Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini dipublikasikan di Harian Jurnal Nasional, 21 Maret 2011)
Teror bom kini ada di mana-mana. Setelah “bom buku” meladak di KBR 68 H, Utan Kayu, Jakarta pada 15 Maret kemarin, teror pun kian menjadi-jadi. Belum jelas benar, bagaimana teror itu menyeruak ke ruang publik dan menjadi headline banyak media. Ada situasi ketidakpastian sekaligus ancaman kekerasan yang bisa aktual setiap saat. Situasi seperti ini, bisa menjadi masa inkubasi kekerasan yang membahayakan kehidupan bangsa ini.
Virus Kekerasan
Jika merujuk ke literatur dunia kesehatan, masa inkubasi kerap dimaknai sebagai rentang waktu sejak masuknya penyakit ke dalam tubuh (saat penularan) hingga timbulnya penyakit tersebut. Hal ini, biasanya ditandai dengan adanya gejala penyakit yang jika dibiarkan akan menumbuhsuburkan virus. Bangsa ini ibarat tubuh manusia. Virus kekerasan sangat mungkin masuk dan menyebar ke dalam kehidupan masyarakat. Ada bebera faktor yang sangat mungkin memediasi aktualnya kekerasan.
Pertama, konflik elit yang memiliki implikasi pada masyarakat luas. Sejarah panjang bangsa ini telah mencatat betapa banyaknya konflik elit yang mengorbankan masyarakat akar rumput (grassroot). Misalnya, bagaimana elit mengalihkan perhatian opini publik yang berkembang melalui “proyek-proyek lupa”. Saat fakta menyudutkan elit tertentu, biasanya harus ditutup dengan memunculkan isu yang memiliki daya ledak sama atau lebih besar. Kita tentu ingat kasus pembunuhan ala ninja, santet, kerusuhan berbau SARA di bebarap tempat, yang jika ditelisik memiliki irisan dengan konflik di level elit. Proses mendistribusikan konflik dari elit ke masyarakat akar rumput ini, tentunya merupakan masa menanam kekerasan yang sempurna. Suatu saat, akan tiba masa memanen kekarasan yang dianggap sebagai hal lumrah dan apa adanya.
Kedua, adanya proses peneguhan kekerasan dari media massa. Maksud hati memberi khabar, bisa jadi berbuah kekerasan terpola. Media sadar atau tidak kerap menyumbang informasi berulang seputar kekerasan. Proses produksi, distribusi dan konsumsi isi media massa pun memapankan bahkan melembagakan konstruksi kekerasan dalam persepsi dan prilaku khalayaknya. Seluruh isi media merupakan realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality). Media pada dasarnya menyusun realitas hingga membentuk sebuah “cerita”.
Peter L Berger dan Thomas Luckmann dalam bukunya the Social Construction of Reality (1990), menyebutkan bahwa realitas itu dikonstruksi secara sosial (reality is socially constructed). Mengkonstruksi makna, tentu tak lepas dari proses pelembagaan dan legitimasi untuk memapankan sesuatu sehingga terpola dan menjadi kenyataan obyektif. Sekaligus juga terdapat internalisasi sebagai dimensi subyektif dari proses konstruksi tersebut. Jika media terus menerus dan terpola mendistribusikan khabar kekerasan terlebih dengan cara-cara berlebihan, bukan tak mungkin kekerasan itu nantinya dianggap sah dan apa adanya dalam internalisasi kesadaran individu-individu khalayak.
Berita seputar teror bom misalnya, memang patut diberitakan oleh media karena terkait dengan kepentingan orang banyak. Hanya saja, berita yang ditampilkan oleh media seyogianya proporsional dan memegangteguh prinsip-prinsip jurnalisme. Kita tentu terhenyak, saat sebuah stasiun tv berita, menayangkan detik-detik meledaknya bom buku di KBR 68 H. Bagaimana tangan polisi yang berdarah-darah akibat terkena ledakan bom ditayangkan berulang-ulang. Bingkai berita penuh sensasi pun dinarasikan serta divisualkan sedemikian rupa terkait dengan teror bom di berbagai tempat di Jakarta. Akibatnya, muncul histeria massa, dan teror pun memperoleh publisitas sehingga tentunya menguntungkan mereka yang mendesain perbuatan tersebut.
Jika pun benar “bom buku” dan bom-bom lain belakangan ini sebagai teror sudah barang tentu diarahkan pada upaya menebar ketakutan luar biasa. Semakin massif ketakutan, maka semakin sukses desain teror dijalankan si pelaku. Aksi pelaku teror bukan semata kejahatan sesaat, melainkan diorientasikan pada efek domino pasca kejahatan itu dilakukan. Oleh karennya, teror merupakan pesan yang dikonstruksi. Biasanya melalui pengemasan “teater” kematian yang dibuat dramatis, chaos dan menyebabkan situasi traumatik. Bisa jadi pula, perulangan berita media yang penuh sensasi dan memprovokasi itu menginisiasi pola prilaku teror dari orang atau sekelompok orang yang awalnya tak berniat melakukan hal tersebut. Jadi, media harus proporsional agar tak menjadi alat penebar ketakutan.
Ketiga, tidak kredibelnya aparat keamanan dalam penanganan kasus-kasus kekerasan. Misalnya, kita bisa melihat tidak optimalnya peran Polri dalam penanganan kasus kekerasan terhadap warga Ahamadiyah di Cikeusik, Pandeglang dan beberapa daerah lain. Peran Polri yang tak optimal tersebut, turut menyumbang eskalasi kekerasan oleh kelompok-kelompok tertentu. Persepsi tentang tidak kredibelnya aparat akan menyumbang pleonasme simbol Polri sebagai aparat penegak hukum. Dalam buku Novel Ali, Peradaban Komunikasi Politik (1999) pleonasme atau kemubadziran dapat memaksimalkan relasi antagonis dan meminimalkan sharing dalam pembentukan kebersamaan. Virus konflik berbau suku, agama, ras dan antargolongan akan cepat muncul dan beranak pinak jika aparat keamanan tak lagi dipercaya memainkan perannya.
Keempat, kekerasan bisa juga mengemuka saat muncul kecenderungan adanya kesenjangan komunikasi (communication gap) antara para pemuka agama dengan pemerintah. Idealnya, langkah ritmis pemerintah dengan para pemuka agama itu diperlukan untuk menyokong harmonisasi kehidupan masyarakat. Hanya saja, dalam praktiknya para pemuka agama kerap tak sejalan dan tak saling menguatkan dengan pemerintah. Bahkan, beberapa kali muncul indikasi adanya keengganan berkomunikasi (Communication Apprehention/CA). Istilah CA ini dipopulerkan oleh James McCroskey dalam Stephen W Littlejhon, Theories of Human Communication, yang manyatakan bahwa ada saat-saat orang mengalami keengganan berkomunikasi yang disebabkan faktor keadaan tertentu. Jika hal ini terjadi, maka akan sulit menempuh sharing dan penyelesaian masalah. Kesenjangan komunikasi yang berlarut-larut bisa merangsang persepsi publik yang keliru dan tentu turut menyempurnakan masa inkubasi kekerasan.
Penyikapan Kasus
Teror bom yang kini lagi tren di masyarakat seyogianya disikapi secara cerdas dan proporsional oleh masyarakat. Kita punya pengalaman banyak mengenai pola serupa di masa lalu. Jangan sampai khalayak tergiring serta-merta ke dalam pusaran opini publik dan histeria yang didesain sistematis oleh kekuatan tertentu. Ada dua kemungkinan dari mengemukanya teror ini.
Pertama, menimbulkan ketidakpastian dan ketidaknyamanan dalam kehidupan masyarakat. Situasi tidak pasti dan tidaknyaman merupakan potensi keuntungan bagi para petualang baik itu dari kalangan politisi maupun kelompok ekslusif yang memiliki agenda politik tertentu. Pergerakan demi pergerakan mereka akan lebih leluasa terlebih jika masyarakat masuk ke dalam skenario mereka. Sejatinya, teror itu memang diorientasikan pada situasi penuh paradoks, sehingga menjadi celah bagi aktifnya stelsel aktif gerakan.
Kedua, teror sangat mungkin juga menjadi upaya pelarian sejumlah masalah yang menjadi perhatian publik. Jangan biarkan “poyek lupa” yang ingin menjadikan masyarakat mengalami “amnesia” atas sejumlah persoalan penting, sukses diterapkan pada masyarakat. “Proyek lupa” merupakan manipulasi kesadaran kritis masyarakat, untuk tak lagi bersuara secara sukarela. Saat ini dan ke depan kita butuh elit, media, aparat dan masyarakat yang sama-sama saling memberdayakan bukan memperdayakan.
Tulisan ini bisa diakses di web Jurnas:
http://nasional.jurnas.com/halaman/6
Sumber gambar: