Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dimuat di Harian SINDO, 23/11/2009)
Cerita soal Polri seolah tak ada habisnya. Sambung menyambung menjadi satu dalam pola relasi antagonistis dengan publik. Sukses memperkenalkan tema drama episode cicak vs buaya, berlanjut dengan “opera sabun” di Komisi III DPR-RI, muncul lagi dalam kemasan “reality show” bergenre melankolis ala “tukar nasib” yang secara apik telah diperankan Kabareskrim (masih) Komjen Susno Duadji. Drama belum klimaks karena ke depan masih ada beberapa scene yang siap tayang terutama pasca kejelasan sikap SBY terkait dengan rekomandasi final Tim-8.
Entah karena tuntutan skenario yang harus memberi terapi kejut pada publik hingga news framing (bingkai berita) media tak lagi di kuadran isu yang sama, atau karena benar-benar naif tidak memahami cara mengelola manajemen krisis, Polri kembali melakukan blunder. Pemanggilan Harian Seputar Indonesia dan Kompas, dua koran nasional yang memiliki reputasi baik oleh Bareskrim, Jum’at (20/11) jelas-jelas memperburuk citra Polri. Publik pun seolah tak perlu logika mendalam untuk menjawab pertanyaan, ada apa dengan Polri?
Tindakan Artifisial
Senja kala Polri telah tiba. Butuh energi yang luar biasa untuk mengerek layar penanda akhir cerita panggung pertunjukkan agar tak segera turun dan menutupi muka lembaga ini. Alih-alih mempertahankan citra positif, Polri justru terjerembab atau menjerembabkan diri ke dalam kubangan polemik yang kian hari hari kian meluluhlantakkan kehormatan, kepercayaan dan kridibilitas korps ini. Pemanggilan Harian Seputar Indonesia dan Kompas, dilihat dari aspek apapun merupakan tindakan artifisial, tidak strategis dan cenderung menciptakan masalah baru.
Pertama, terdapat lompatan logika (logical jumping) antara niat yang dikemukakan secara verbal tulis maupun lisan oleh pihak Mabes Polri, dengan konsistensi proses pemanggilan serta pilihan argumentasi yang disuguhkan kepada publik. Tak terdapat cukup irisan antara rangkaian proses dengan peneguhan logika pemanggilan kedua media nasional ini. Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Nanan Soekarna menjelaskan dalam beberapa kali wawancara di media bahwa niat pemanggilan bukan untuk tujuan kriminalisasi pers, melainkan untuk memperkuat bukti penyidikan polisi guna menjadikan Anggodo sebagai tersangka meskipun pun niat ini kemudian diralat menjadi terkait dengan upaya menjadikan Anggodo sebagai terlapor. Konteks di balik ini, tak terhindarkan isu yang merebak kuat bahwa pemanggilan tersebut semula terkait dengan pengaduan Anggodo dan Bonaran Situmeang ke kepolisian. Dari aspek proses, terdapat jejak rekam yang ganjil. Pemanggilan tertulis, sempat dibatalkan oleh pihak Polri secara lisan, kemudian dipanggil lagi secara lisan. Hal ini menunjukkan keraguan. Proses pemeriksaaannya bukan projustisia, hingga out put-nya hanya dimintai keterangan, bukan untuk BAP melainkan sekedar dituangkan dalam berita acara interview. Subtansi pertanyaan, hanya berkisar seputar pemuatan dan pemberitaan transkip rekaman percakapan Anggodo yang diperdengarkan di MK. Jika untuk tujuan itu, hanya dengan melihat dan mendokumentasikan berita yang telah dimuat di kedua koran itu pun sesungguhnya Polri sudah bisa menjawab apa yang mereka tanyakan. Sebuah prosesi yang menghadirkan logika dangkal terutama jika dibanding dengan citra negatif yang harus Polri tanggung setelah pemanggilan kedua media itu.
Kedua, konteks momentum yang tidak tepat. Polri akhir-akhir ini dalam sorotan tajam publik. Pemilahan (oposisi) biner antara buaya sebagai representasi kelompok berkuasa dan “pemangsa” di satu sisi dengan cicak sebagai representasi kelompok kecil dan lemah di sisi lainnya telah menempatkan desakan yang masif, keras dan mulai mengkristal menjadi kekuatan potensial dan aktual. Seharusnya di tengah situasi seperti ini, Polri membangun komunikasi yang persuasif, terorganisasi dan bersifat mengurangi ketidakpastian serta ketidaknyamanan. Bukan sebaliknya, menciptakan prahara baru yang merangsang antipati terhadap institusi Polri. Pemanggilan media massa ini sangat riskan dalam konteks opini publik. Siapa pun pengkaji komunikasi politik menyadari betapa pentingnya mengelola opini publik. Dan Nimmo dalam bukunya Political Communication and Public Opinion in America (1989) menyebutkan opini publik itu sebagai respon aktif masyarakat terhadap suatu persoalan yang memiliki dampak luas pada khalayak, dikonstruksi melalui interpretasi pribadi dan menyumbang citra. Dengan demikian, nyaris tak ada opini publik yang natural, melainkan selalu berupa realitas simbolik yang dibentuk dan dimaknai kemudian didistribusikan ke publik hingga akan berpengaruh pada citra.
Media massa tentu saja memiliki kekuatan dalam penyiapan, pembentukan dan pendistribusian informasi yang menjadi bahan mentah opini publik. Sehingga siapapun yang bermaksud mengganggu imparsialitas dan otonomi kebebasan media, dalam waktu singkat akan memperoleh penentangan luas. Opini publik sama halnya dengan senjata. Jika senjata api dapat membunuh orang lain dengan pelurunya, maka opini publik media dapat membunuh seseorang melalui delegitimasi citranya.
Demokratik-Partisipan
Keliru besar jika praktik pemanggilan pers di era demokratis sekarang ini masih dilandasi niatan untuk membatasi, mengintervensi terlebih jika niatnya mau mengkriminalisasikan pers atas produk hasil kerja para jurnalis. Pembatasan media jelas tidak senapas bahkan bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945 yang menjamin hak warganegara untuk mendapatkan informasi. Dalam penyelenggaraan kerja jurnalistik, media cetak maupun media elektronika, dilindungi dari penyensoran, pembredelan dan pelarangan penyiaran sebagaimana diatur Pasal 4 ayat 2 UU no.40 tahun 1999 tentang Pers.
Pers tidak pada tempatnya dikebiri, justru sebaliknya harus didorong ke arah pembentukan media demokratik-partisipan. Menurut Denis McQuail dalam Mass Communication Theory (1989), titik sentral media demokratik partisipan terletak pada kebutuhan, kepentingan dan aspirasi “penerima” dalam masyarakat politik. Ini tentu saja ada hubungannya dengan hak atas informasi yang relevan, hak untuk menjawab kembali, hak menggunakan sarana komunikasi dalam kelompok masyarakat bersekala kecil, kelompok dan kepentingan sub budaya. Prinsip paling nyata dari media demokratik-partisipan ialah organisasi dan isi media seyogianya tidak tunduk pada pengendalian politik yang dipusatkan atau menjadi subordinat dalam pengendalian birokrasi negara. Polri tak bisa memaksakan penyeragaman opini melalui penertiban, pemanggilan atau pembredelan media massa.
James Curran dalam bukunya The Liberal Theory of Press Freedom (1991), menyebutkan paling tidak ada enam fungsi yang dapat diperankan oleh pers dalam upaya pengembangan demokrasi. Pertama, media menyediakan diri sebagai forum untuk debat publik. Dengan demikian, media menjadi panggung atau ruang publik (public sphere) demokratis bagi berbagai pro dan kontra yang mengemuka di masyarakat, tanpa intervensi negara dan dominasi pasar yang berlabihan. Kedua, media dapat mengartikulasikan pendapat umum. Dalam konteks ini, ada upaya mensistematisasikan berbagai keinginan dan tuntutan yang berkembang di khalayak, hingga mewujud dalam satu penyikapan yang jelas dan terarah. Ketiga, media memaksa pemerintah mempertimbangkan apa-apa yang dipikiran dan dikehendaki oleh rakyat. Misalnya dalam kasus sikap SBY atas rekomendasi Tim-8, maka media wajar jika menurunkan berita yang keras dan cenderung advokatif untuk meminta SBY bersikap tegas, transparan dan memerhatikan aspirasi yang berkembang di masyarakat. Keempat, media bisa mendidik warganegara untuk dapat memiliki informasi yang memadai bagi pengambilan keputusan dalam pemilihan umum. Ini artinya, media harus turut serta dalam upaya membangun literasi politik guna membangun kapasitas politik warge negara. Kelima, dapat menjadi saluran komunikasi politik bagi berbagai kelompok masyarakat yang memiliki kepentingan berbeda-beda. Terakhir, media dapat membantu individu-individu melawan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pemerintah. ***
Tulisan ini bisa diakses di:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar