Oleh : Gun Gun Heryanto
(Telah Dipublikasikan di Harian Seputar Indonesia, Selasa 6 Juli 2005)
Demam Pilkada kini telah menyebar hampir merata di berbagai kota, kabupaten ataupun provinsi yang menyelenggarakan perhelatan demokrasi di tingkatan lokal ini. Pertarungan membangun citra kian hingar-bingar seiring berbagai publisitas yang dimainkan oleh media. Di era industri komunikasi yang ditandai dengan maju pesatnya industri media massa, hampir mustahil seorang politisi yang hendak berlaga, menafikan hubungan baik dengan media. Semakin dia mampu menguasai dan memiliki akses atas media, maka akan semakin kuat daya tarik dia dalam mempersuasi khalayak.
Media Relations
Era dukun dan paranormal sepertinya sudah lewat. Kini para calon kepala daerah cenderung lebih rasional. Mereka banyak memanfaatkan pendekatan mass marketing of politic. Menampilkan citra baik, melalui berbagai teknik persuasi politik, antaralain melalui iklan politik, retorika politik dan propaganda. Selain juga memperkuat analisis jaringan komunikasi, pemetaan kantong-kantong pemilih, segmentasi kampanye, serta prediksi suara dan popularitas. Wajar jika untuk memperkuat semua ini, banyak para calon kepala daerah yang menyewa konsultan politik untuk mengemas diri si calon dan tim suksesnya sebelum berlaga di waktu kampanye dan pemilihan.
Satu fenomena yang menarik dari perhelatan Pilkada yang saat ini berlangsung di berbagai daerah di tanah air, adalah peranan penting yang dimainkan media massa lokal maupun nasional. Persuasi yang kuat membutuhkan pemilihan media yang tepat, sepertinya rumusan seperti itulah yang kini banyak dipraktikkan para calon kepala daerah. Hal ini sangat wajar, terlebih jika kita menyadari makna penting persuasi itu sendiri. Menurut Erwin P Bettinghaus (1973), persuasi merupakan usaha yang disadari untuk mengubah sikap, kepercayaan atau prilaku orang melalui transmisi pesan. Tentunya gradasi intensitas komunikasinya tak hanya meyampaikan fakta sesperti halnya di level pemberitahuan dan penjelasan, melainkan juga memperkuat unsur bujukan.
Fenomena pemanfaatan media untuk mendongkrak popularitas sebenarnya telah mulai marak sejak Pemilu 1999 dan semakin menguat di Pemilu 2004. Bahkan, bisa kita katakan kemenangan SBY dalam Pemilu Presiden secara langsung tahun lalu, merupakan keberhasilan publisitas melalui media. Bangsa Indonesia seolah terbius dengan sosok SBY yang berhasil dikonstruksi secara apik melalui tampilan media. Tentunya, kesuksesan inilah yang mengilhami para kontestan di daerah untuk juga memanfaatkan media. Wajar jika perhelatan Pilkada pun memberi rezeki nomplok bagi para pengelola media. Tim sukses ramai memasang iklan besar-besaran dengan kontrak tayang relatif intensif. Tak ketinggalan, banyak media yang secara sengaja menjual sebagian besar kolom, rubrik ataupun program kepada para calon. Artinya, Pilkada turut menjadi momentum akumulasi keuntungan bagi media.
Koran, majalah, tabloid, radio dan TV terutama di wilayah-wilayah yang menyelenggarakan Pilkada, habis-habisan menjadi “ranah pertarungan” berbagai kekuatan ekonomi dan politik. Tak jarang, di beberapa daerah muncul kecenderungan media massa lokal yang sebelum Pilkada menampilkan diri sebagai media independen, tapi saat Pilkada berlangsung menjadi sangat bias, memihak dan tak mengindahkan etika jurnalistik.
Kekuatan Media
Media di manapun memiliki kekuatan yang signifikan dalam melakukan produksi dan reproduksi citra politik. Asumsi seperti ini relevan dengan pendapat Tuchman, yang mengatakan seluruh isi media sebagai realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality). Media pada dasarnya menyusun realitas hingga membentuk sebuah “cerita” (Tuchman, 1980). Wajar jika kemudian muncul rumusan “siapa munguasai media maka akan menguasai dunia”. Dalam konteks Pilkada tentu saja, siapa yang mengusai opini publik melalui media massa maka biasanya berpotensi besar untuk ditasbihkan sebagai pemenang.
Proses konstruksi citra melalui media, dilihat dari perspektif kerangka teori Berger dan Luckman (1966), berlangsung melalui suatu interaksi sosial. Proses dialektis yang menampilkan tiga bentuk realitas yakni subjective reality, symbolic reality, objective reality. Ketika seorang tokoh tampil sebagai fakta yang berada di luar diri publik, dan tampil seperti apa adanya itulah objective reality. Sementara itu, semua ekspresi simbolik dari apa yang dihayati sebagai “objective reality” termasuk di dalamnya isi media (media content), dikategorikan sebagai simbolic reality.
Pada realitas simbolik inilah sebenarnya terletak kekuatan media. Karena secara nyata, konstruksi definisi tentang realitas yang dimiliki individu-individu (subjective reality) ini sangat dipengaruhi oleh ekspresi simbolik yang diberikan media. Realitas simbolik di TV, majalah, koran, radio dan lain-lainnya inilah yang kemudian mempengaruhi opini warga masyarakat .
Social Surveillance
Mengingat pentingnya Pilkada dalam proses panjang demokratisasi di Indonesia, sudah selayaknya media baik lokal maupun nasional tak hanya memikirkan kumulasi keuntungan dari perhelatan kolosal Pilkada ini. Meski pun tak bisa melepaskan diri dari anasir kelompok kepentingan yang bertarung di Pilkada, media seyogyanya tetap mengedepankan pertanggung jawaban sosial. Artinya media dalam arti pers tak hanya melakukan kerja komodifikasi. Komodifikasi dalam pandangan ekonomi-politik Vincent Mosco (1996) mengacu pada proses mentransformasikan nilai guna (use value) menjadi nilai tukar (exchange value) atau nilai yang didasarkan pasar.
Dalam perannya sebagai “mata” dan “telinga”, pers seyogyanya terus menjalankan fungsinya secara optimal. Salah satu fungsi pokok pers seperti dikemukakan Harold D. Laswell adalah sebagai Pengawas sosial (social surveillance). Hal ini merujuk pada upaya penyebaran informasi dan iterpretasi yang objektif mengenai berbagai peristiwa dengan tujuan kontrol sosial agar tidak terjadi hal-hal yang tak diinginkan (dalam Bryson,L.).
Satu di antara pemain kunci yang sesungguhnya dapat mengawal keberhasilan penyelenggaraan Pilkada, adalah partisipasi pers lokal. Keberadaan pers lokal di banyak daerah seringkali dianggap kurang memiliki peran signifikan. Padahal, jika pers lokal bisa memainkan fungsinya secara maksimal maka akan menjadi alat kontrol yang cukup efektif.
Minimal ada tiga potensi yang dimiliki pers lokal dalam kaitannya dengan Pilkada. Pertama, pers lokal terbiasa fokus dengan masalah-masalah di daerah yang menjadi wilayah liputannya. Para jurnalis lokal sangat akrab dengan isu-isu mikro yang biasa mereka ulas secara lebih detil. Jika berbicara reputasi media, bisa jadi media massa nasional dianggap lebih besar. Namun, karena harus berbagi dengan beragam isu di tingkat nasional bahkan internasional rubrik atau program acara yang tersedia untuk isu-isu lokal menjadi sangat terbatas. Kalau pun ada, hanya sebatas isu-isu yang menonjol. Pers lokal bisa masuk ke pusaran isu secara lebih mendalam karena proses identifikasi isu di daerah tersebut sudah menjadi keseharian kerja jurnalistik mereka.
Kedua, akses informasi para jurnalis pers lokal sudah terjalin jauh hari sebelum Pilkada dilaksanakan. Sehingga kemungkinan network di antara para pekerja media dengan key person dari elit lokal sudah terbangun. Ini akan memudahkan mereka dalam mendapatkan informasi dari pihak pertama. Ketiga, seiring dengan perkembangan industri media massa di Indonesia, pers lokal banyak yang telah menerapkan sistem manajemen modern. Terlebih dengan terkoneksinya manajemen pers lokal tersebut dengan group media besar.
Tentunya, media yang ideal selalu menempatkan relasi kekuasaan yang mendasari produksi, distrubusi dan konsumsi sumberdaya medianya untuk kepentingan publik. Hal ini merupakan bagian dari tanggung jawab media dalam menciptakan keteraturan sosial dan demokratisasi di Indonesia.
Daftar Rujukan
Berger, Peter L, and Thomas Luckman (1967), The Social Construction of Reality, New York : Anchors Book
Tuchman, Gaye, (1991), Qualitative Methods in the Study of News, in Jensen, K.B., and Jankowski, N.W. (ed.), A Handbook of Qualitative Methodologies for Mass Communication Research, London and New York : Routledge
Laswel, Harold D., dari Bryson, L. (1964), The Communication of Ideas, Cooper Square Publisher : New York
Mosco, Vincent, The Political Economy of Communication, London, New Delhi: SAGE Publication, 1996
Tidak ada komentar:
Posting Komentar