Oleh: Gun Gun Heryanto
(Dipublikasikan di Pikiran Rakyat, Jum'at 25 September 2009)
Ada sisi lain di luar hukum yang saat ini sedang menjadi masalah bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yakni soal citra lembaga. Di awal keberadaanya, KPK tampil amat digdaya. Bak lampu suar, KPK secara tajam menyorot tiap jengkal ladang korupsi yang sudah mendarah daging di negeri ini. Menelisik setiap pergerakan para koruptor mulai dari kalangan politisi, eksekutif pemerintahan, pemegang otoritas moneter, jaksa, TNI dan Polri serta para pengusaha hitam yang kerap “bancakan” uang negara. Kini, citra KPK terpuruk, bahkan nyaris lumpuh dan tuna kuasa.
Citra KPK selama tahun 2008 membumbung tinggi, hingga berkontribusi positif pada naiknya Indek Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia menjadi 2,6 dari tahun sebelumnya 2,3 versi Transfaransi Internasional. Meski kenaikan 0,3 dianggap masih bersifat artifisial dan Indonesia masih bertengger di peringkat 126 negara terkorup di dunia, jelas upaya KPK sangat mendongkrak citra bangsa ini dalam upaya pemberantasan korupsi sebagai kejahatan utama kemanusiaan. Pemerintahan SBY pun kecipratan citra positif dari kiprah KPK ini. Bahkan tak tanggung-tanggung, kegarangan dalam pembarantasan korupsi sempat menjadi “jualan citra” dalam kampanye Pilpres 2009 bagi pasangan SBY-Boediono.
Namun, cahaya yang memancar dari KPK, perlahan tapi pasti meredup, ibarat senja kala yang menjadi penanda kegelapan malam yang segera tiba. Situasi yang memang diinginkan para penjahat kerah putih, politisi busuk, pengusaha hitam, birokrat amoral dan devil’s advocat, karena mereka dapat berlindung di pekatnya kegelapan aturan main negeri ini. Mereka yang tak nyaman dengan keberadaan KPK, intensif melakukan serangan balik dengan melumpuhkan kewibawaan lembaga ini. Nampak jelas upaya serangan balik ini bersifat konspiratif, sistematis dan terorganisasi.
Dilihat dari perspektif pencitraan lembaga, berbagai kejadian yang menyudutkan KPK akhir-akhir ini jelas merupakan situasi krisis yang membahayakan. Situasi ini dapat menempatkan KPK di titik nadir. Ada beberapa faktor perusak citra yang harus segera diatasi hingga tidak merusak tubuh lembaga ini.
Pertama, faktor eksistensi dan kewibawaan pimpinan KPK. Dalam sebuah konteks pencitraan, tak disangkal lagi bahwa pimpinan selalu menjadi wajah dari lembaga yang dipimpinnya. Ada upaya pembusukan yang dilakukan dengan cara mempreteli pimpinan KPK. Akhir-akhir ini, dua Wakil Ketua KPK, Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto, Selasa (15/9) ditetapkan sebagai tersangka dengan dugaan penyalahgunaan wewenang. Keduanya pun terpaksa harus non aktif dari kepemimpinan KPK sesuai Pasal 32 Ayat 2 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Sebelumnya, Antasari Azhar, Ketua KPK (non aktif), ditahan di Mabes Polri karena diduga terlibat pembunuhan berencana Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen. Praktis, pimpinan KPK yang aktif tinggal 2 orang yakni Haryono Umar dan M Jasin.
Tentu saja, mereka yang menskenariokan lumpuhnya KPK berharap dapat mereduksi otoritas pimpinan KPK dengan mengkampanyekan melalui media massa tidak syahnya putusan apapun yang nantinya dikeluarkan KPK, dengan argumen keputusan KPK mesti bersifat kolektif dan kolegial.
Sungguh, hal ini merupakan upaya sistematis dalam merusak citra KPK di mata publik. Pimpinan KPK, diidentikkan dengan citra diri pembunuh, penerima suap, komplotan yang bersekongkol dengan penjahat, dan pejabat kotor yang menyalagunakan wewenang. Konstruksi simbolik citra diri negatif pimpinan KPK ini kian rusak, saat media massa tak kritis menyikapi hal ini dan terjebak dalam skenario pelumpuhan KPK. Yang harus kita sadari bukan semata-mata soal benar salah substansi hukum yang disangkakan kepada mereka, melainkan juga kelangsungan citra lembaga ini ke depan. Dengan tak berdayanya pimpinan, maka fungsi KPK yakni kordinasi, supervisi, monitoring, pencegahan serta penyelidikan, penyidikan dan penuntutan secara otomatis akan terganggu.
Kedua, lembaga ini kerap dicitrakan oleh mereka yang terancam sebagai superbody yang kerap bertindak melebihi kewenangannya. Dengan demikian, serangan yang tak kalah hebatnya adalah upaya mengamputasi kewenangan KPK. Ini karena dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, KPK berwenang melakukan penyadapan, pencekalan, meminta data kekayaan dan data perpajakan, serta menghentikan sementara transaksi keuangan tersangka atau terdakwa.
Bola panas kini ada di senayan, dimana DPR dan pemerintah masih membahas RUU tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, yang substansinya bisa mengurangi kewenangan KPK dalam pemberantasan korupsi. Akankah nasib KPK sama dengan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) di zaman Presiden Gus Dur yang lumpuh layu akibat diujimaterikan ke Mahkamah Agung (MA).
Citra KPK selama tahun 2008 membumbung tinggi, hingga berkontribusi positif pada naiknya Indek Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia menjadi 2,6 dari tahun sebelumnya 2,3 versi Transfaransi Internasional. Meski kenaikan 0,3 dianggap masih bersifat artifisial dan Indonesia masih bertengger di peringkat 126 negara terkorup di dunia, jelas upaya KPK sangat mendongkrak citra bangsa ini dalam upaya pemberantasan korupsi sebagai kejahatan utama kemanusiaan. Pemerintahan SBY pun kecipratan citra positif dari kiprah KPK ini. Bahkan tak tanggung-tanggung, kegarangan dalam pembarantasan korupsi sempat menjadi “jualan citra” dalam kampanye Pilpres 2009 bagi pasangan SBY-Boediono.
Namun, cahaya yang memancar dari KPK, perlahan tapi pasti meredup, ibarat senja kala yang menjadi penanda kegelapan malam yang segera tiba. Situasi yang memang diinginkan para penjahat kerah putih, politisi busuk, pengusaha hitam, birokrat amoral dan devil’s advocat, karena mereka dapat berlindung di pekatnya kegelapan aturan main negeri ini. Mereka yang tak nyaman dengan keberadaan KPK, intensif melakukan serangan balik dengan melumpuhkan kewibawaan lembaga ini. Nampak jelas upaya serangan balik ini bersifat konspiratif, sistematis dan terorganisasi.
Dilihat dari perspektif pencitraan lembaga, berbagai kejadian yang menyudutkan KPK akhir-akhir ini jelas merupakan situasi krisis yang membahayakan. Situasi ini dapat menempatkan KPK di titik nadir. Ada beberapa faktor perusak citra yang harus segera diatasi hingga tidak merusak tubuh lembaga ini.
Pertama, faktor eksistensi dan kewibawaan pimpinan KPK. Dalam sebuah konteks pencitraan, tak disangkal lagi bahwa pimpinan selalu menjadi wajah dari lembaga yang dipimpinnya. Ada upaya pembusukan yang dilakukan dengan cara mempreteli pimpinan KPK. Akhir-akhir ini, dua Wakil Ketua KPK, Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto, Selasa (15/9) ditetapkan sebagai tersangka dengan dugaan penyalahgunaan wewenang. Keduanya pun terpaksa harus non aktif dari kepemimpinan KPK sesuai Pasal 32 Ayat 2 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Sebelumnya, Antasari Azhar, Ketua KPK (non aktif), ditahan di Mabes Polri karena diduga terlibat pembunuhan berencana Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen. Praktis, pimpinan KPK yang aktif tinggal 2 orang yakni Haryono Umar dan M Jasin.
Tentu saja, mereka yang menskenariokan lumpuhnya KPK berharap dapat mereduksi otoritas pimpinan KPK dengan mengkampanyekan melalui media massa tidak syahnya putusan apapun yang nantinya dikeluarkan KPK, dengan argumen keputusan KPK mesti bersifat kolektif dan kolegial.
Sungguh, hal ini merupakan upaya sistematis dalam merusak citra KPK di mata publik. Pimpinan KPK, diidentikkan dengan citra diri pembunuh, penerima suap, komplotan yang bersekongkol dengan penjahat, dan pejabat kotor yang menyalagunakan wewenang. Konstruksi simbolik citra diri negatif pimpinan KPK ini kian rusak, saat media massa tak kritis menyikapi hal ini dan terjebak dalam skenario pelumpuhan KPK. Yang harus kita sadari bukan semata-mata soal benar salah substansi hukum yang disangkakan kepada mereka, melainkan juga kelangsungan citra lembaga ini ke depan. Dengan tak berdayanya pimpinan, maka fungsi KPK yakni kordinasi, supervisi, monitoring, pencegahan serta penyelidikan, penyidikan dan penuntutan secara otomatis akan terganggu.
Kedua, lembaga ini kerap dicitrakan oleh mereka yang terancam sebagai superbody yang kerap bertindak melebihi kewenangannya. Dengan demikian, serangan yang tak kalah hebatnya adalah upaya mengamputasi kewenangan KPK. Ini karena dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, KPK berwenang melakukan penyadapan, pencekalan, meminta data kekayaan dan data perpajakan, serta menghentikan sementara transaksi keuangan tersangka atau terdakwa.
Bola panas kini ada di senayan, dimana DPR dan pemerintah masih membahas RUU tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, yang substansinya bisa mengurangi kewenangan KPK dalam pemberantasan korupsi. Akankah nasib KPK sama dengan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) di zaman Presiden Gus Dur yang lumpuh layu akibat diujimaterikan ke Mahkamah Agung (MA).
KPK harus diselamatkan!. Lembaga ini sangat penting dalam proses demokratisasi di negeri ini. Oleh karena itu, Presiden harus peduli, DPR dan Polri pun jangan menjadi bagian dari jerat laba-laba yang mematikan eksistensi KPK.***
Tulisan ini bisa diakses di:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar