Oleh : Gun Gun Heryanto
(Telah Dimuat di Harian SINDO, Jum'at 12 Desember 2008)
Fase pemanasan (warming up) dalam rivalitas politik nasional selama masa kampanye tahun ini, segera akan berganti “the real war” seiring tibanya tahun 2009. Berbagai manuver, intrik, managemen konflik serta strategi promosi dan pencitraan diri dalam realitas simbolik media baik lini atas (above line media) maupun lini bawah (below line media) akan semakin kompetitif dan memanas. Tahun depan, bangsa Indonesia akan memasuki “turbulensi” politik, sebagai dampak pertarungan meraih otoritas kekuasaan baik di legislatif maupun pemilihan presiden. Kampanye, menjadi instrumen yang memainkan peran penting dalam memandu kesadaran khalayak pada sosok dan citra diri kandidat. Batas waktu kampanye yang lebih panjang dibanding Pemilu 2004, memberi kesempatan para kandidat baik capres, caleg maupun partai politik untuk secara bebas memasuki relung kesadaran khalayak politik melalui pemasaran politik yang terkonsep. Namun, kampanye juga bisa menjadi alat ampuh manipulasi kesadaran politik, dan mensubordinasikan khalayak dalam situasi tuna kuasa tanpa literasi politik yang memadai.
Puncak Perang Citra
Puncak Perang Citra
Kampanye politik di tahun 2008 memang masih relatif adem-ayem. Para penampil yang akan berebut kekuasaan seolah sadar, bahwa pemilih Indonesia adalah pemilih dengan daya ingat pendek. Dana dan energi disiapkan untuk menggarap massa di waktu yang nantinya berdekatan dengan perhelatan pesta demokrasi. Lima target bidikan waktu selama 2009 tentu telah dihitung dan dianalisis secara seksama. Pada 9 April, akan ada pemungutan suara untuk Pemilu legislatif baik di level DPR, DPRD dan DPD. Perebutan RI-1 dan RI-2 putaran pertama dijadwalkan 6 Juli, sementara putaran kedua jika diperlukan akan digelar pada 21 September. Mereka yang menjadi pemenang dalam pemilu, akan dilantik pada 1 Oktober untuk para anggota legislatif sementara RI-1 dan wakilnya akan ditahbiskan pada 20 Oktober 2009.
Selain target bidikan waktu tadi, jumlah kursi yang tersedia pun menjadi bahan berhitung dalam konstelasi politik yang berkembang. Perang terbuka diprediksi akan berjalan sengit, karena Pemilu langsung menyediakan jumlah kursi yang terbatas. 18.442 kursi akan diperebutkan oleh para kandidat yang namanya telah masuk di list calon tetap. 15.750 kursi DPRD kota/kabupaten, 1.998 kursi DPRD provinsi, 560 kursi DPR dan 132 kursi DPD. Begitu pun menyangkut nahkoda negeri ini, hanya sepasang saja yang nantinya dipilih. Wilayah perebutan kekuasaan tadi, mendorong seluruh kandidat untuk all out menyambut tahun baru 2009 dengan berbagai amunisi perang citra.
Dalam Konggres XIV Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) baru-baru ini di Bandung, terdapat prediksi bahwa Pemilihan Presiden dan Pemilu Legislatif membuat potensi iklan politik di seluruh media berkisar antara 8 hingga 10 triliun. Jika mengacu pada peredaran uang di industri periklanan nasional selama tahun 2008 yang berkisar di angka 20 triliun bersih, berarti ada potensi peningkatan yang signifikan.
Sebuah prosesi perang citra tentu saja tidak murah. Pertama, industri pencitraan telah mengakomodasi kandidat sama halnya dengan produk komersial lainnya. Potensi “jualan” yang akan mengenalkan atau meneguhkan brand, berada dalam arus putaran M-C-M (money-commodity-more money). Kedua, di antara saluran-saluran dalam komunikasi politik, media massa menjadi sarana kampanye yang ampuh menjadi peneguh dalam konteks bauran promosi (promotions mix) yang menggunakan pendekatan bidirectional campaign. Pendekatan ini memanfaatkan secara sinergis exposure media massa dengan segala variannya sekaligus juga saluran-saluran konvensional yang sudah mapan berada di masyarakat. Saluran komunikasi politik lain yang dimaksud yakni, saluran face-to-face informal yang menekankan pada loby dan negosiasi, struktur sosial tradisional yang menekankan pada posisi orang dalam suatu hirarki pengaruh, saluran input yang mengoptimalkan hubungan dengan kelompok-kelompok infrastruktur politik yang biasanya memberikan masukan ide, gagasan, tuntutan serta dukungan kepada suprastruktur politik. Terkahir, adalah saluran out put, biasanya dilakukan dengan mengawal perjalanan lahirnya berbagai perundang-undangan dan implementasinya. Dengan demikian perang ini dilakukan di saluran legislatif dan birokrasi.
Kebutuhan Literasi Politik
Pemilu 1999 dan 2004, menunjukkan perang citra melalui media massa telah menjadi trend positif dalam sistem politik nasional. Ini merupakan salah satu hasil dari proses reformasi. Setiap warga negara berhak mengekspresikan ide, gagasan, pemikiran dan tindakan politiknya, tanpa harus takut berbenturan dengan politik korportif negara. Sayang, kedua Pemilu tersebut, masih sangat didominasi oleh motif tradisional dan motif rasional-bertujuan. Motif tradisional banyak dipengaruhi lingkungan keluarga, suku, ras atau etnis. Sementara motif rasional-bertujuan, berbasis kepentingan pragmatis individu untuk memperoleh kekuasaan, meski dengan cara apa pun. Baik motif tradisional yang berada di dimensi historisitas berjenjang maupun motif rasional-bertujuan yang berbasis pragmatisme, sama-sama memfasilitasi politik dalam arus yang linear. Yakni, mengalir dari the leadership public atau elit opini ke publik berperhatian (the attentive public) lalu ke masyarakat awam (general public). Jika alur seperti ini juga terjadi di Pemilu 2009, maka dapat diprediksi kalau Pemilu tak akan melahirkan sosok pemimpin yang transformasional.
Solusi paling tepat dalam membentuk pemilih rasional di Indonesia adalah gerakan literasi politik. Gerakan ini semestinya massif dilakukan oleh pemerintah, partai politik, interest and pressure group serta media massa. Awalnya term literasi ini, populer digunakan di bidang studi dokumen (perpustakaan) dan informasi. Information Literacy pertama kali digunakan oleh Paul Zurkowski, President of The Internationl Industry Association. Dia menggambarkan orang-orang yang melek informasi itu sebagai orang-orang yang terdidik di dalam mengaflikasikan sumber-sumber informasi terhadap pekerjaan mereka. Senada dengan itu, The American Library Association (1996) juga mendefinisikan information literacy sebagai keterampilan mencari, memanfaatkan dan mengevaluasi informasi untuk memecahkan masalah.
Literasi kemudian tidak dimaknai secara sempit dalam perspektif studi teks tetapi juga dalam kognisi sosial dan konteks sosial, yakni tumbuhnya masyarakat rasional dan terdidik (educated society). Literasi politik dalam konteks Pemilu dipahami sebagai kemampuan warga masyarakat untuk mendifiniskan kebutuhan mereka akan substansi politik terutama perihal Pemilu. Mengetahui strategi pencarian informasi apa, siapa dan mengapa mereka harus memilih? Memiliki kemampuan untuk mengakses informasi seputar kandidat yang akan mewakili mereka nantinya. Mampu membandingkan dan mengevaluasi berbagai tawaran politik yang disodorkan kepada mereka. Terakhir, mampu mengorganisasikan, mensintesakan serta membuat jejaring (network) pemilih rasional dalam proses transaksional dengan pemimpin yang akan diberi mandat kekuasaan oleh mereka. Masa kampanye merupakan momentum yang tepat untuk melakukan gerakan literasi politik. Dengan demikian, semestinya kampanye tidak semata-mata mengemas citra melainkan juga mentransformasikan kesadaran dan kemampuan untuk menjadi rasional voter.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar