersialisasi yang merugikan khalayak, dipandang perlu adanya regulasi atas media penyiaran. Mike Feintuck dalam buku Media Regulation (1999:43-45), mengemukakan beberapa alasan yang bisa menjustifikasi penyusunan regulasi penyiaran karena empat hal, yaitu: komunikasi yang efektif, diversitas antara politik dan budaya, justifikasi ekonomi dan public service.
Pertama, Komunikasi yang Efektif selain berhubungan dengan keterbatasan frekuensi, juga berkaitan dengan demokratisasi komunikasi, yang meliputi jaminan negara untuk memungkinkan terjadinya keberagaman komunikasi. Tanpa regulasi yang menjamin keberagaman penyiaran, kondisi yang berkembang akan cenderung monopolistik. Kondisi yang monopolistik merupakan medium menuju monopoli informasi, yang berujung pada monopoli kebenaran. Feintuck secara lugas menunjuk kondisi yang demikian sebagai “komunikasi yang tidak efektif”.
Kedua, diversitas politis dan kultural. Secara politis, diversitas bertalian erat dengan nilai demokrasi yang menghendaki terjadinya aliran ide secara bebas melalui suatu instrumen yang memungkinkan semua orang dapat mengaksesnya secara merata. Jika satu-dua orang atau kelompok mendominasi media, dan menggunakan posisi tersebut untuk mengontrol isi tampilan media, maka ketika itulah terjadi reduksi ‘keberagaman sudut pandang’ (heterodox view). Ia membagi diversitas menjadi diversitas horisontal yaitu varietas jumlah program atau tipe program yang ditawarkan pada konsumen dalam satu kurun waktu bersamaan, dan diversitas vertikal, yaitu jumlah varietas program yang ditawarkan suatu channel kepada konsumen dalam keseluruhan schedule.
Ketiga, justifikasi ekonomi. Pertahanan ekonomi pasar didasarkan pada persepsi keuntungan yang muncul dari operasi kompetitif pasar. Ini menuntut pasar untuk efisien. Bagimanapun tuntutan keuntungan yang meghendaki efisiensi harga mungkin berbenturan dengan harapan akan keadilan sosial. Faktor ini mempengaruhi pentingnya kebijakan pemerintah akan regulasi media. Keempat, public service secara jelas diidentifikasi dan diartikulasikan menjadi kunci untuk mengetahui pemahaman objektif. Ini jelas sejak semula sebagai bagian inheren diantara empat dasar rasional regulasi media. Dengan karakteristik media yang berupaya memaksimalkan keuntungan, dikhawatirkan media hanya memprioritaskan dirinya dalam struktur untung-rugi tanpa memperhatikan pelayanan publiknya secara nyata.
Feintuck (1998 : 51) mengatakan, dewasa ini regulasi penyiaran harus mengatur tiga hal, yakni struktur, tingkah laku dan isi. Regulasi struktrur (structural regulation) berisi pola-pola kepemilikan media oleh pasar, regulasi tingkah laku (behavioral regulation) dimaksudkan untuk mengatur tatalaksana perilaku bermedia, dan regulasi isi (content regulation) berisi batasan material siaran yang boleh dan tidak untuk disiarkan.
Penutup
Fenomena televisi komersial sekarang ini memang semakin marak dan sangat tidak mungkin dihilangkan. Perkembangannya begitu pesat, sehingga banyak yang mulai khawatir dan memikirkan beberapa solusi. Paling tidak ada dua hal yang kiranya penting dilakukan. Pertama, kita mesti memperkuat keberadaan televisi publik sebagai alternatif di samping keberadaan media komersial, media lokal dan komunitas serta media berlangganan. Televisi publik (public service broadcasting) merupakan media yang tersedia (available) secara general-geographis. Memiliki concern terhadap identitas dan kultur nasional. Media ini bersifat independen, baik dari kepentingan negara maupun kepentingan komersial. Memiliki imparsialitas serta varietas program. UU Penyiaran No.32 tahun 2002 telah melegitimasi TVRI dan RRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik, akan tetapi sudahkan kedua media penyiaran ini ideal untuk dikategorikan sebagai media publik ? Realitasnya hingga kini masih tertatih-tatih, hingga perlu dukungan dan kontribusi masyarakat untuk menghidupkan alternatif stasiun TV selain stasiun TV Komersial.
Kedua, perlunya gerakan melek media (media literacy) di tengah arus konsumerisme yang ditampilkan media massa. Ini merupakan upaya terus menerus untuk membuat khalayak kritis atas isi media. Kritisisme khalayak ini paling tidak akan menghindarkan khalayak dari peniruan, identifikasi, dan reinforment imitasi yang berlebihan dari apa yang secara kasat mata ditampilkan di dalam media. Homo Consumens itu biasanya sangat mudah terbentuk di sebuah masyarakat yang media literacy-nya rendah. Semakin rendah rasionalitas khalayak maka biasanya potensi untuk tersubordinasi dalam konsumerisme media pun akan semakin besar.
DAFTAR PUSTAKA
Albarran, Alan B. Media Economic : Understanding Markets, Industries and Concept, USA : State University Press, 1996
Adorno, T.W., and Horkheimer, M., Dialectic of Enlightenment, London : Verso, 1979 dalam Boyd Barrett, Oliver and Chris Newbold (eds.), Approaches to Media : a Reader, London : Arnold, 1995
Armando, Ade, Ekonomi Politik Kebebasan Arus Informasi : Kasus Indonesia, Jurnal Demokrasi & HAM vol. 1, No.2 September-November 2000
Aacker, David and John G. Myers, Advertising Management, Second Edition, New Delhi : Practice Hall of India, 1986
Bovee, Courtland L., and William F. Arens, Contemporary Advertising , Illinois : Irwin Homewood, 1986
Boyd Barrett, Oliver and Chris Newbold (eds.), Approaches to Media : a Reader, London : Arnold, 1995
Chesney, Robert Mc., Coorporate Media and The Threat to Democracy, (terj. AJI), Jakarta: AJI, 1998
Dimmick, J and Rothenbuhler, E., the Theory of the Niche : Quantifying Among Media Industries, dalam Journal of Communication, Winter, 1984
Domminick, Joseph R., The Dinamics of Mass Communication, Third Edition, McGraw-Hill Publishing Company : 1990
Djamaluddin Malik, Dedy dan Yosal Iriantara, Komunikasi Persuasif, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1993
Direktorat Bina Pers dan Grafika, Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia, Jakarta : Departemen Penerangan RI, 1983
Feintuck, Mike, Media Regulation, Public Interest and the law, edinburgh University Press, 1998
Heilbronner, Robert L., Hakekat dan Logika Kapitalisme, Jakarta : LP3ES, 1991
Hidayat, Dedy. N., Pers dalam Revolusi Mei Runtuhnya sebuah Hegemoni, Jakarta : PT. Gramedia, 2000
Hiebert, Eldon, and F. Ungurait, Donald, W. Bhon, Thomas., Mass Media Introduction to Modern Communication, New York-London : Longman, 1990
Jefkins, Frank F., Introduction to Marketing, Adsvertising and Public Relation, London : Macmillan Press, 1982
Kasali, Rhenald, Manajemen Periklanan Konsep dan Aplikasinya di Indonesia, Jakarta : PT Pusataka Utama Grafiti, 1995
Pickard, Robert G., Media Economic Concept and Issues, London-New Delhi : Sage Publication, 1989
Rossiter, John R., and Larry Percy, Advertising & Promition Management, Singapore : McGraw Hill, 1987
Suseno, Franz-Magnis, Pemikiran Karl Marx : dari Sosialisme Utopis sampai Perselisihan Revisionis, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1998
Shoemaker, Pamela J. and Stephen D. Reese, Mediating the Message : Theories of Influence on Mass Media Content, New York : Longman Publishing Group, 1991
Smythe, Dallas, (1997), Communication: blindspot of Western Marxism, Canadian Journal of Political and Social Theory, Vol. I No.3
SK., Ishadi, Kode Etik Siaran Televisi Indonesia : Antisipasi terhadap Hadirnya Era TV Sawsta, Makalah pada Seminar Perkembangan Teknologi Komunikasi Audio Visual dan Kebijakan Komunikasi Nasional, 1993
Stanton, William J., et al., Fundamental of Marketing, New York : McGraw Hill:1994
Tilman, R., and C. Kirkpatrick, Promotion : Persuasive Communication in Marketing, Illinois : Homewood, 1972
Tidak ada komentar:
Posting Komentar