Oleh : Gun Gun Heryanto
(Dipublikasikan di Koran Jakarta, 24 Juli 2009)
Peristiwa bom di Hotel Ritz Carlton dan Hotel JW Marriott (17/07), tak hanya mengguncang Jakarta tetapi juga Indonesia. Dampak peristiwa tersebut, sudah pasti menjadi penanda negatif proses pencitraan Indonesia di mata dunia. Berbagai upaya meyakinkan pihak internasional, bahwa Indonesia merupakan negara yang aman dari ancaman kembali mendapatkan ujian. Memori publik diingatkan, pada pemboman sebagai pesan teror serupa di waktu lalu. Misalnya, bom di kediaman Duta Besar Filipina (2000), Gedung BEJ (2000), bom Bali I (2002), Bandara Soekarno-Hatta (2003), Hotel JW Marriott (2003), Kedutaan Australia (2004), bom Bali II (2005) dan sejumlah peristiwa bom di tempat lainnya. Selain menyangkut tindak kejahatan kemanusiaan yang luar biasa, peristiwa bom ini, juga harus dipahami dalam konteks pesan yang didesain pelakunya. Sehingga, kita tak masuk ke dalam jebakan publisitas teror yang sejak awal memang diinginkan para pelaku tak bermoral di balik peristiwa tersebut.
Extraordinary
Setiap aksi teror sudah pasti diarahkan pada upaya menebar ketakutan luar biasa. Semakin massif ketakutan, maka semakin sukses desain teror dijalankan si pelaku. Aksi para teroris bukan semata kejahatan sesaat, tetapi biasanya sistematis, terorganisir dan diorientasikan pada efek domino pasca kejahatan itu dilakukan. Oleh karennya, teror merupakan pesan yang dikonstruksi. Biasanya melalui pengemasan “teater” kematian yang dibuat sangat sadis, dramatis, chaos dan dapat menyebabkan situasi traumatik.
Bagi para pelaku, bukan hanya sekedar meledaknya bom dan jatuhnya banyak korban melainkan lebih dari itu yakni publisitas teror melalui media massa dan perbincangan publik. Sehingga hal tersebut memunculkan ketakutan, kesedihan, lumpuhnya kepercayaan internasional dan situasi yang serba tidak menentu. Aksi teror biasanya mengacu pada aktualisasi kebencian, frustasi, disorientasi sosial, atau mungkin juga cara pandang yang keliru mengenai implementasi ideologi tertentu. Dalam praktiknya, dia membutuhkan sebuah “panggung pertunjukkan” untuk memalingkan perhatian publik pada tindakannya itu. Panggung yang memungkinkan tindakannya menjadi extra ordinary news (kejadian sangat luar biasa). Dengan demikian, teroris selalu menjadikan praktik terornya sebagai praktik tie-in publicity yakni menciptakan popularitas melalui kejadian sangat luar biasa. Mereka sangat sadar, bahwa setiap kejadian luar biasa dengan sendirinya akan diliput media massa. Aspek dramatis dan berdarah-darah yang ditampilkan oleh media itulah, yang menjadi publisitas teror sekaligus menebar horor, tak hanya di dalam negeri melainkan juga di dunia internasional.
Liputan media massa tentunya tak terhindarkan dari setiap aksi teror bom. Setiap detil dari tempat kejadian, menjadi menu utama pemberitaan. Tentu, hal ini tak bisa disalahkan, karena memang sudah menjadi tugas media memberitakan sesuatu yang terjadi di masyarakat terlebih menyangkut peristiwa extra ordinary seperti peristiwa pemboman. Namun demikian, seyogianya media massa juga proporsional dalam pemberitaan dan tidak terjebak oleh keinginan pelaku teror dengan mendramatisasi ketakutan, menimbulkan trauma berlebihan bagi korban dan keluarga korban serta tidak menghembus-hembuskan asumsi-asumsi liar tanpa bukti memadai.
Dalam kasus bom di Ritz Carlton dan JW Marriott, pelaku sangat memperhitungkan dampak publisitas yang high explosive dari kejadian itu. Hal ini paling tidak ditunjang oleh tiga faktor. Pertama, konteks tempat yakni kedua hotel yang dijadikan sentral ledakan. Setiap aksi teror selalu membutuhkan “panggung pertunjukkan” yang memungkinkan luasnya jangkauan pengaruh. Kita bisa identifikasi, ledakan demi ledakan selalu terjadi di obyek-obyek vital seperti bandara, kedutaan negara asing, pusat bisnis, pusat perbelanjaan, hotel dll.
Ritz Carlton dan JW Marriott merupakan dua hotel internasional dan diidentifikasi milik asing. Dengan meledakkan kedua tempat tersebut, sudah tentu pelaku berharap menjadikan peristiwa ini sebagai isu internasional. Mungkin saja ada kelompok organik dari gerakan terorisme yang menandai tindakan terornya melalui penghancuran simbol barat lebih khususnya Amerika. Namun, kemunginan pihak lain pun masih bisa saja terjadi. Yakni, mereka yang mengelabui perhatian publik, dengan meminjam modus lama gerakan terorisme berbasis ideologi, padahal para kreatornya tak lebih dari hanya sekedar para machievelist yang menginginkan ketidakteraturan sosial guna pencapaian tujuan strategis dan politis yang bersifat jangka pendek.
Kedua, konteks momentum kedatangan para pesohor Manchaster United (MU) ke Indonesia. Pasukan MU adalah magnitud pemberitaan, wajar jika kemana pun mereka bergerak, maka sudah otomatis akan mendapatkan peliputan media. Begitu pun rencana kedatangan mereka ke Indonesia. Jauh hari sebelum tanggal pertandingan digelar, MU telah menimbulkan kegaduhan di rung media massa. Si pelaku melihat jeli situasi ini, kedatangan MU tak hanya membawa serombongan pasukan pemain bola tetapi juga embedded international journalist yang akan meliput dan mempublikasikan lawatan tersebut. Sungguh pemilihan momentum yang direncanakan dan terstruktur.
Ketiga, konteks waktu pasca Pilpres yang segera memasuki fase krusial yakni penetapan pemenang Pemilu. Bisa jadi, tak ada hubungannya antara peristiwa bom dengan peristiwa Pemilu. Namun demikian, suasana kompetisi yang belum usai, menyebabkan hiruk-pikuk berita selalu berkisar diantara para capres dan cawapres. Upaya menarik kasus bom ke ranah politik, membuat suasana kian tak kondusif dan menyebabkan sikap saling tak percaya diantara para elit. Justru kondisi seperti inilah yang diinginkan oleh para pelaku teror.
Kontroversi SBY
Presiden SBY merupakan sosok yang biasanya sangat pandai menjaga citra di muka publik. Berbagai pernyataanya selalu dia kemas dengan hati-hati, sistematis, dan menghindari keagresifan verbal. Namun, kebiasaan itu tak tercermin dalam pernyataannya saat menanggapi kasus bom Ritz Carlton dan JW Marriott. SBY disadari atau tidak membuat kontroversi dalam dua hal.
Pertama, terjadi tumpangtindih peran pada saat membuat pernyataan. Lagi-lagi komunikasi tak melulu persoalan isi, melainkan juga konteks. Saat SBY berbicara di halaman Istana, seharusnya dia berbicara dalam kapasitas dirinya sebagai Presiden yang mestinya menyatukan seluruh elemen bangsa dalam menghadapi common enemy yakni terorisme. Bukan sebagai calon presiden yang mengkhawatirkan adanya pihak lain yang akan menggagalkan kemenangannya di Pilpres melalui pendudukan KPU, Iranisasi atau tindakan berbahaya lainnya. Jika SBY berbicara di Istana, jelas pernyataannya harus menunjukkan respek di atas semua golongan, bahkan lawan politik sekali pun. Tidak pada tempatnya dia menyudutkan pihak lain melalui pernyataan yang mengundang beribu tanya.
Kedua, jika pun isi pernyataan SBY merupakan hasil analisa data intelejen yang valid, satu hal mungkin telah dilupakan bahwa situasi teror justru menghendaki kepanikan yang menjadi-jadi. Data intelejen yang diakui baru pertamakali dibuka di muka umum, bahwa ada gerakan yang ingin menjadikan SBY sebagai target kekerasan dan adanya gerakan sekelompok orang yang tidak menghendaki dirinya dilantik kembali menjadi presiden, justru menebar ketakutan lain. Tidak relevan SBY membuka temuan dan hasil analisa intelejen itu, bersamaan waktunya dengan pernyataan keras mengutuk pelaku pemboman. Kita tentu saja tidak berharap, pernyataan SBY ini terjebak dalam desain para peneror yakni situasi saling curiga yang menstimulasi kondisi chaos.
Pernyataan seorang presiden tentu akan menjadi berita yang dikonsumsi masyarakat. Sangat mungkin sebuah pernyataan yang tidak dimaksudkan menebar teror justru mengonstruksi agitasi. Opini publik dapat berjalan liar, menjadi bola salju yang terus menggelinding dan memperbesar ketakutan. Oleh karena itu perlu kearifan semua pihak terutama para elit politik dan media massa untuk sama-sama mencegah meluasnya publisitas teror. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar