Oleh : Gun Gun Heryanto
Amrozi, Mukhlas dan Imam Samudra pelaku bom Bali yang menewaskan 202 orang dan melukai ratusan lainnya, telah dieksekusi mati Minggu dini hari (9/11) pukul 00.15 WIB di Nusakambangan setelah permohonan PK mereka di tolak. Ini merupakan babak akhir drama kehidupan dunia, bagi ketiga orang anak bangsa yang memiliki interpretasi ajaran agama secara berbeda dari arus utama warga di negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia ini.
Jenazah Imam Samudra telah bersemayam di tanah kampung halamannya, Lopang Gede, Serang Banten. Sementara Amrozi dan Mukhlas alias Ali Ghufron telah beristirahat abadi di tanah Tenggulun, Solokuro, Lamongan. Eksekusi dengan cara ditembak, menjadi penanda mahalnya sebuah cita-cita yang mereka perjuangkan. Lantas akan matikah gerakan radikal pasca eksekusi mereka ? tentu tidak, karena sosok Amrozi Cs, bisa jadi akan bermetamorfosis dalam diri pewaris pemikirannya. Bisa dari anak atau kerabat yang memiliki pola pikir serupa atau kader dan temen seperjuangan yang senantiasa mecintai ketiga orang itu sebagai syuhada.
Transformasi Gerakan
Kasat mata terlihat di berbagai media massa, begitu banyak kerabat, kolega dan teman Imam Samudra yang mencoba menggelorakan semangat perjuangan yang telah ditunjukkan Amrozi Cs. Bahkan, di bebarapa tempat photo dan spanduk berhias wajah mereka ditulisi “pejuang”, “syuhada”, “penerus nabi” dll. Ini bukti bahwa, meski hukum formal negara telah merenggut jiwa dari raga mereka, namun transformasi spirit gerakan radikal sepertinya akan terus mengalir.
Transformasi gerakan radikal paling tidak dipengaruhi oleh tiga faktor utama. Pertama lingkungan makro antaralain sistem politik global, sistem kenegaraan, market struktur, sistem budaya dll. Misalnya saja relasi antagonisitik yang dibangun Amerika di bawah komando “Koboy Texas” George Bush dengan kebijakan unilateralismenya, telah menyebabkan dendam kesumat dari banyak organisasi radikal yang kerapkali dicap “teroris” “ekstrimis” “pasukan setan” “penjahat demokrasi” dan lain sebagainya. Kondisi seperti ini pula yang telah memupuk subur gerakan radikal Islam seperti di Afghanistan, Irak, Iran, Lybia, termasuk juga di Indonesia. Sentimen anti Barat mengemuka termasuk saat terjadinya Bom Bali.
Kedua, lingkungan mikro-langsung, yakni lingkungan terdekat yang menjadi tempat sosialisasi sekaligus pembentukan keasadaran dan kepribadian seseorang melalui proses internalisasi diri, seperti keluarga, agama, sekolah dan kelompok pergaulan. Sangat wajar jika suatu pesantren atau sekolah yang terus-menerus, sistemis dan terorganisir menghidupkan cara pandang ekstrim tentang agama, maka akan banyak lahir kader militan yang siap mati karena memperjuangkan apa yang mereka yakini. Sekali pun dengan cara kekerasan, karena hal tersebut masuk dalam kategori “investasi syurga”. Keluarga pun bisa menjadi katalisator. Misalnya, dengan wasiat untuk meneruskan jejak langkah orangtuanya berjuang bak “pahlawan di Perang Badar” , bisa jadi seorang anak suatu saat mewarisi kemampuan ayahnya sebagai ahli perakit bom atau ahli teror.
Ketiga, orientasi kepribadian yang tercermin dalam sikap individu. Bentuknya adalah kepentingan untuk mencapai tujuan khusus politik, penyesuaian diri dengan sel organisasi yang diikuti, eksternalisasi diri agar tampil ke publik menebar teror dan ancaman ketakutan sehingga memperoleh liputan media massa, dan pertahanan diri dari berbagai tekanan pihak lain. Orientasi-orientasi kepribadian ini perlahan tapi pasti dapat menstimulasi semangat radikalisme dengan wajah kekerasan.
Motif Radikalisme
Sosiolog Max Weber membagi motif prilaku politik menjadi : motif rasional-bernilai, motif afektif-emosional, motif tradisional dan motif rasional bertujuan. Jika menggunakan kategori motif tadi, nampak bahwa penganut radikalisme Islam atau agama apapun, mencoba membangkitkan motif rasional-bernilai. Sebuah motif yang didorong oleh semangat untuk mengimplementasikan norma-norma tertentu yang dipahamai sebagai kebenaran. Dengan nalarnya, seseorang mencoba untuk menelaah konsep normatif tersebut ke dalam sebuah gagasan operasional untuk diperjuangkan. Dengan kata lain, motif ini adalah rasionalisasi dari apa yang seharusnya atau apa yang ideal. Hanya saja, rasionalitas dalam konteks ini, kerap tunduk pada gagasan akan kebenaran yang telah diyakininya. Sehingga muncul ekslusifisme. Gerakan menjadi tertutup, sistem sel, dan monolayalitas pada komando dari imam yang yakini telah diamanati oleh Tuhan sebagai pemimpinnya.
Tentu saja, dalam praktiknnya motif ini akan menjadi daya dorong yang kuat bagi munculnya gerakan radikal terlebih jika bertemu dengan momentum ketidakadilan, ketidaksejahteraan dan instabilitas politik di masyarakat.
Amrozi, Mukhlas dan Imam Samudra pelaku bom Bali yang menewaskan 202 orang dan melukai ratusan lainnya, telah dieksekusi mati Minggu dini hari (9/11) pukul 00.15 WIB di Nusakambangan setelah permohonan PK mereka di tolak. Ini merupakan babak akhir drama kehidupan dunia, bagi ketiga orang anak bangsa yang memiliki interpretasi ajaran agama secara berbeda dari arus utama warga di negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia ini.
Jenazah Imam Samudra telah bersemayam di tanah kampung halamannya, Lopang Gede, Serang Banten. Sementara Amrozi dan Mukhlas alias Ali Ghufron telah beristirahat abadi di tanah Tenggulun, Solokuro, Lamongan. Eksekusi dengan cara ditembak, menjadi penanda mahalnya sebuah cita-cita yang mereka perjuangkan. Lantas akan matikah gerakan radikal pasca eksekusi mereka ? tentu tidak, karena sosok Amrozi Cs, bisa jadi akan bermetamorfosis dalam diri pewaris pemikirannya. Bisa dari anak atau kerabat yang memiliki pola pikir serupa atau kader dan temen seperjuangan yang senantiasa mecintai ketiga orang itu sebagai syuhada.
Transformasi Gerakan
Kasat mata terlihat di berbagai media massa, begitu banyak kerabat, kolega dan teman Imam Samudra yang mencoba menggelorakan semangat perjuangan yang telah ditunjukkan Amrozi Cs. Bahkan, di bebarapa tempat photo dan spanduk berhias wajah mereka ditulisi “pejuang”, “syuhada”, “penerus nabi” dll. Ini bukti bahwa, meski hukum formal negara telah merenggut jiwa dari raga mereka, namun transformasi spirit gerakan radikal sepertinya akan terus mengalir.
Transformasi gerakan radikal paling tidak dipengaruhi oleh tiga faktor utama. Pertama lingkungan makro antaralain sistem politik global, sistem kenegaraan, market struktur, sistem budaya dll. Misalnya saja relasi antagonisitik yang dibangun Amerika di bawah komando “Koboy Texas” George Bush dengan kebijakan unilateralismenya, telah menyebabkan dendam kesumat dari banyak organisasi radikal yang kerapkali dicap “teroris” “ekstrimis” “pasukan setan” “penjahat demokrasi” dan lain sebagainya. Kondisi seperti ini pula yang telah memupuk subur gerakan radikal Islam seperti di Afghanistan, Irak, Iran, Lybia, termasuk juga di Indonesia. Sentimen anti Barat mengemuka termasuk saat terjadinya Bom Bali.
Kedua, lingkungan mikro-langsung, yakni lingkungan terdekat yang menjadi tempat sosialisasi sekaligus pembentukan keasadaran dan kepribadian seseorang melalui proses internalisasi diri, seperti keluarga, agama, sekolah dan kelompok pergaulan. Sangat wajar jika suatu pesantren atau sekolah yang terus-menerus, sistemis dan terorganisir menghidupkan cara pandang ekstrim tentang agama, maka akan banyak lahir kader militan yang siap mati karena memperjuangkan apa yang mereka yakini. Sekali pun dengan cara kekerasan, karena hal tersebut masuk dalam kategori “investasi syurga”. Keluarga pun bisa menjadi katalisator. Misalnya, dengan wasiat untuk meneruskan jejak langkah orangtuanya berjuang bak “pahlawan di Perang Badar” , bisa jadi seorang anak suatu saat mewarisi kemampuan ayahnya sebagai ahli perakit bom atau ahli teror.
Ketiga, orientasi kepribadian yang tercermin dalam sikap individu. Bentuknya adalah kepentingan untuk mencapai tujuan khusus politik, penyesuaian diri dengan sel organisasi yang diikuti, eksternalisasi diri agar tampil ke publik menebar teror dan ancaman ketakutan sehingga memperoleh liputan media massa, dan pertahanan diri dari berbagai tekanan pihak lain. Orientasi-orientasi kepribadian ini perlahan tapi pasti dapat menstimulasi semangat radikalisme dengan wajah kekerasan.
Motif Radikalisme
Sosiolog Max Weber membagi motif prilaku politik menjadi : motif rasional-bernilai, motif afektif-emosional, motif tradisional dan motif rasional bertujuan. Jika menggunakan kategori motif tadi, nampak bahwa penganut radikalisme Islam atau agama apapun, mencoba membangkitkan motif rasional-bernilai. Sebuah motif yang didorong oleh semangat untuk mengimplementasikan norma-norma tertentu yang dipahamai sebagai kebenaran. Dengan nalarnya, seseorang mencoba untuk menelaah konsep normatif tersebut ke dalam sebuah gagasan operasional untuk diperjuangkan. Dengan kata lain, motif ini adalah rasionalisasi dari apa yang seharusnya atau apa yang ideal. Hanya saja, rasionalitas dalam konteks ini, kerap tunduk pada gagasan akan kebenaran yang telah diyakininya. Sehingga muncul ekslusifisme. Gerakan menjadi tertutup, sistem sel, dan monolayalitas pada komando dari imam yang yakini telah diamanati oleh Tuhan sebagai pemimpinnya.
Tentu saja, dalam praktiknnya motif ini akan menjadi daya dorong yang kuat bagi munculnya gerakan radikal terlebih jika bertemu dengan momentum ketidakadilan, ketidaksejahteraan dan instabilitas politik di masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar