Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Kolom Analisis Pikiran Rakyat, 16 Desember 2013)
Sebenarnya, publisitas politik itu merupakan hal lumrah dan
sangat biasa dilakukan melalui beragam cara. Dalam perspektif komunikasi
politik, paling tidak ada empat jenis publisitas. Pertama, publisitas
yang memanfaatkan latar alamiah kejadian biasa (pure publicity),
misalnya mengucapkan selamat hari raya keagamaan lewat spanduk yang
dilakukan di berbagai ruas jalan oleh mereka yang memiliki kepentingan
elektoral.
Tujuannya jelas yakni popularitas dan elektabilitas kandidat. Kedua, publisitas yang memanfaatkan kejadian luar biasa (tie-in publicity), misalnya partai atau capres yang membuat posko di tempat kejadian musibah besar dan
memiliki potensi nilai berita. Modus yang biasa dipakai adalah menyelam
sambil minum air, membantu orang-orang terkena musibah sambil meraup
popularitas. Ketiga, publisitas yang memanfaatkan kegiatan yang dimiliki
oleh pihak ketiga (free ride publicity) misalnya kandidat memanfaatkan seminar, peresmian gedung, pembukaan acara dan lain-lain untuk mengelola popularitasnya. Keempat, publisitas yang membeli “ruang” di media (paid publicity) untuk menanamkan kesadaran atas sebuah brand kandidat misalnya lewat advertorial, spot, dan segmen acara.
Hal
yang menonjol saat ini adalah bermunculannya publisitas pejabat publik
di media massa yang sebagian besar diantaranya memiliki potensi
pelanggaran etika. Namun, dari sekian banyak publisitas para politisi
yang harus kita kritisi adalah keterlibatan pejabat publik dalam
sejumlah iklan komersial, iklan layanan masyarakat maupun sinetron.
Sebut saja sebagian nama pejabat itu ada Gita Wirjawan (Menteri
Perdagangan), Dahlan Iskan (Menteri Perhubungan), Marzuki Ali (Ketua
DPR) dan juga ada Wakil Gubernur (Wagub) Jawa Barat Deddy Mizwar. Selain
itu, ada juga sejumlah nama anggota DPR dari kalangan selebriti yang
sudah kembali aktif di panggung hiburan padahal masih tersemat label
wakil rakyat dengan seabrek tugas yang harusnya menjadi prioritas
mereka.
Jika dibuat tipologi, pejabat publik yang masih beriklan itu bisa kita bedakan menjadi dua. Pertama, campaigning maker
artinya pejabat ini sedang menyiapkan diri memengaruhi pemilih untuk
jabatan tertentu di kemudian hari. Dengan demikian, meski bungkusnya
publisitas, tetapi targetnya sama dengan kampanye yakni positioning, branding, segmenting. Menanamkan kesan di benak para pemilih, memalingkan perhatian khalayak, mengidentifikasi kelompok-kelompok potensial.
Kedua, tipe The leader of the governing artinya pejabat yang sedang memerintah dan dalam waktu dekat belum memiliki agenda kampanye untuk bertarung lagi di pemilu.
Nama-nama
seperti Gita Wirjawan, Dahlan Iskan, Marzuki Ali, Hatta Radjasa, dan
sederet nama pejabat lain yang melakukan publisitas politik dapat kita
masukan ke tipe pertama. Sementara Deddy Mizwar bisa
menjadi contoh yang pas untuk tipe kedua. Semua berpotensi merusak etika
politik meskipun bisa menghindari adanya pelanggaran regulasi.
Tak
elok, jika iklan layanan masyarakat yang dibiayai kementrian,
ditumpangi sang mentri yang akan nyapres atau ikut konvensi. Sementara
iklan produk komersial yang dibintangi Wagub Deddy Mizwar akan
memantik kritisisme warga Jawa Barat terkait dengan prioritas dan
performa komunikatif dalam mengemban mandat kekuasaan. Alasan sudah
terikat kontrak komersial sebelum menjadi wagub bisa saja terucap, tapi
jika dedikasi atas jabatan dan mandat kekuasaan di atas hitung-hitungan
kontrak, maka tentu Wagub Deddy Mizwar akan memilih berhenti sementara
menjadi bintang iklan produk komersial hingga jabatannya usai.
Semua
pejabat publik seyogianya perlu merenungkan ulang ucapan presiden
pertama Filipina di bawah pendudukan Amerika, Manuel L Quezon
(1878-1944), yang mengingatkan agar ”loyalitas terhadap partai berhenti
ketika loyalitas terhadap negara dimulai”. Ucapan ini dikutip ulang oleh
Presiden Amerika Serikat John F Kennedy (1917-1963) untuk
menggarisbawahi perlunya komitmen kenegarawanan seorang pejabat publik.
Loyalitas menjaga marwah jabatan publik harus di atas partai dan urusan
komersial milik pribadi.
Siapa
pun yang bersiap menjadi pejabat publik tentu sudah menghitung
konsekuensi apa yang akan melekat pada jabatan yang diembannya. Jangan
sampai, si pejabat publik melakukan apa yang oleh Jean Baudrillard dalam tulisannya The Precession of Simulacra disebut sebagai simulasi realitas. Dalam konteks ini, tindakan si pejabat bertujuan membentuk persepsi yang cenderung palsu atau seolah-olah mewakili kenyataan padahal tidak sama sekali. ***
Sphere of Reflection
Blog ini merupakan ruang publik baru yang bebas dari dominasi dan didedikasikan untuk pengarusutamaan literasi politik dan literasi media. Sangat meyakini setiap orang ada masanya dan setiap masa ada orangnya sehingga terus berpikir, bergerak dan bermanfaat dalam penguatan semangat komunitarian. Saatnya warga negara kian berdaya untuk berpikir dan bersikap atas hak-hak sipil politiknya.
Minggu, 15 Desember 2013
Tanggung Jawab Sosial Media Massa
Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini telah dipublikasikan di kolom OPINI Koran Sindo, 5 Desember 2013)
INDONESIA menjadi tuan rumah acara The 3rd International Islamic Conference on Media yang diselenggarakan Selasa-Kamis (3-5/12) di Jakarta. Sejumlah akademisi, periset, praktisi media dari berbagai negara hadir dan membincang persoalan faktual terkait eksistensi media massa dan hubungannya dengan masyarakat muslim dunia dengan tema “Society and Media”. Satu hal yang menjadi sorotan utama dalam forum tersebut yakni peran dan tanggung jawab sosial media massa yang kian dibutuhkan, terutama di tengah berbagai kepentingan ekonomi dan politik media baik dalam skala domestik maupun hubungan antarnegara. Sejumlah topik seperti dimensi etis media, tata informasi dunia baru, perkembangan teknologi, industri media, dan masyarakat menjadi fokus sekaligus prioritas yang mesti diperhatikan oleh seluruh pihak yang peduli masa depan media bertanggung jawab.
Dilema media
Sebagai partisipan dalam konferensi internasional tersebut, penulis meraba denyut kegundahan banyak kalangan, terutama tentang eksistensi media massa yang ada di dunia saat ini. Memang tak disangkal, media memiliki posisi penting di era yang disebut John Keane dalam tulisannya, The Humbling of the Intellectual, Public Life in the Era of Communicative Abundance (1998), sebagai era keberlimpahan komunikasi. Terlebih, dalam praktik negara-negara demokrasi, salah satu pilar penting dalam mendukung keajekan konsolidasi demokrasi adalah media.
Muncul harapan besar media tumbuh kembang menjadi ruang publik (public sphere) demokratis yang bisa mengayuh di tengah arus kepentingan beragam pihak mulai dari pasar, pemodal, kekuatan politik, kelompok kepentingan, kelompok penekan, negara dan antaraktor di tubuh media sendiri. Di posisi itulah media kerap mengalami dilema antara idealitas dan profesionalitas di satu sisi serta pragmatisme di sisi lain.
Kondisi objektif media tak hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia memiliki benang merah yang sama, terutama dalam dua hal. Pertama, banyak media yang nyaman menjadi agen propaganda kekuatan dominan baik di negaranya maupun di dunia. Dalam skala global misalnya dinamika informasi kerap dikendalikan melalui sindikasi pemberitaan melalui kantorkantor berita besar yang menjadi penyedia banyak informasi antarnegara. Arus informasi internasional mengalir deras dari negara-negara maju ke negara berkembang sehingga muncul ketergantungan media-media massa di negara berkembang seperti Indonesia ke kantorkantor berita negara maju. Sebesar 60-70% berita media di seantero dunia bersumber dari Associated Press (AP), United Press International (UPI), Reuters, dan Agence France Presse (AFP). Kantor berita Amerika (AP dan UPI) sejak lama beroperasi di 110 dan 114 negara. Reuters milik Inggris beroperasi minimal di 153 negara. Sementara AFP milik Prancis beroperasi di 147 negara.
Tentu salah satu perang informasi asimetris bisa dimulai dari sini. Kerapkali berita yang terdistribusikan bukan ruang hampa dari propaganda. Salah satu contohnya saat media memberikan status (status conferral) pada orang atau negara yang sedang dijadikan target dalam zona perang asimetris (zona of asymetric warfare). Ini lazimnya digunakan melalui berbagai media massa. Pemberian status ini misalnya melalui teknik name callingatau pemberian label negatif untuk melemahkan serta mendelegitimasi lawan. Sejumlah sebutan seperti teroris, tiran, ancaman demokrasi, dan label negara berbahaya kerap terpapar dalam bingkai media berjejaring global untuk mendelegitimasi pihak-pihak tertentu yang sedang menggeliat menjadi kekuatan baru potensial di dunia. Kedua, hal yang paling banyak dirisaukan terkait peran jurnalis dan media massa ke depan adalah distorsi media.
Akan semakin banyak godaan bagi jurnalis dan media untuk berperan dalam rivalitas politik domestik maupun global. Beragam kasus dipublikasikan dan secara sistematis didesain untuk memancing kegaduhan publik. Di tengah kontestasi antarkekuatan yang kian intensif inilah, politik media harus jelas dan tegas. Media bukan alat kekuasaan juga bukan alat politisasi. Meski kerap menjadi kelompok diam, khalayak sebenarnya akan mengevaluasi bagaimana institusi-institusi media berkiprah. Dengan begitu, cepat atau lambat jika gratification sought (kepuasan yang dicari) khalayak tak ditemukan, media tersebut akan ditinggalkan.
Kita tak menyangkal salah satu kekuatan media massa adalah mengonstruksi realitas sosial. Gebner dalam buku Boyd-Barret, Approach to Media: a Reader (1995), memperkenalkan konsepresonansi. Ini terjadi saat media massa dan realitas sebenarnya menghasilkan koherensi yang powerful di mana pesan media mengultivasi secara signifikan. Dengan caranya yang halus, informasi merembes perlahan dalam kesadaran khalayak. Bahkan media sangat mungkin menjadi alat ampuh manipulasi kesadaran sekaligus menciptakan realitas buatan melalui beragam ikon kebudayaan yang meninabobokan rasionalitas. Berbagai rezim kekuasaan dibanyak negara masih kerap menjadikan media sebagai aparat ideologi mereka. Terlebih jika media sukses dibonsai oleh elite penguasa negara yang berkolaborasi dengan rezim kapital.
Keadaban publik
Eksistensi beragam media di dunia seharusnya mendorong terciptanya keadaban publik. Menjadi katalisator literasi informasi guna memperkuat warga dunia yang saling menghargai keberagaman, bukan sebaliknya, menjadi provokator konflik etnis, agama, atau antarnegara yang harusnya saling menghormati.
Ada beberapa tanggung jawab sosial media yang harus ditunaikan kepada publik. Pertama, media harus mau dan mampu mengemban fungsinya sebagai katalisator perdamaian dunia. Saat ini konflik politik maupun sosial masih banyak terjadi di berbagai dunia. Penyebab utamanya rata-rata ego pribadi dan golongan yang punya syahwat kekuasaan dengan mengidentifikasi diri dan kelompoknya sebagai representasi kebenaran. Jurnalisme damai harus didorong dan dikembangkan dalam narasi berita media sehingga menjadi “oase” penting sekaligus menjadi “nutrisi” pengetahuan di tengah pertentangan antar kekuatan, bukan sebaliknya, menjadikan berita berdarah-darah sebagai jualan.
Kedua, media wajib menghadirkan role model pemberdayaan masyarakat. Benar bahwa media saat ini sudah berada di era industri yang beroperasi dalam logika hukum pasar. Shoemaker dan Reese menulis dalam Mediating the Message: Theories of Influence on Mass Media Content (1991:121), organisasi media merupakan entitas ekonomi, formal, dan sosial yang menghubungkan para awak media, pemilik modal, serta pasar dengan tujuan memproduksi, mendistribusikan, dan membuka cara konsumsi isi media yang ditawarkan. Kendati demikian, selalu ada peluang para pekerja media untuk menyediakan konten yang sehat sekaligus laku di pasaran tanpa merusak keadaban publik.
(Tulisan ini telah dipublikasikan di kolom OPINI Koran Sindo, 5 Desember 2013)
INDONESIA menjadi tuan rumah acara The 3rd International Islamic Conference on Media yang diselenggarakan Selasa-Kamis (3-5/12) di Jakarta. Sejumlah akademisi, periset, praktisi media dari berbagai negara hadir dan membincang persoalan faktual terkait eksistensi media massa dan hubungannya dengan masyarakat muslim dunia dengan tema “Society and Media”. Satu hal yang menjadi sorotan utama dalam forum tersebut yakni peran dan tanggung jawab sosial media massa yang kian dibutuhkan, terutama di tengah berbagai kepentingan ekonomi dan politik media baik dalam skala domestik maupun hubungan antarnegara. Sejumlah topik seperti dimensi etis media, tata informasi dunia baru, perkembangan teknologi, industri media, dan masyarakat menjadi fokus sekaligus prioritas yang mesti diperhatikan oleh seluruh pihak yang peduli masa depan media bertanggung jawab.
Dilema media
Sebagai partisipan dalam konferensi internasional tersebut, penulis meraba denyut kegundahan banyak kalangan, terutama tentang eksistensi media massa yang ada di dunia saat ini. Memang tak disangkal, media memiliki posisi penting di era yang disebut John Keane dalam tulisannya, The Humbling of the Intellectual, Public Life in the Era of Communicative Abundance (1998), sebagai era keberlimpahan komunikasi. Terlebih, dalam praktik negara-negara demokrasi, salah satu pilar penting dalam mendukung keajekan konsolidasi demokrasi adalah media.
Muncul harapan besar media tumbuh kembang menjadi ruang publik (public sphere) demokratis yang bisa mengayuh di tengah arus kepentingan beragam pihak mulai dari pasar, pemodal, kekuatan politik, kelompok kepentingan, kelompok penekan, negara dan antaraktor di tubuh media sendiri. Di posisi itulah media kerap mengalami dilema antara idealitas dan profesionalitas di satu sisi serta pragmatisme di sisi lain.
Kondisi objektif media tak hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia memiliki benang merah yang sama, terutama dalam dua hal. Pertama, banyak media yang nyaman menjadi agen propaganda kekuatan dominan baik di negaranya maupun di dunia. Dalam skala global misalnya dinamika informasi kerap dikendalikan melalui sindikasi pemberitaan melalui kantorkantor berita besar yang menjadi penyedia banyak informasi antarnegara. Arus informasi internasional mengalir deras dari negara-negara maju ke negara berkembang sehingga muncul ketergantungan media-media massa di negara berkembang seperti Indonesia ke kantorkantor berita negara maju. Sebesar 60-70% berita media di seantero dunia bersumber dari Associated Press (AP), United Press International (UPI), Reuters, dan Agence France Presse (AFP). Kantor berita Amerika (AP dan UPI) sejak lama beroperasi di 110 dan 114 negara. Reuters milik Inggris beroperasi minimal di 153 negara. Sementara AFP milik Prancis beroperasi di 147 negara.
Tentu salah satu perang informasi asimetris bisa dimulai dari sini. Kerapkali berita yang terdistribusikan bukan ruang hampa dari propaganda. Salah satu contohnya saat media memberikan status (status conferral) pada orang atau negara yang sedang dijadikan target dalam zona perang asimetris (zona of asymetric warfare). Ini lazimnya digunakan melalui berbagai media massa. Pemberian status ini misalnya melalui teknik name callingatau pemberian label negatif untuk melemahkan serta mendelegitimasi lawan. Sejumlah sebutan seperti teroris, tiran, ancaman demokrasi, dan label negara berbahaya kerap terpapar dalam bingkai media berjejaring global untuk mendelegitimasi pihak-pihak tertentu yang sedang menggeliat menjadi kekuatan baru potensial di dunia. Kedua, hal yang paling banyak dirisaukan terkait peran jurnalis dan media massa ke depan adalah distorsi media.
Akan semakin banyak godaan bagi jurnalis dan media untuk berperan dalam rivalitas politik domestik maupun global. Beragam kasus dipublikasikan dan secara sistematis didesain untuk memancing kegaduhan publik. Di tengah kontestasi antarkekuatan yang kian intensif inilah, politik media harus jelas dan tegas. Media bukan alat kekuasaan juga bukan alat politisasi. Meski kerap menjadi kelompok diam, khalayak sebenarnya akan mengevaluasi bagaimana institusi-institusi media berkiprah. Dengan begitu, cepat atau lambat jika gratification sought (kepuasan yang dicari) khalayak tak ditemukan, media tersebut akan ditinggalkan.
Kita tak menyangkal salah satu kekuatan media massa adalah mengonstruksi realitas sosial. Gebner dalam buku Boyd-Barret, Approach to Media: a Reader (1995), memperkenalkan konsepresonansi. Ini terjadi saat media massa dan realitas sebenarnya menghasilkan koherensi yang powerful di mana pesan media mengultivasi secara signifikan. Dengan caranya yang halus, informasi merembes perlahan dalam kesadaran khalayak. Bahkan media sangat mungkin menjadi alat ampuh manipulasi kesadaran sekaligus menciptakan realitas buatan melalui beragam ikon kebudayaan yang meninabobokan rasionalitas. Berbagai rezim kekuasaan dibanyak negara masih kerap menjadikan media sebagai aparat ideologi mereka. Terlebih jika media sukses dibonsai oleh elite penguasa negara yang berkolaborasi dengan rezim kapital.
Keadaban publik
Eksistensi beragam media di dunia seharusnya mendorong terciptanya keadaban publik. Menjadi katalisator literasi informasi guna memperkuat warga dunia yang saling menghargai keberagaman, bukan sebaliknya, menjadi provokator konflik etnis, agama, atau antarnegara yang harusnya saling menghormati.
Ada beberapa tanggung jawab sosial media yang harus ditunaikan kepada publik. Pertama, media harus mau dan mampu mengemban fungsinya sebagai katalisator perdamaian dunia. Saat ini konflik politik maupun sosial masih banyak terjadi di berbagai dunia. Penyebab utamanya rata-rata ego pribadi dan golongan yang punya syahwat kekuasaan dengan mengidentifikasi diri dan kelompoknya sebagai representasi kebenaran. Jurnalisme damai harus didorong dan dikembangkan dalam narasi berita media sehingga menjadi “oase” penting sekaligus menjadi “nutrisi” pengetahuan di tengah pertentangan antar kekuatan, bukan sebaliknya, menjadikan berita berdarah-darah sebagai jualan.
Kedua, media wajib menghadirkan role model pemberdayaan masyarakat. Benar bahwa media saat ini sudah berada di era industri yang beroperasi dalam logika hukum pasar. Shoemaker dan Reese menulis dalam Mediating the Message: Theories of Influence on Mass Media Content (1991:121), organisasi media merupakan entitas ekonomi, formal, dan sosial yang menghubungkan para awak media, pemilik modal, serta pasar dengan tujuan memproduksi, mendistribusikan, dan membuka cara konsumsi isi media yang ditawarkan. Kendati demikian, selalu ada peluang para pekerja media untuk menyediakan konten yang sehat sekaligus laku di pasaran tanpa merusak keadaban publik.
Kamis, 21 November 2013
Penyadapan dan Perang Asimetris
Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Suara Pembaruan, Kamis 21 November 2013)
SBY dan sejumlah pejabat Indonesia lainnya gusar sekaligus marah saat mengetahui penyadapan yang dilakukan Australia. Sebenarnya penyadapan bukan hal aneh dalam dunia intelijen, tetapi apa yang dilakukan Australia sudah melampaui kepatutan dalam hubungan diplomatik antar negara. Ironis memang, karena Australia dan Indonesia merupakan negara bertetangga yang pastinya memiliki banyak persinggungan kepentingan. Langkah SBY menarik Duta Besar Indonesia untuk Australia menjadi pesan kuat memanasnya hubungan kedua negara.
Perang Informasi
Pidato SBY, Selasa (20/11), merupakan respon aktual dan bisa dibaca dalam konteks merespon sikap pemerintahan Tony Abbot yang tidak mau meminta maaf atas tindakan penyadapan tersebut. Ada tiga butir penting dalam pidato SBY. Pertama, meminta penjelasan dan sikap resmi pemerintah Australia terhadap upaya penyadapan itu. SBY meluncurkan surat resmi dan setelah ada penjelasan serta sikap resmi Australia pemerintah RI akan mengambil sikap resmi berikutnya.
Kedua, presiden RI meminta jajarannya untuk melakukan review terhadap sejumlah kerjasama dengan Australia, di antaranya kerjasama dalam bidang pertukaran informasi, latihan militer bersama, coordinated military operation, terorisme, dan lain-lain.
Ketiga, presiden RI mendesak penegasan protokol kerjasama antar kedua negara ke depan. Harus ada code of conduct yang mengikat, jelas, dan dijalankan dengan komitmen tinggi. Ini dimaksudkan agar tidak muncul standar ganda di kemudian hari.
Sebenarnya jika kita melihat substansi yang disampaikan SBY, sudah memadai sebagai pernyataan terukur dalam konteks diplomatik. Hanya saja, tidak cukup pidato yang sifatnya membangun kesadaran diskursif. Indonesia butuh ketegasan di level kesadaran praktis. Artinya, harus ada tindak lanjut kongkrit atas pidato tersebut yang menunjukkan pemerintahan Indonesia memiliki martabat sebagai mitra sejajar Australia.
SBY dalam pidatonya mengaku heran kenapa Australia menyadap Indonesia padahal Indonesia dan Australia tidak berposisi sebagai lawan sehingga tidak perlu diawasi gerak-geriknya. Dalam konteks komunikasi politik apa yang dilakukan Australia terhadap Indonesia harus dipahami dalam konteks perang asimetris! Tak ada kawan dan lawan yang luput dari perang informasi.
Laporan yang dipublikasikan harian Australia, Sydney Morning Herald (SMH), Kamis (31/10) menyebutkan negara-negara di Asia Timur dan Tenggara termasuk Indonesia menjadi objek penyadapan berskala global. Tentunya dunia terperangah! Harian ternama Inggris The Guardian juga melaporkan Badan Keamanan Nasional AS (NSA) telah memantau komunikasi 35 pemimpin negara pada tahun 2006, termasuk Kanselir Jerman Angela Merkel dan Presiden Brasil Dilma Rousseff. Bocornya dokumen intelejen dari whistleblower bernama Edward Snowden yang dulu bekerja di NSA ini membuka mata banyak pihak, bahwa perang informasi itu kini bersifat asimetris. Persekutuan formal antar negara dalam beragam kepentingan mereka, tak menjamin negara tersebut luput dari pengintaian dan penyadapan sekutunya.
Modern ini, perang informasi nyata adanya. Relasi kuasa antar negara serta antar blok kekuatan politik dan ekonomi kerap membentuk zona perang asimetris (zone of asymetric warfare) yang tak lagi berbasis gerakan militer sebagaimana kita pahami dalam konsep perang konvensional, melainkan melalui penetrasi informasi. Peta geopolitik dunia bisa dengan mudah berubah. Tak jelas benar siapa lawan dan kawan karena peperangan yang diciptakan juga tak berwajah, tak berbatas waktu, dan tak berpasukan yang mudah diidentifikasi. Perang digital yang penetratif hingga ke kantung-kantung kuasa lintas negara.
Media konvensional dan media baru seperti internet menjadi alat pengendalian dalam perangkingan isu, penggiringan opini, penciptaan momentum spesifik, sekaligus juga penekan melalui “tsunami informasi” yang membuat pihak kawan maupun lawan terhenyak dan tak mampu mengelak.
Dalam laporan SMH tadi diungkapkan, AS bukanlah aktor tunggal dalam prosesi penyadapan informasi khas spionase ini. Muncul istilah “Five Eyes”/FVEY. Ini merupakan sebutan popular jaringan kerjasama intelejen AS bersama-sama Inggris, Australia, Kanada dan Selandia Baru. Kelima negara tersebut hampir memiliki pola yang sama yakni membuat jangkar intelijen mereka pada 6 garapan utama yakni: intelijen sinyal (Sigint); national assessment, intelijen pertahanan, intelijen keamanan, intelijen manusia, serta pusat-pusat kontra terorisme. AS sendiri misalnya punya yang namanya National Security Agency, Central Intelligance Agency (CIA), Defense Intelligence Agency (DIA), National Counter Terrorism Center (NCTC). Beragam unit-unit khusus juga melekat dalam perangkat kerja badan-badan intelijen tersebut. Dalam praktiknya mereka kerap berkongsi dengan sesama anggota “Five Eyes” tadi.
Bicara dalam konteks makro, skandal penyadapan oleh Amerika dan Australia seperti terjadi akhir-akhir ini merupakan puncak “kesewenang-wenangan” dalam hubungan diplomasi antar negara berkeadaban. Sebetulnya informasi tentang penyadapan berlebihan ini pun sudah sempat mencuat saat Julian Assange dan Wikileaks meretas kawat diplomatik AS di berbagai belahan dunia dan mempublikasikannya beberapa waktu lalu.
Metode Perang
Dalam perspektif komunikasi politik perang informasi yang patut kita cermati sekarang ini beroperasi melalui empat metode. Pertama, metode pengemasan informasi melalui media massa konvensional seperti tv, radio, majalah, koran maupun new media yang bersifat interaktif dan dinamis. Tak dinafikam, praktik politik informasi melalui news framing (pengemasan pesan) kerapkali sukses menonjolkan isu pada khalayak dan isu tersebut menjadi penting sehingga mempengaruhi persepsi personal maupun opini publik yang berkembang di masyarakat. Para pemangku kekuasaan di dunia ini tentu sangat sadar jika media merupakan second hand reality atau realitas buatan. Sehingga sangat mungkin dipengaruhi oleh acuan ideologi dan politik yang dikemas menjadi seolah-olah “kepribadian” masing-masing media. Fenomena inilah yang oleh C. Wright Mills dalam buku The Power Elite (1968) dikategorikan sebagai penyajian dunia “pulasan”.
Kedua melalui penguasaan akses pendistribusian informasi global. Saat ini arus informasi internasional mengalir deras dari negara-negara maju ke negara berkembang. Sehingga muncul ketergantungan media-media massa di negara berkembang seperti Indonesia ke kantor-kantor berita negara maju. 60 hingga 70 persen berita media di seantero dunia bersumber dari AP (Associted Press), UPI (United Press International), Reuter, dan AFP (Agency France Press). Kantor berita Amerika (AP dan UPI) sejak lama beroperasi di 110 dan 114 negara. Reuter milik Inggris beroperasi minimal di 153 negara. Sementara AFP milik Perancis beroperasi di 147 negara.Tentu perang informasi bisa dimulai dari sini. Kerapkali berita yang terdistribusikan bukan ruang hampa dari propaganda.
Ketiga, perang informasi juga biasa dilakukan melalui film dan games. Produk budaya seperti film dan games ini biasanya digunakan dengan memanfaatkan proses kultivasi atau menanam cara pandang, nilai, keyakinan, gaya hidup yang perlahan tetapi dalam jangka waktu tertentu berdampak signifikan. Inilah yang oleh penggagas teori kultivasi George Gerbner disebut sebagai the central cultural arm. Kita bisa menyaksikan begitu banyak proganda barat dilancarkan melalui berbagai film Hollywood dari berbagai genre film.
Keempat melalui cyberwar. Fenomena seperti ini, dibahas panjang lebar oleh Richard A Clarke dan Robert K Knake dalam bukunya Cyber War (2010) sebagai serangan kontemporer yang harus diwaspadai bagi keamanan nasional. Metode seperti ini misalnya yang dipilih oleh Wikileaks. yang membocorkan dokumen-dokumen rahasia untuk memerangi korupsi dan rezim ketertutupan informasi. Sejumlah infromasi sangat rahasia seperti Iraq War Logs, Prosedur Operasi Standar untuk Camp Delta di Penjara Guantonamo, rilis 90 ribu lebih dokumen peristiwa dan laporan intelejen tentang konflik di Afghanistan.
Dalam konteks perang informasi, hactivist ini telah digunakan oleh banyak kalangan termasuk intelijen berbagai negara. Ada lima tipologi hactivist yakni yang meretas sekedar mencari kepuasan (thrill seeker), kelompok kejahatan (organized crime) misalnya membobol ATM, kartu kredit, akun bank orang lain, kelompok teroris (terrorist group), intelligence biasanya untuk kebutuhan keamanan dan spionase, tipe terakhir adalah aktivis yang bergerak melalui dunia cyber (cyberdemocracy activist). Semua peretas yang disebutkan tadi, saat ini nyata adanya membentuk jejaring tak hanya dalam skala nasional tetapi juga internasional.
Tindakan Australia dan Amerika dengan penyadapan yang menghebohkan seperti sekarang ini, sesungguhnya sudah masuk kategori perang asimetris. Praktik pengawasan komunikasi elektoronika secara berlebihan ini menjadi ironi dalam demokrasi. Berbagai negara yang terkuak menjadi objek penyadapan AS dan Five Eyes”/FVEY, harusnya bukan semata marah dalam wacana dan retorika, tetapi sudah sepantasnya menggugat keras negara-negara penyadap atas kesewenang-wenangan dalam perang asimetris mereka. Ke depan, untuk mengatur tata informasi baru lintas negara harusnya juga didorong code of conduct yang mengikat, jelas, dan dijalankan dengan komitmen tinggi seperti diinginkan SBY dalam pidatonya itu. ***
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Suara Pembaruan, Kamis 21 November 2013)
SBY dan sejumlah pejabat Indonesia lainnya gusar sekaligus marah saat mengetahui penyadapan yang dilakukan Australia. Sebenarnya penyadapan bukan hal aneh dalam dunia intelijen, tetapi apa yang dilakukan Australia sudah melampaui kepatutan dalam hubungan diplomatik antar negara. Ironis memang, karena Australia dan Indonesia merupakan negara bertetangga yang pastinya memiliki banyak persinggungan kepentingan. Langkah SBY menarik Duta Besar Indonesia untuk Australia menjadi pesan kuat memanasnya hubungan kedua negara.
Perang Informasi
Pidato SBY, Selasa (20/11), merupakan respon aktual dan bisa dibaca dalam konteks merespon sikap pemerintahan Tony Abbot yang tidak mau meminta maaf atas tindakan penyadapan tersebut. Ada tiga butir penting dalam pidato SBY. Pertama, meminta penjelasan dan sikap resmi pemerintah Australia terhadap upaya penyadapan itu. SBY meluncurkan surat resmi dan setelah ada penjelasan serta sikap resmi Australia pemerintah RI akan mengambil sikap resmi berikutnya.
Kedua, presiden RI meminta jajarannya untuk melakukan review terhadap sejumlah kerjasama dengan Australia, di antaranya kerjasama dalam bidang pertukaran informasi, latihan militer bersama, coordinated military operation, terorisme, dan lain-lain.
Ketiga, presiden RI mendesak penegasan protokol kerjasama antar kedua negara ke depan. Harus ada code of conduct yang mengikat, jelas, dan dijalankan dengan komitmen tinggi. Ini dimaksudkan agar tidak muncul standar ganda di kemudian hari.
Sebenarnya jika kita melihat substansi yang disampaikan SBY, sudah memadai sebagai pernyataan terukur dalam konteks diplomatik. Hanya saja, tidak cukup pidato yang sifatnya membangun kesadaran diskursif. Indonesia butuh ketegasan di level kesadaran praktis. Artinya, harus ada tindak lanjut kongkrit atas pidato tersebut yang menunjukkan pemerintahan Indonesia memiliki martabat sebagai mitra sejajar Australia.
SBY dalam pidatonya mengaku heran kenapa Australia menyadap Indonesia padahal Indonesia dan Australia tidak berposisi sebagai lawan sehingga tidak perlu diawasi gerak-geriknya. Dalam konteks komunikasi politik apa yang dilakukan Australia terhadap Indonesia harus dipahami dalam konteks perang asimetris! Tak ada kawan dan lawan yang luput dari perang informasi.
Laporan yang dipublikasikan harian Australia, Sydney Morning Herald (SMH), Kamis (31/10) menyebutkan negara-negara di Asia Timur dan Tenggara termasuk Indonesia menjadi objek penyadapan berskala global. Tentunya dunia terperangah! Harian ternama Inggris The Guardian juga melaporkan Badan Keamanan Nasional AS (NSA) telah memantau komunikasi 35 pemimpin negara pada tahun 2006, termasuk Kanselir Jerman Angela Merkel dan Presiden Brasil Dilma Rousseff. Bocornya dokumen intelejen dari whistleblower bernama Edward Snowden yang dulu bekerja di NSA ini membuka mata banyak pihak, bahwa perang informasi itu kini bersifat asimetris. Persekutuan formal antar negara dalam beragam kepentingan mereka, tak menjamin negara tersebut luput dari pengintaian dan penyadapan sekutunya.
Modern ini, perang informasi nyata adanya. Relasi kuasa antar negara serta antar blok kekuatan politik dan ekonomi kerap membentuk zona perang asimetris (zone of asymetric warfare) yang tak lagi berbasis gerakan militer sebagaimana kita pahami dalam konsep perang konvensional, melainkan melalui penetrasi informasi. Peta geopolitik dunia bisa dengan mudah berubah. Tak jelas benar siapa lawan dan kawan karena peperangan yang diciptakan juga tak berwajah, tak berbatas waktu, dan tak berpasukan yang mudah diidentifikasi. Perang digital yang penetratif hingga ke kantung-kantung kuasa lintas negara.
Media konvensional dan media baru seperti internet menjadi alat pengendalian dalam perangkingan isu, penggiringan opini, penciptaan momentum spesifik, sekaligus juga penekan melalui “tsunami informasi” yang membuat pihak kawan maupun lawan terhenyak dan tak mampu mengelak.
Dalam laporan SMH tadi diungkapkan, AS bukanlah aktor tunggal dalam prosesi penyadapan informasi khas spionase ini. Muncul istilah “Five Eyes”/FVEY. Ini merupakan sebutan popular jaringan kerjasama intelejen AS bersama-sama Inggris, Australia, Kanada dan Selandia Baru. Kelima negara tersebut hampir memiliki pola yang sama yakni membuat jangkar intelijen mereka pada 6 garapan utama yakni: intelijen sinyal (Sigint); national assessment, intelijen pertahanan, intelijen keamanan, intelijen manusia, serta pusat-pusat kontra terorisme. AS sendiri misalnya punya yang namanya National Security Agency, Central Intelligance Agency (CIA), Defense Intelligence Agency (DIA), National Counter Terrorism Center (NCTC). Beragam unit-unit khusus juga melekat dalam perangkat kerja badan-badan intelijen tersebut. Dalam praktiknya mereka kerap berkongsi dengan sesama anggota “Five Eyes” tadi.
Bicara dalam konteks makro, skandal penyadapan oleh Amerika dan Australia seperti terjadi akhir-akhir ini merupakan puncak “kesewenang-wenangan” dalam hubungan diplomasi antar negara berkeadaban. Sebetulnya informasi tentang penyadapan berlebihan ini pun sudah sempat mencuat saat Julian Assange dan Wikileaks meretas kawat diplomatik AS di berbagai belahan dunia dan mempublikasikannya beberapa waktu lalu.
Metode Perang
Dalam perspektif komunikasi politik perang informasi yang patut kita cermati sekarang ini beroperasi melalui empat metode. Pertama, metode pengemasan informasi melalui media massa konvensional seperti tv, radio, majalah, koran maupun new media yang bersifat interaktif dan dinamis. Tak dinafikam, praktik politik informasi melalui news framing (pengemasan pesan) kerapkali sukses menonjolkan isu pada khalayak dan isu tersebut menjadi penting sehingga mempengaruhi persepsi personal maupun opini publik yang berkembang di masyarakat. Para pemangku kekuasaan di dunia ini tentu sangat sadar jika media merupakan second hand reality atau realitas buatan. Sehingga sangat mungkin dipengaruhi oleh acuan ideologi dan politik yang dikemas menjadi seolah-olah “kepribadian” masing-masing media. Fenomena inilah yang oleh C. Wright Mills dalam buku The Power Elite (1968) dikategorikan sebagai penyajian dunia “pulasan”.
Kedua melalui penguasaan akses pendistribusian informasi global. Saat ini arus informasi internasional mengalir deras dari negara-negara maju ke negara berkembang. Sehingga muncul ketergantungan media-media massa di negara berkembang seperti Indonesia ke kantor-kantor berita negara maju. 60 hingga 70 persen berita media di seantero dunia bersumber dari AP (Associted Press), UPI (United Press International), Reuter, dan AFP (Agency France Press). Kantor berita Amerika (AP dan UPI) sejak lama beroperasi di 110 dan 114 negara. Reuter milik Inggris beroperasi minimal di 153 negara. Sementara AFP milik Perancis beroperasi di 147 negara.Tentu perang informasi bisa dimulai dari sini. Kerapkali berita yang terdistribusikan bukan ruang hampa dari propaganda.
Ketiga, perang informasi juga biasa dilakukan melalui film dan games. Produk budaya seperti film dan games ini biasanya digunakan dengan memanfaatkan proses kultivasi atau menanam cara pandang, nilai, keyakinan, gaya hidup yang perlahan tetapi dalam jangka waktu tertentu berdampak signifikan. Inilah yang oleh penggagas teori kultivasi George Gerbner disebut sebagai the central cultural arm. Kita bisa menyaksikan begitu banyak proganda barat dilancarkan melalui berbagai film Hollywood dari berbagai genre film.
Keempat melalui cyberwar. Fenomena seperti ini, dibahas panjang lebar oleh Richard A Clarke dan Robert K Knake dalam bukunya Cyber War (2010) sebagai serangan kontemporer yang harus diwaspadai bagi keamanan nasional. Metode seperti ini misalnya yang dipilih oleh Wikileaks. yang membocorkan dokumen-dokumen rahasia untuk memerangi korupsi dan rezim ketertutupan informasi. Sejumlah infromasi sangat rahasia seperti Iraq War Logs, Prosedur Operasi Standar untuk Camp Delta di Penjara Guantonamo, rilis 90 ribu lebih dokumen peristiwa dan laporan intelejen tentang konflik di Afghanistan.
Dalam konteks perang informasi, hactivist ini telah digunakan oleh banyak kalangan termasuk intelijen berbagai negara. Ada lima tipologi hactivist yakni yang meretas sekedar mencari kepuasan (thrill seeker), kelompok kejahatan (organized crime) misalnya membobol ATM, kartu kredit, akun bank orang lain, kelompok teroris (terrorist group), intelligence biasanya untuk kebutuhan keamanan dan spionase, tipe terakhir adalah aktivis yang bergerak melalui dunia cyber (cyberdemocracy activist). Semua peretas yang disebutkan tadi, saat ini nyata adanya membentuk jejaring tak hanya dalam skala nasional tetapi juga internasional.
Tindakan Australia dan Amerika dengan penyadapan yang menghebohkan seperti sekarang ini, sesungguhnya sudah masuk kategori perang asimetris. Praktik pengawasan komunikasi elektoronika secara berlebihan ini menjadi ironi dalam demokrasi. Berbagai negara yang terkuak menjadi objek penyadapan AS dan Five Eyes”/FVEY, harusnya bukan semata marah dalam wacana dan retorika, tetapi sudah sepantasnya menggugat keras negara-negara penyadap atas kesewenang-wenangan dalam perang asimetris mereka. Ke depan, untuk mengatur tata informasi baru lintas negara harusnya juga didorong code of conduct yang mengikat, jelas, dan dijalankan dengan komitmen tinggi seperti diinginkan SBY dalam pidatonya itu. ***
Senin, 04 November 2013
Pertaruhan Legitimasi Pemilu 2014
Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Kolom Pakar Media Indonesia, 4 Nov 2013)
Pemilu 2014 membawa harapan sekaligus tantangan. Harapan muncul seiring dengan keinginan banyak pihak untuk melakukan tranformasi dari transisi ke konsolidasi demokrasi. Dua periode kekuasaan SBY telah memosisikan harapan tentang perubahan itu perlahan menepi dan sunyi. Gaung adanya perbaikan signifikan atas persoalan-persoalan kebangsaan, seolah lenyap ditelan hiruk pikuk konflik elite atas nama zona nyaman kekuasaan. Pemilu reguler lima tahunan menjadi mekanisme prosedural untuk mengubah arah dan mempercepat langkah menuju perbaikan itu. Belum mulai pemilu digelar, persoalan nyata sudah datang menghadang. Karut marut Daptar Pemilih Tetap (DPT) membuat kita bertanya, mungkinkah pemilu kita bisa memberi legitimasi tinggi atau hanya sekadar basa-basi demokrasi. Tantangan nyata di depan mata adalah kesiapan kita menggelar pemilu demokratis dengan segala kesiapan perangkatnya.
Trauma Politik
Sangat penting bagi kita sekarang, menempatkan Pemilu 2014 dalam perspektif konsolidasi demokrasi bukan semata-mata kontestasi pragmatis. Larry Diamond dalam bukunya Developing Democracy toward Consolidation (1999) mengungkapkan, konsolidasi demokrasi sebagai upaya merawat stabilitas dan persistensi demokrasi. Lebih jauh lagi, konsolidasi demokrasi mensyaratkan adanya legitimasi yang kuat sehingga semua aktor memiliki kepercayaan dan menjadi modal dasar bagi pemerintahan demokratis. Dengan demikian, legitimasi menjadi kunci penting dalam proses menata Indonesia ke depan. Krisis legitimasi membawa penyakit bawaan yakni melemahnya kepercayaan dan tergerusnya harapan dalam politik berbasis kekitaan antara elite berkuasa dengan masyarakat yang dipimpinnya.
Pemilu 2014 terancam mengalami delegitimasi jika persoalan DPT ini tak terselsaikan. Kita punya trauma politik hampir di setiap penyelenggaraan pemilu baik di level nasional yakni pemilu legislatif dan pemilu presiden maupun di banyak pemilihan kepala daerah. Trauma itu, bermula dari centang-perenangnya data pemilih yang menjadi dasar penyusunan DPT. Bak lagu lama yang diputar ulang, nada sumbang kisruhnya penyusunan data pemilih, kini kembali menyeruak ke ruang publik dan menjadi bola panas bagi penyelenggara pemilu. Hak memilih merupakan hak sipil politik yang melekat dan dilindungi konstitusi sekaligus menjadi basic material bagi Pemilu demokratis.
Dalam tulisan Bingham, Contemporary Democracies, Participan, Stability and Violence (1982), partisipasi dalam pemilu menjadi salah satu faktor penting penyumbang penampilan politik (political performance) sebuah negara itu bagus atau tidak. Faktor lainnya adalah legitimasi pemerintah, pengorganisasian perundingan, kerahasiahan dan independensi, serta hak-hak dasar. Partisipasi politik sendiri memang jika merujuk pada pendapat Kaase dan Marsh dalam Political Action: Theoritical Perspective (1979) masih bisa dibagi menjadi dua bentuk, konvensional dan non konvensional. Yang konvensional misalnya partisipasi pemilih dalam pemilu (voter turnout) yang non konvensional misalnya demonstrasi, mogok kerja dan lain-lain. Dalam konteks Pemilu 2014, partisipasi pemilih di bilik suara inilah yang mengkhawatirkan jika urusan DPT tidak beres. Akan banyak orang yang sesungguhnya memiliki hak suara, tetapi dipaksa menjadi kelompok tak bersuara (voiceless). Sebagian pemilih lain yang punya hak suara, karena adanya kisruh DPT seperti sekarang sangat mungkin enggan berpartisipasi karena melemahnya kepercayaan mereka pada sistem penyelenggaraan pemilu.
Jika melihat jadwal Pemilu, penetapan DPT ini sudah diundur dari yang seharusnya paling akhir 13 September di tingkat kabupaten/kota, 18 Oktober di tingkat provinsi, dan 23 Oktober di tingkat nasional. Namun karena secara faktual DPT masih banyak yang bermasalah penetapannya pun secara nasional diundur hingga 4 November 2013. Miris memang, jika penyelenggara pemilu masih bergumul dengan persoalan DPT. Ada tiga hal yang mendasari logika sederhana untuk melakukan kritik atas persoalan DPT ini.
Pertama, identifikasi masalah hulu kisruh DPT ini sudah lama diketahui banyak pihak yakni sistem pendataan penduduk yang bermasalah dan koordinasi antar Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dengan penyelenggara Pemilu. Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) dari Kemendagri misalnya, sedari awal masih kerap bermasalah misalnya Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang ganda, kosong, dan tidak standar. Keraguan itu sudah terjadi sejak Kemendagri menyerahkan DP4 pada Februari 2013. DP4 itu berisi daftar 190,4 juta penduduk yang seharusnya menjadi basis data daftar pemilih. KPU memang sudah melakukan sinkronisasi dengan melakukan penetapan dan pengumuman Daftar Pemilih Sementara Hasil Perbaikan (DPSHP).
Hasil penyandingan DPSHP yang berjumlah 181 juta pemilih dengan DP4 tadi, ditemukan 160 juta data yang sinkron. Sebanyak 20,2 juta data bermasalah. Data terakhir ini, tak dilengkapi elemen kependudukan yang baik, seperti nama, alamat, dan tanggal lahir. Dalam rapat dengar pendapat Komisi II DPR dengan KPU, Bawaslu dan Kemendagri pada Kamis hingga Jum’at (1/11), tersiar kabar bahwa masih ada kurang lebih 10,4 juta penduduk yang harus diverifikasi di lapangan. Ini tentu bukan angka sedikit, terlebih jika membacanya dalam konteks kerterjaminan hak-hak sipil politik warga negara. Sedari awal koordinasi antar penyelenggara pemilu dengan Kemendagri harusnya intensif dan berorientasi pada solusi dengan pendekatan preventif karena DPT sesungguhnya bukan persoalan kemarin sore.
Ribut saling menyalahkan antar KPU dan Kemendagri menjadi kontraproduktif dan berpotensi melemahkan harapan publik atas penyelenggaraan pemilu berkualitas.
Kedua, soal waktu dan dukungan dana. Pemuktahiran data pemilih untuk Pemilu 2014 harusnya lebih bagus dibanding 2009. pada pemilu lalu waktu pemutakhiran hanya 10 bulan sebelum pemungutan suara, sementara untuk pemilu 2014 dilakukan 14 bulan sebelum waktu pemungutan suara. Dari segi anggarannya pun pemilu 2014 lebih besar. Pada pemilu 2009 anggarannya sebesar Rp. 1,2 triliun, sementara pada Pemilu 2014 menjadi Rp 1,9 triliun. Harusnya, dengan beberapa perbaikan tersebut, kualitas penyiapan dan penetapan DPT Pemilu 2014 lebih baik dan lebih terukur.
Ketiga, soal proyek prestisius bernama KTP Elektronik. Uang rakyat sudah digelontorkan begitu besar untuk proyek yang konon kabarnya canggih dan menyejajarkan warga negara kita dalam peradaban digital sekelas negara-negara maju bukan? Tapi mengapa hanya untuk urusan daftar pemilih saja kita masih tergopoh-gopoh saat harapan publik berlari kencang. Tugas pemerintahlah menyelesaikan proyek KTP elektronik secara nasional untuk memastikan tidak ada nomor induk kependudukan yang ganda atau bermasalah. Padahal, pemerintah sendiri yang menargetkan proyek KTP elektronik selesai pada 2012!
Ruang Gelap
Meskipun kerap “dipelototi” banyak pihak, konspirasi banyak aktor dalam kekisruhan DPT ini tetap saja terjadi. Pemilu 2009 menjadi contoh ketidakpuasan kita terhadap DPT yang seolah untouchable dari peran kontrol masyarakat. Tak dimungkiri daftar pemilih bisa menjadi ruang gelap tempat para setan dan penguasa kegelapan bergentayangan! Mereka besembunyi, mengambil peran dan mungkin juga membuat deal politik guna memuluskan agenda-agenda pemenangan.
Pemilu memang momentum kontestasi antar kekuatan. Tetapi, seluruh pihak juga harus menyadari bahwa kontestasi elitis tak lagi memadai, butuh legitimasi yang bersumber dari partisipasi masyarakat. R.A Dahl, dalam Dilemas of Pluaralist Democracy: Autonom Vs Control (1982) menyebutkan bahwa demokrasi memang senantiasa melibatkan dua variabel yakni kontestasi dan partisipasi. Keduanya bisa menjadi ukuran bagaimana kualitas demokrasi elektoral diselenggarakan. Apakah kontestasinya berjalan langsung, jujur, adil, bebas dan rahasia atau muncul sejumlah persoalan yang paradoks dengan hakikat demokrasi.
Yang patut kita khawatirkan jika persoalan DPT ini tak terselsaikan adalah terus turunnya angka partisipasi masyarakat dalam pemilihan. Pada Pemilu 1955, partisipasi pemilih di angka 87 persen dari total warga yang punya hal pilih. Pada Pemilu 1999 menjadi 93 persen, ini seiring dengan harapan yang muncul pasca reformasi. Tapi setelah itu terus menurun, misalnya pada Pemilu 2004, hanya 85 persen untuk pemilu legislatif, 80 persen pemilu presiden (pilpres) putaran pertama dan 77 persen pilpres putaran kedua. Pada Pemilu 2009, partisipasi pemilih hanya 71 persen di pemilu legislatif dan 72 persen untuk pilpres.
Sangat mungkin, jika sistem penyelanggaraan pemilu amburadul dan ketiadaan sosok calon pemimpin yang bisa menggerakan pemilih ke bilik suara, maka angka mereka yang tidak berpartisipasi dalam pemilu meningkat termasuk di dalamnya kelompok teralienasi yang melihat pemilu sudah tak memiliki nilai guna bagi mereka. Pemilu, meminjam istilah William Liddle (1996) bukan semata useful fiction atau partisipasi khayalan melainkan supremasi kedaulatan rakyat. Jika DPT masih bermasalah dan berpotensi besar menghilangkan hak-hak sipil politik jutaan warga, sebaiknya KPU menunda lagi penetapannya. Penyisiran DPT bermasalah harus dituntaskan, sehingga publik tak lagi melihat DPT sebagai ruang gelap tempat bertransaksinya para Godfather! (*)
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Kolom Pakar Media Indonesia, 4 Nov 2013)
Pemilu 2014 membawa harapan sekaligus tantangan. Harapan muncul seiring dengan keinginan banyak pihak untuk melakukan tranformasi dari transisi ke konsolidasi demokrasi. Dua periode kekuasaan SBY telah memosisikan harapan tentang perubahan itu perlahan menepi dan sunyi. Gaung adanya perbaikan signifikan atas persoalan-persoalan kebangsaan, seolah lenyap ditelan hiruk pikuk konflik elite atas nama zona nyaman kekuasaan. Pemilu reguler lima tahunan menjadi mekanisme prosedural untuk mengubah arah dan mempercepat langkah menuju perbaikan itu. Belum mulai pemilu digelar, persoalan nyata sudah datang menghadang. Karut marut Daptar Pemilih Tetap (DPT) membuat kita bertanya, mungkinkah pemilu kita bisa memberi legitimasi tinggi atau hanya sekadar basa-basi demokrasi. Tantangan nyata di depan mata adalah kesiapan kita menggelar pemilu demokratis dengan segala kesiapan perangkatnya.
Trauma Politik
Sangat penting bagi kita sekarang, menempatkan Pemilu 2014 dalam perspektif konsolidasi demokrasi bukan semata-mata kontestasi pragmatis. Larry Diamond dalam bukunya Developing Democracy toward Consolidation (1999) mengungkapkan, konsolidasi demokrasi sebagai upaya merawat stabilitas dan persistensi demokrasi. Lebih jauh lagi, konsolidasi demokrasi mensyaratkan adanya legitimasi yang kuat sehingga semua aktor memiliki kepercayaan dan menjadi modal dasar bagi pemerintahan demokratis. Dengan demikian, legitimasi menjadi kunci penting dalam proses menata Indonesia ke depan. Krisis legitimasi membawa penyakit bawaan yakni melemahnya kepercayaan dan tergerusnya harapan dalam politik berbasis kekitaan antara elite berkuasa dengan masyarakat yang dipimpinnya.
Pemilu 2014 terancam mengalami delegitimasi jika persoalan DPT ini tak terselsaikan. Kita punya trauma politik hampir di setiap penyelenggaraan pemilu baik di level nasional yakni pemilu legislatif dan pemilu presiden maupun di banyak pemilihan kepala daerah. Trauma itu, bermula dari centang-perenangnya data pemilih yang menjadi dasar penyusunan DPT. Bak lagu lama yang diputar ulang, nada sumbang kisruhnya penyusunan data pemilih, kini kembali menyeruak ke ruang publik dan menjadi bola panas bagi penyelenggara pemilu. Hak memilih merupakan hak sipil politik yang melekat dan dilindungi konstitusi sekaligus menjadi basic material bagi Pemilu demokratis.
Dalam tulisan Bingham, Contemporary Democracies, Participan, Stability and Violence (1982), partisipasi dalam pemilu menjadi salah satu faktor penting penyumbang penampilan politik (political performance) sebuah negara itu bagus atau tidak. Faktor lainnya adalah legitimasi pemerintah, pengorganisasian perundingan, kerahasiahan dan independensi, serta hak-hak dasar. Partisipasi politik sendiri memang jika merujuk pada pendapat Kaase dan Marsh dalam Political Action: Theoritical Perspective (1979) masih bisa dibagi menjadi dua bentuk, konvensional dan non konvensional. Yang konvensional misalnya partisipasi pemilih dalam pemilu (voter turnout) yang non konvensional misalnya demonstrasi, mogok kerja dan lain-lain. Dalam konteks Pemilu 2014, partisipasi pemilih di bilik suara inilah yang mengkhawatirkan jika urusan DPT tidak beres. Akan banyak orang yang sesungguhnya memiliki hak suara, tetapi dipaksa menjadi kelompok tak bersuara (voiceless). Sebagian pemilih lain yang punya hak suara, karena adanya kisruh DPT seperti sekarang sangat mungkin enggan berpartisipasi karena melemahnya kepercayaan mereka pada sistem penyelenggaraan pemilu.
Jika melihat jadwal Pemilu, penetapan DPT ini sudah diundur dari yang seharusnya paling akhir 13 September di tingkat kabupaten/kota, 18 Oktober di tingkat provinsi, dan 23 Oktober di tingkat nasional. Namun karena secara faktual DPT masih banyak yang bermasalah penetapannya pun secara nasional diundur hingga 4 November 2013. Miris memang, jika penyelenggara pemilu masih bergumul dengan persoalan DPT. Ada tiga hal yang mendasari logika sederhana untuk melakukan kritik atas persoalan DPT ini.
Pertama, identifikasi masalah hulu kisruh DPT ini sudah lama diketahui banyak pihak yakni sistem pendataan penduduk yang bermasalah dan koordinasi antar Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dengan penyelenggara Pemilu. Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) dari Kemendagri misalnya, sedari awal masih kerap bermasalah misalnya Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang ganda, kosong, dan tidak standar. Keraguan itu sudah terjadi sejak Kemendagri menyerahkan DP4 pada Februari 2013. DP4 itu berisi daftar 190,4 juta penduduk yang seharusnya menjadi basis data daftar pemilih. KPU memang sudah melakukan sinkronisasi dengan melakukan penetapan dan pengumuman Daftar Pemilih Sementara Hasil Perbaikan (DPSHP).
Hasil penyandingan DPSHP yang berjumlah 181 juta pemilih dengan DP4 tadi, ditemukan 160 juta data yang sinkron. Sebanyak 20,2 juta data bermasalah. Data terakhir ini, tak dilengkapi elemen kependudukan yang baik, seperti nama, alamat, dan tanggal lahir. Dalam rapat dengar pendapat Komisi II DPR dengan KPU, Bawaslu dan Kemendagri pada Kamis hingga Jum’at (1/11), tersiar kabar bahwa masih ada kurang lebih 10,4 juta penduduk yang harus diverifikasi di lapangan. Ini tentu bukan angka sedikit, terlebih jika membacanya dalam konteks kerterjaminan hak-hak sipil politik warga negara. Sedari awal koordinasi antar penyelenggara pemilu dengan Kemendagri harusnya intensif dan berorientasi pada solusi dengan pendekatan preventif karena DPT sesungguhnya bukan persoalan kemarin sore.
Ribut saling menyalahkan antar KPU dan Kemendagri menjadi kontraproduktif dan berpotensi melemahkan harapan publik atas penyelenggaraan pemilu berkualitas.
Kedua, soal waktu dan dukungan dana. Pemuktahiran data pemilih untuk Pemilu 2014 harusnya lebih bagus dibanding 2009. pada pemilu lalu waktu pemutakhiran hanya 10 bulan sebelum pemungutan suara, sementara untuk pemilu 2014 dilakukan 14 bulan sebelum waktu pemungutan suara. Dari segi anggarannya pun pemilu 2014 lebih besar. Pada pemilu 2009 anggarannya sebesar Rp. 1,2 triliun, sementara pada Pemilu 2014 menjadi Rp 1,9 triliun. Harusnya, dengan beberapa perbaikan tersebut, kualitas penyiapan dan penetapan DPT Pemilu 2014 lebih baik dan lebih terukur.
Ketiga, soal proyek prestisius bernama KTP Elektronik. Uang rakyat sudah digelontorkan begitu besar untuk proyek yang konon kabarnya canggih dan menyejajarkan warga negara kita dalam peradaban digital sekelas negara-negara maju bukan? Tapi mengapa hanya untuk urusan daftar pemilih saja kita masih tergopoh-gopoh saat harapan publik berlari kencang. Tugas pemerintahlah menyelesaikan proyek KTP elektronik secara nasional untuk memastikan tidak ada nomor induk kependudukan yang ganda atau bermasalah. Padahal, pemerintah sendiri yang menargetkan proyek KTP elektronik selesai pada 2012!
Ruang Gelap
Meskipun kerap “dipelototi” banyak pihak, konspirasi banyak aktor dalam kekisruhan DPT ini tetap saja terjadi. Pemilu 2009 menjadi contoh ketidakpuasan kita terhadap DPT yang seolah untouchable dari peran kontrol masyarakat. Tak dimungkiri daftar pemilih bisa menjadi ruang gelap tempat para setan dan penguasa kegelapan bergentayangan! Mereka besembunyi, mengambil peran dan mungkin juga membuat deal politik guna memuluskan agenda-agenda pemenangan.
Pemilu memang momentum kontestasi antar kekuatan. Tetapi, seluruh pihak juga harus menyadari bahwa kontestasi elitis tak lagi memadai, butuh legitimasi yang bersumber dari partisipasi masyarakat. R.A Dahl, dalam Dilemas of Pluaralist Democracy: Autonom Vs Control (1982) menyebutkan bahwa demokrasi memang senantiasa melibatkan dua variabel yakni kontestasi dan partisipasi. Keduanya bisa menjadi ukuran bagaimana kualitas demokrasi elektoral diselenggarakan. Apakah kontestasinya berjalan langsung, jujur, adil, bebas dan rahasia atau muncul sejumlah persoalan yang paradoks dengan hakikat demokrasi.
Yang patut kita khawatirkan jika persoalan DPT ini tak terselsaikan adalah terus turunnya angka partisipasi masyarakat dalam pemilihan. Pada Pemilu 1955, partisipasi pemilih di angka 87 persen dari total warga yang punya hal pilih. Pada Pemilu 1999 menjadi 93 persen, ini seiring dengan harapan yang muncul pasca reformasi. Tapi setelah itu terus menurun, misalnya pada Pemilu 2004, hanya 85 persen untuk pemilu legislatif, 80 persen pemilu presiden (pilpres) putaran pertama dan 77 persen pilpres putaran kedua. Pada Pemilu 2009, partisipasi pemilih hanya 71 persen di pemilu legislatif dan 72 persen untuk pilpres.
Sangat mungkin, jika sistem penyelanggaraan pemilu amburadul dan ketiadaan sosok calon pemimpin yang bisa menggerakan pemilih ke bilik suara, maka angka mereka yang tidak berpartisipasi dalam pemilu meningkat termasuk di dalamnya kelompok teralienasi yang melihat pemilu sudah tak memiliki nilai guna bagi mereka. Pemilu, meminjam istilah William Liddle (1996) bukan semata useful fiction atau partisipasi khayalan melainkan supremasi kedaulatan rakyat. Jika DPT masih bermasalah dan berpotensi besar menghilangkan hak-hak sipil politik jutaan warga, sebaiknya KPU menunda lagi penetapannya. Penyisiran DPT bermasalah harus dituntaskan, sehingga publik tak lagi melihat DPT sebagai ruang gelap tempat bertransaksinya para Godfather! (*)
Komunikasi Politik dan Peta Jalan Koalisi 2014
Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Pikiran Rakyat, 4 Nov 2013)
Puncak persaingan Pemilu 2014 kian dekat. Salah satu dampaknya, ruang publik kita kian disesaki informasi politik yang berorientasi pada perebutan pasar pemilih termasuk basis-basis kekuatan nyata di level elite maupun akar rumput (grassroot). Meminjam istilah John Keane dalam The Humbling of the Intellectual (1998), sekarang hingga 2014 bisa kita sebut era keberlimpahan komunikasi (communicative abundance) terutama informasi politik yang setiap saat menerpa khalayak calon pemilih.
Para politisi nyaris tak ada jeda menjual citra di media lini atas dan media kini bawah, tak lelah datang menghampiri tokoh-tokoh yang berpotensi sebagai pendulang suara (vote getter), intensif membangun jejaring guna mempengaruhi lingkungan politik jelang pemilu legislatif dan pemilu presiden. Inilah salah satu keniscayaan demokrasi elektoral kita yang mengharuskan siapapun yang akan berkontestasi harus membangun komunikasi politik dengan beragam kekuatan lintas strata. Wajar jika Denton dan Woodward dalam Political Communication in America (1990), mensifati komunikasi politik dengan istilah intention (tujuan) pengirimnya untuk mempengaruhi lingkungan politik.
Pertarungan tahun politik sesungguhnya mengerucut pada empat tahapan. Pertama, perebutan kuasa dan otoritas di internal partai. Banyak pihak berebut tiket untuk menjadi calon anggota legislatif, nomor urut pancalegan, posisi penting dalam struktur partai yang bermuara pada eksistensi diri si politisi dalam peta kekuatan yang akan bertarung di pemilu 2014. Kedua, terkait dengan manajemen konflik antar kompetitor. Jangan heran jika kasus-kasus hukum dan politik digelontorkan oleh banyak pihak ke ruang diskursus publik dan media. Strategi gelembung politik (bubble politic) menjadi penanda, proses melegitimasi diri dan mendelegitimasi lawan menjadi paket tak terpisahkan dalam perang antar kekuatan. Ketiga, tahap pemasaran politik melalui berbagai pendekatan. Iklan, publisitas, beragam pendekatan public relations politik dilakukan untuk memoles popularitas, elektabilitas, kesukaan dan penerimaan pemilih pada kandidat partai maupun capres/cawapres. Keempat, adalah agregasi kepentingan antar kekuatan melalui beragam cara penjajagan.
Semua partai saat ini memfokuskan diri pada dua pertaruangan, yakni pemilu legislatif dan pemilu presiden. Keduanya saling melengkapi dan saling menguatkan. PKB misalnya sedang menjajaki sejumlah nama untuk jadi capres mereka. Ada nama Jusuf Kalla, Mahfudz MD, dan Rhoma Irama. Siapa diantara mereka yang akan menjadi capres PKB? Akan ditentukan dua faktor. Pertama, perolehan suara PKB di legislatif. Kedua, nilai jual kandidat yang akan didorong untuk menaikan daya tawar PKB di basis pemilih dan potensi penerimaan kekuatan parpol lain saat ada inisiasi koalisi di waktu mendatang. Hanura, Nasdem dan Golkar mengintensifkan jalur perang media, Gerindra mengoptimlkan peran Prabowo sebagai capres 2014 dan jangkar kelompok-kelompok masyarakat. PDIP sibuk mengukuhkan perubahan reputasi organisasi dengan “menjual” cara berbenah dan konsolidasi berbasis kader loyalis. Demokrat pun sibuk menjual konvensi yang akan membentang dalam rentang 8 bulanan.
Jika dikalkulasi berdasarkan angka parliamentary threshold 3,5 persen maka diprediksi partai yang akan mengisi slot DPR di Senayan itu kurang lebih 9 partai. Yang menarik lagi adalah mengkalkulasi capres/cawapres 2014. Dengan angka presidential threshold yang tidak berubah yakni 25 persen suara sah nasional atau 20 persen kursi DPR, kemungkinan capres/cawapres yang berlaga di 2014 hanya aka nada 3 pasangan. Kemungkinan, slot itu akan diisi oleh partai Golkar yang sedari awal sudah memplot Aburizal Bakrie (ARB) sebagai capres utama mereka. Slot kedua akan diisi oleh capresnya PDIP. Terlepas dari pro-kontra yang ada, jika PDIP mau mengubah bandul peruntungan di Pemilu 2014 memang magnet elektoralnya ada pada sosok Jokowi. Pendekatan ilmiah melalui survei opini publik di beragam hasil survei menunjukkan tren positif bagi Jokowi di pasar pemilih. Slot ketiga, menurut saya akan diisi oleh partai yang perolehan suaranya tidak terlalu signifikan, misalnya di bawah 10 persen, tetapi punya sosok kuat yang bisa didorong maju ke gelanggang. Untuk 2014, Prabowo memiliki momentum ulang menjadi “petarung”.
Faktor pengubah konstelasi menurut saya ada tiga. Pertama, jika Jokowi enggan maju atau tidak dimajukan PDIP. Kedua, jika Demokrat mau menurunkan gengsi dengan memosisikan diri sebagai partai pendukung koalisi dengan mendukung capres kekuatan lain, misalnya penjajagan koalisi Golkar-PAN-Demokrat yang semakin intensif dijajaki. Ketiga, jika benar-benar nyata solidnya partai-partai papan tengah mengusung sosok lain misalnya JK-Mahfudz. Dengan demikian, area pertarungan dan perebutan kuasa akan terjadi di antara partai-partai papan tengah. Salah satu kunci pembuka untuk menghidupkan peluang-peluang itu tentunya adalah komunikasi politik. Jauh lebih penting dari sekedar komunikasi dengan elite, partai dan capres/cawapres harus mengintensifkan komunikasi politik dengan masyarakat pemilik mandat kekuasaan sesungguhnya.
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Pikiran Rakyat, 4 Nov 2013)
Puncak persaingan Pemilu 2014 kian dekat. Salah satu dampaknya, ruang publik kita kian disesaki informasi politik yang berorientasi pada perebutan pasar pemilih termasuk basis-basis kekuatan nyata di level elite maupun akar rumput (grassroot). Meminjam istilah John Keane dalam The Humbling of the Intellectual (1998), sekarang hingga 2014 bisa kita sebut era keberlimpahan komunikasi (communicative abundance) terutama informasi politik yang setiap saat menerpa khalayak calon pemilih.
Para politisi nyaris tak ada jeda menjual citra di media lini atas dan media kini bawah, tak lelah datang menghampiri tokoh-tokoh yang berpotensi sebagai pendulang suara (vote getter), intensif membangun jejaring guna mempengaruhi lingkungan politik jelang pemilu legislatif dan pemilu presiden. Inilah salah satu keniscayaan demokrasi elektoral kita yang mengharuskan siapapun yang akan berkontestasi harus membangun komunikasi politik dengan beragam kekuatan lintas strata. Wajar jika Denton dan Woodward dalam Political Communication in America (1990), mensifati komunikasi politik dengan istilah intention (tujuan) pengirimnya untuk mempengaruhi lingkungan politik.
Pertarungan tahun politik sesungguhnya mengerucut pada empat tahapan. Pertama, perebutan kuasa dan otoritas di internal partai. Banyak pihak berebut tiket untuk menjadi calon anggota legislatif, nomor urut pancalegan, posisi penting dalam struktur partai yang bermuara pada eksistensi diri si politisi dalam peta kekuatan yang akan bertarung di pemilu 2014. Kedua, terkait dengan manajemen konflik antar kompetitor. Jangan heran jika kasus-kasus hukum dan politik digelontorkan oleh banyak pihak ke ruang diskursus publik dan media. Strategi gelembung politik (bubble politic) menjadi penanda, proses melegitimasi diri dan mendelegitimasi lawan menjadi paket tak terpisahkan dalam perang antar kekuatan. Ketiga, tahap pemasaran politik melalui berbagai pendekatan. Iklan, publisitas, beragam pendekatan public relations politik dilakukan untuk memoles popularitas, elektabilitas, kesukaan dan penerimaan pemilih pada kandidat partai maupun capres/cawapres. Keempat, adalah agregasi kepentingan antar kekuatan melalui beragam cara penjajagan.
Semua partai saat ini memfokuskan diri pada dua pertaruangan, yakni pemilu legislatif dan pemilu presiden. Keduanya saling melengkapi dan saling menguatkan. PKB misalnya sedang menjajaki sejumlah nama untuk jadi capres mereka. Ada nama Jusuf Kalla, Mahfudz MD, dan Rhoma Irama. Siapa diantara mereka yang akan menjadi capres PKB? Akan ditentukan dua faktor. Pertama, perolehan suara PKB di legislatif. Kedua, nilai jual kandidat yang akan didorong untuk menaikan daya tawar PKB di basis pemilih dan potensi penerimaan kekuatan parpol lain saat ada inisiasi koalisi di waktu mendatang. Hanura, Nasdem dan Golkar mengintensifkan jalur perang media, Gerindra mengoptimlkan peran Prabowo sebagai capres 2014 dan jangkar kelompok-kelompok masyarakat. PDIP sibuk mengukuhkan perubahan reputasi organisasi dengan “menjual” cara berbenah dan konsolidasi berbasis kader loyalis. Demokrat pun sibuk menjual konvensi yang akan membentang dalam rentang 8 bulanan.
Jika dikalkulasi berdasarkan angka parliamentary threshold 3,5 persen maka diprediksi partai yang akan mengisi slot DPR di Senayan itu kurang lebih 9 partai. Yang menarik lagi adalah mengkalkulasi capres/cawapres 2014. Dengan angka presidential threshold yang tidak berubah yakni 25 persen suara sah nasional atau 20 persen kursi DPR, kemungkinan capres/cawapres yang berlaga di 2014 hanya aka nada 3 pasangan. Kemungkinan, slot itu akan diisi oleh partai Golkar yang sedari awal sudah memplot Aburizal Bakrie (ARB) sebagai capres utama mereka. Slot kedua akan diisi oleh capresnya PDIP. Terlepas dari pro-kontra yang ada, jika PDIP mau mengubah bandul peruntungan di Pemilu 2014 memang magnet elektoralnya ada pada sosok Jokowi. Pendekatan ilmiah melalui survei opini publik di beragam hasil survei menunjukkan tren positif bagi Jokowi di pasar pemilih. Slot ketiga, menurut saya akan diisi oleh partai yang perolehan suaranya tidak terlalu signifikan, misalnya di bawah 10 persen, tetapi punya sosok kuat yang bisa didorong maju ke gelanggang. Untuk 2014, Prabowo memiliki momentum ulang menjadi “petarung”.
Faktor pengubah konstelasi menurut saya ada tiga. Pertama, jika Jokowi enggan maju atau tidak dimajukan PDIP. Kedua, jika Demokrat mau menurunkan gengsi dengan memosisikan diri sebagai partai pendukung koalisi dengan mendukung capres kekuatan lain, misalnya penjajagan koalisi Golkar-PAN-Demokrat yang semakin intensif dijajaki. Ketiga, jika benar-benar nyata solidnya partai-partai papan tengah mengusung sosok lain misalnya JK-Mahfudz. Dengan demikian, area pertarungan dan perebutan kuasa akan terjadi di antara partai-partai papan tengah. Salah satu kunci pembuka untuk menghidupkan peluang-peluang itu tentunya adalah komunikasi politik. Jauh lebih penting dari sekedar komunikasi dengan elite, partai dan capres/cawapres harus mengintensifkan komunikasi politik dengan masyarakat pemilik mandat kekuasaan sesungguhnya.
Capres Wacana?
Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini dipublikasikan di Koran Sindo, 31 Oktober 2013)
Persaingan jelang Pemilu 2014 kian sengit. Tak hanya melibatkan partai politik tetapi juga di antara “tukang pemenangan”. Lembaga riset yang merangkap konsultan pun ramai memainkan manuver demi manuver mulai dari cara elegan hingga serampangan. Publik kerap terheran-heran, karena sejumlah rilis hasil riset menebar aroma pesanan yang menyengat.
Pembingkaian Opini
Saya pernah menulis di Koran Sindo (6/7/2012) dengan judul Etika Lembaga Survei. Pada tulisan tersebut, saya menggarisbawahi, aktivitas survei itu kerap terbagi menjadi survei non-scientific seperti survei SMS (call in survey) dan survei via internet, selain juga survei scientific yang ketat dengan standar-standar ilmiah untuk mengetahui, mengukur, memprediksi kehendak publik yang berkembang misalnya dalam Pemilu. Salah satu contoh menonjol dan kerap menarik minat media untuk mempublikasikannya adalah tingkat elektabilitas dan popularitas kandidat baik capres maupun partai politik.
Eksistensi lembaga survei sedari awal memang memperoleh tempat dalam pilihan demokrasi yang kita anut. Supremasi warganegara sebagai istilah lain dari kedaulatan rakyat mengharuskan pengelolaan negara senantiasa mendengar kehendak umum yang oleh Rousseau dalam traktatnya diistilahkan sebagai the general will. Perkembangannya, the general will ini kerap disepadankan dengan l’opinion publique atau opini publik. Dalam UU No.8 tahun 2012 Pasal 246 survei diakui sebagai partisipasi masyarakat dalam Pemilu dengan ketentuan tidak melakukan keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan peserta Pemilu.
Oleh karena survei ilmiah itu memiliki metodologi yang bisa diuji dan diperdebatkan oleh banyak pihak, maka sebuah hasil survei yang aneh, tendensius dan menyebrang dari arus utama opini masyarakat akan cepat dan mudah teraba denyut pesanannya. Opini publik dalam perspektif komunikasi politik selalu memiliki tiga konstruksi yakni personal, sosial dan politis. Rentang opini yang dimulai dari pendapat orang per orang, akan bergulir menjadi opini kelompok lantas menemukan momentumnya menjadi opini publik jika isunya menyangkut persoalan yang memiliki dampak pada orang banyak. Dengan demikian, opini yang acak di masyarakat lama-lama akan sampai pada suatu tren tertentu yang bisa diukur, diprediksi dan diperbandingkan. Di posisi itulah, sebuah survei tak cukup memadai hanya dilakukan sekali, terlebih untuk memprediksi pemilu yang memiliki banyak variabel yang akan memengaruhi konteks dinamis pemilih.
Secara ilmiah, sebuah hasil survei memang dimaksudkan menjadi replikasi atas fenomena umum yang hendak diketahui. Karena sifatnya yang ilmiah tersebut, maka riset mengenai opini publik harusnya bisa menggambarkan fenomena umum yang berkembang di masyarakat Indonesia. Masalahnya adalah, saat ini survei opini publik telah menjadi komoditi yang sexy terlebih di tengah rivalitas demokrasi elektoral kita. Sejak Pemilu 1999 hingga sekarang, survei dianggap salah satu paket penting. Wajar jika bisnis survei menjanjikan keuntungan seiring dengan tingginya minat kontestan pemilu legislatif, pemilu presiden dan berbagai pilkada.
Bolehkah sebuah survei dipesan oleh mereka yang memiliki kepentingan elektoral? Sebenarnya boleh-boleh saja. Hanya etikanya, jika sebuah riset dilakukan untuk kepentingan client, misalnya untuk memetakan posisi kandidat jika head-to-head dengan kompetitor sekaligus memprediksi tren opini yang berkembang di masyarakat, harusnya hasil survei tersebut diberikan kepada client yang memesan. Tidak secara serampangan dirilis lewat media terlabih dengan melakukan pembingkain hasil untuk kepentingan menaikan citra politik client bersangkutan. Sah-sah juga jika survei tersebut dirilis di media atas permintaan client, hanya lembaga survei bersangkutan harus tetap berpegang pada fakta temuan dengan tidak mereduksi, mendramatisasi atau mendesain sebuah riset “abal-abal”. Siapkah client lembaga riset tersebut menerima konsekuensi tersebut? Sulit rasanya mencari client yang tidak punya motif membayar lembaga survei bukan untuk kepentingan bandwagon effect.
Jika orientasinya bandwagon effect dengan memanfaatkan media, maka salah satu yang akan dipertaruhkan lembaga survei yang menjadi konsultan adalah integritas! Lebih mengerikan lagi jika lembaga survei hanya jadi “tukang suntik” opini. Meminjam perspektif Hypodermic Needle Theory, survei bisa saja diposisikan sebagai pembentuk opini publik dengan memanfaatkan media seperti jarum yang menyuntikkan informasi secara berulang-ulang kepada khalayak agar terbentuk opini publik yang dikehendaki. Tentu ini cara berpikir tentang hubungan media-khalayak yang jadul! Tak semudah itu khalayak dibentuk persepsinya oleh media dan lembaga survei. Bias metodologis dan etis dalam survei yang dirilis oleh media, dengan cepat akan bisa diraba oleh banyak pihak.
Perang 2014
Salah satu contoh reaksi publik yang keras dan kritis terjadi saat Lingkaran Survei Indonesia (LSI) merilis elektabilitas Capres. Dua nama berposisi teratas yakni Mega (29,8 persen) dan Aburizal Bakrie (28,6 persen) sementara capres lain yang dianggap riil adalah hasil konvensi Demokrat. Nama Jokowi dan Prabowo dieliminasi dari survei karena diasumsikan sebagai capres wacana.
Istilah capres wacana memang dipandang banyak kalangan sumir dan tendensius jika dikaitkan dengan sosok Jokowi dan Prabowo. Memang benar, hingga sekarang Jokowi belum resmi menjadi capres PDIP, tetapi memberi asumsi bahwa Jokowi hanya capres wacana juga prematur dan gegabah. Menilik dukungan dan harapan publik yang kian membumbung tinggi terhadap Jokowi, beranikah PDIP meninggalkan magnet utama yang akan memberi insentif elektoral bagi partai ini di pileg maupun pilpres 2014.
Pun demikian dengan Prabowo. Jika karena prediksi elektabilitas Gerindra yang hanya di bawah 10 persen lantas Prabowo disebut capres wacana, bukankah ini logika yang menihilkan sejarah dan seni kemungkinan-kemungkinan dalam politik kita. Sejarah yang saya maksud adalah keterpilihan SBY di pemilu presiden 2004. Dengan perolehan suara 7,45 persen ternyata SBY bisa menjadi presiden dengan membentuk koalisi partai politik untuk mengusungnya. Hal yang sama bisa saja dilakukan Prabowo, yakni menginisiasi komunikasi politik ke partai-partai lain terutama partai-partai papan tengah yang belum punya capres solid untuk merapat dan mengusung Prabowo bersama-sama sehingga bisa melampaui presidential threshold (PT) 25 persen suara nasional atau 20 persen kursi DPR.
Jauh akan lebih fair dan elegan jika siapapun yang melakukan survei elektabilitas itu memasukan nama-nama yang saat ini teraba dalam denyut opini publik masyarakat. Memang tak mudah bagi lembaga survei mengayuh di tengah dua kepentingan antara orientasi bisnis dengan cara memuaskan pelanggan dan orientasi etis-akademis untuk mempertahankan integritas. Publik pun akhirnya akan tahu, mana survei ilmiah yang menjaga marwah nilai akademis, dan mana survei si tukang pemenangan!
(Tulisan ini dipublikasikan di Koran Sindo, 31 Oktober 2013)
Persaingan jelang Pemilu 2014 kian sengit. Tak hanya melibatkan partai politik tetapi juga di antara “tukang pemenangan”. Lembaga riset yang merangkap konsultan pun ramai memainkan manuver demi manuver mulai dari cara elegan hingga serampangan. Publik kerap terheran-heran, karena sejumlah rilis hasil riset menebar aroma pesanan yang menyengat.
Pembingkaian Opini
Saya pernah menulis di Koran Sindo (6/7/2012) dengan judul Etika Lembaga Survei. Pada tulisan tersebut, saya menggarisbawahi, aktivitas survei itu kerap terbagi menjadi survei non-scientific seperti survei SMS (call in survey) dan survei via internet, selain juga survei scientific yang ketat dengan standar-standar ilmiah untuk mengetahui, mengukur, memprediksi kehendak publik yang berkembang misalnya dalam Pemilu. Salah satu contoh menonjol dan kerap menarik minat media untuk mempublikasikannya adalah tingkat elektabilitas dan popularitas kandidat baik capres maupun partai politik.
Eksistensi lembaga survei sedari awal memang memperoleh tempat dalam pilihan demokrasi yang kita anut. Supremasi warganegara sebagai istilah lain dari kedaulatan rakyat mengharuskan pengelolaan negara senantiasa mendengar kehendak umum yang oleh Rousseau dalam traktatnya diistilahkan sebagai the general will. Perkembangannya, the general will ini kerap disepadankan dengan l’opinion publique atau opini publik. Dalam UU No.8 tahun 2012 Pasal 246 survei diakui sebagai partisipasi masyarakat dalam Pemilu dengan ketentuan tidak melakukan keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan peserta Pemilu.
Oleh karena survei ilmiah itu memiliki metodologi yang bisa diuji dan diperdebatkan oleh banyak pihak, maka sebuah hasil survei yang aneh, tendensius dan menyebrang dari arus utama opini masyarakat akan cepat dan mudah teraba denyut pesanannya. Opini publik dalam perspektif komunikasi politik selalu memiliki tiga konstruksi yakni personal, sosial dan politis. Rentang opini yang dimulai dari pendapat orang per orang, akan bergulir menjadi opini kelompok lantas menemukan momentumnya menjadi opini publik jika isunya menyangkut persoalan yang memiliki dampak pada orang banyak. Dengan demikian, opini yang acak di masyarakat lama-lama akan sampai pada suatu tren tertentu yang bisa diukur, diprediksi dan diperbandingkan. Di posisi itulah, sebuah survei tak cukup memadai hanya dilakukan sekali, terlebih untuk memprediksi pemilu yang memiliki banyak variabel yang akan memengaruhi konteks dinamis pemilih.
Secara ilmiah, sebuah hasil survei memang dimaksudkan menjadi replikasi atas fenomena umum yang hendak diketahui. Karena sifatnya yang ilmiah tersebut, maka riset mengenai opini publik harusnya bisa menggambarkan fenomena umum yang berkembang di masyarakat Indonesia. Masalahnya adalah, saat ini survei opini publik telah menjadi komoditi yang sexy terlebih di tengah rivalitas demokrasi elektoral kita. Sejak Pemilu 1999 hingga sekarang, survei dianggap salah satu paket penting. Wajar jika bisnis survei menjanjikan keuntungan seiring dengan tingginya minat kontestan pemilu legislatif, pemilu presiden dan berbagai pilkada.
Bolehkah sebuah survei dipesan oleh mereka yang memiliki kepentingan elektoral? Sebenarnya boleh-boleh saja. Hanya etikanya, jika sebuah riset dilakukan untuk kepentingan client, misalnya untuk memetakan posisi kandidat jika head-to-head dengan kompetitor sekaligus memprediksi tren opini yang berkembang di masyarakat, harusnya hasil survei tersebut diberikan kepada client yang memesan. Tidak secara serampangan dirilis lewat media terlabih dengan melakukan pembingkain hasil untuk kepentingan menaikan citra politik client bersangkutan. Sah-sah juga jika survei tersebut dirilis di media atas permintaan client, hanya lembaga survei bersangkutan harus tetap berpegang pada fakta temuan dengan tidak mereduksi, mendramatisasi atau mendesain sebuah riset “abal-abal”. Siapkah client lembaga riset tersebut menerima konsekuensi tersebut? Sulit rasanya mencari client yang tidak punya motif membayar lembaga survei bukan untuk kepentingan bandwagon effect.
Jika orientasinya bandwagon effect dengan memanfaatkan media, maka salah satu yang akan dipertaruhkan lembaga survei yang menjadi konsultan adalah integritas! Lebih mengerikan lagi jika lembaga survei hanya jadi “tukang suntik” opini. Meminjam perspektif Hypodermic Needle Theory, survei bisa saja diposisikan sebagai pembentuk opini publik dengan memanfaatkan media seperti jarum yang menyuntikkan informasi secara berulang-ulang kepada khalayak agar terbentuk opini publik yang dikehendaki. Tentu ini cara berpikir tentang hubungan media-khalayak yang jadul! Tak semudah itu khalayak dibentuk persepsinya oleh media dan lembaga survei. Bias metodologis dan etis dalam survei yang dirilis oleh media, dengan cepat akan bisa diraba oleh banyak pihak.
Perang 2014
Salah satu contoh reaksi publik yang keras dan kritis terjadi saat Lingkaran Survei Indonesia (LSI) merilis elektabilitas Capres. Dua nama berposisi teratas yakni Mega (29,8 persen) dan Aburizal Bakrie (28,6 persen) sementara capres lain yang dianggap riil adalah hasil konvensi Demokrat. Nama Jokowi dan Prabowo dieliminasi dari survei karena diasumsikan sebagai capres wacana.
Istilah capres wacana memang dipandang banyak kalangan sumir dan tendensius jika dikaitkan dengan sosok Jokowi dan Prabowo. Memang benar, hingga sekarang Jokowi belum resmi menjadi capres PDIP, tetapi memberi asumsi bahwa Jokowi hanya capres wacana juga prematur dan gegabah. Menilik dukungan dan harapan publik yang kian membumbung tinggi terhadap Jokowi, beranikah PDIP meninggalkan magnet utama yang akan memberi insentif elektoral bagi partai ini di pileg maupun pilpres 2014.
Pun demikian dengan Prabowo. Jika karena prediksi elektabilitas Gerindra yang hanya di bawah 10 persen lantas Prabowo disebut capres wacana, bukankah ini logika yang menihilkan sejarah dan seni kemungkinan-kemungkinan dalam politik kita. Sejarah yang saya maksud adalah keterpilihan SBY di pemilu presiden 2004. Dengan perolehan suara 7,45 persen ternyata SBY bisa menjadi presiden dengan membentuk koalisi partai politik untuk mengusungnya. Hal yang sama bisa saja dilakukan Prabowo, yakni menginisiasi komunikasi politik ke partai-partai lain terutama partai-partai papan tengah yang belum punya capres solid untuk merapat dan mengusung Prabowo bersama-sama sehingga bisa melampaui presidential threshold (PT) 25 persen suara nasional atau 20 persen kursi DPR.
Jauh akan lebih fair dan elegan jika siapapun yang melakukan survei elektabilitas itu memasukan nama-nama yang saat ini teraba dalam denyut opini publik masyarakat. Memang tak mudah bagi lembaga survei mengayuh di tengah dua kepentingan antara orientasi bisnis dengan cara memuaskan pelanggan dan orientasi etis-akademis untuk mempertahankan integritas. Publik pun akhirnya akan tahu, mana survei ilmiah yang menjaga marwah nilai akademis, dan mana survei si tukang pemenangan!
Kleptokrasi dan Buruk Muka Mahkamah Konstitusi
Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini dipublikasikan di Pikiran Rakyat, 7 Oktober 2013)
Dampak lanjutan dari gegap gempitanya operasi tangkap tangan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar, adalah terpuruknya kredibilitas MK di masyarakat. Kasus Akil menjadi “tsunami” yang memporak-porandakan kebanggaan, citra, reputasi bahkan legitimasi mahkamah “para wakil Tuhan” di dunia ini. Kasus ini mengonfirmasi sekaligus melembagakan persepsi banyak kalangan bahwa kleptokrasi sudah menjadi bagian utuh dalam tatakelola dan tatakerja birokrasi eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Kejahatan tingkat atas (top-hat crimes) bernama korupsi, nyaris paripurna menampilkan identitasnya sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) karena kerap mewujud dalam satu kemapanan pola serta sukses menjadi bentuk kehidupan (lebensform) para elite.
Pada tahun 2013, merujuk data hasil survey Transparency International Indonesia dengan responden di 147 negara, Indonesia menempati posisi 118, lebih buruk daripada Thailand yang berada di rangking 88 dan juga Filipina di posisi 108. Kini, “jamaah” koruptor juga mengalir ke mana-mana mulai dari kelas jalanan hingga orang dekat istana. Sepanjang 2013 misalnya sudah ada kurang lebih 290 kepala daerah yang masuk “hotel prodeo”. Para menteri, mantan menteri, politisi parpol, wakil rakyat dan lain-lain, banyak yang sukses menghinakan dirinya serta meninggalkan kemuliaan jabatan yang sebelumnya dipercayakan bangsa dan negara ke pundak mereka. Dahsyatnya lagi, hakim konstitusi yang seharusnya menjadi negarawan justeru asik masyuk bertransaksi haram! Inilah paradoks kebangsaan kita yang membuat rakyat Indonesia tak henti-hentinya mengurut dada.
Indonesia telah menyetujui United Nations Convention Against Corruption pada tahun 2003, melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 dan eksplisit menyatakan bahwa korupsi merupakan ancaman terhadap demokrasi yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan integritas bangsa Indonesia. Tapi dalam praktiknya, dari hulu ke hilir negeri kita disesaki para koruptor “kelas kakap” dan “kelas teri”. Para pejabat korup berkongsi untuk mendapatkan “jatah” dari jualan pengaruh jabatan mereka.
Ada kecenderungan Indonesia semakin terjebak ke dalam pusaran kleptokrasi (kleptocracy). Istilah kleptokrasi berasal dari bahasa Yunani yakni klepto dan kratein yang berarti diperintah oleh para pencuri. Kleptokrasi bisa dipahami sebagai bentuk administrasi publik dengan menggunakan uang yang berasal dari publik untuk memperkaya diri mereka sendiri. Praktik korupsi, nepotisme dan persekongkolan kejahatan dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuasaan atau wewenang mempengaruhi kebijakan.
Pemikir Prancis, Frederic Bastiat mengatakan, jika lembaga negara penuh dengan praktik ilegal dan korupsi, negara pun berubah menjadi institusi kleptokrasi. Sementara Stanislav Andreski dalam buku lawasnya Kleptocracy or Corruption as a System of Government (1968) menggarisbawahi peran penguasa atau pejabat tinggi yang tujuan utamanya adalah memperkaya diri.
Citra MK saat ini di titik nadir. Tengok saja pemberitaan media massa dan media sosial. Bahkan gaung berita buruk ini menggema ke seantero dunia. Media massa sebut saja The New York Times, Reuters, Aljazeera, The Straits Times, The Australian hingga BBC menjadikan berita ini menonjol dalam bingkai berita mereka. Belum lagi hujatan dan makian di media sosial serta bahasan di berbagai forum yang nyinyir dengan koruptor.
Dalam perspektif komunikasi politik yang harus segera diantisipasi dari buruk muka MK adalah menaikan dan mengelola kembali kepercayaan masyarakat. MK banyak menangani sengketa pilkada baik yang sudah diputuskan, sedang berjalan maupun yang direncanakan. Rusaknya citra MK akan berimbas pada ketidakpercayaan pihak-pihak bersengketa terlebih jika putusan MK bukan yang mereka inginkan. Paket pemulihan awal meliputi lima hal. Pertama, kerja cepat, tegas dan transparan Majlis Kehormatan MK dalam kasus Akil Mochtar. Kedua, adanya moratorium keputusan MK sambil menunggu temuan Majlis Kehormatan. Ketiga, MK wajib mendukung hukuman seberat-beratnya bagi hakim konstitusi mereka yang terbukti menerima suap. Keempat, harus jelasnya mekanisme seleksi para hakim konstitusi. Jauhkan pengisian hakim konstitusi dari politisi, untuk menghindari conflict of interest di kemudian hari. Keenam, Hakim MK wajib diawasi Komisi Yudisial untuk perimbangan kuasa yang mereka genggam.
Mengerjakan pemulihan lebih berat dan lebih susah dibanding memporak-porandakannya. Puing-puing kehormatan MK hanya bisa direkatkan ulang oleh sosok-sosok berintegritas. Jika para hakim konstitusi yang ada sekarang menjadi bagian dari persoalan, harus dilakukan seleksi ulang untuk mencari sosok “wakil Tuhan” bukan para petualang! (**)
(Tulisan ini dipublikasikan di Pikiran Rakyat, 7 Oktober 2013)
Dampak lanjutan dari gegap gempitanya operasi tangkap tangan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar, adalah terpuruknya kredibilitas MK di masyarakat. Kasus Akil menjadi “tsunami” yang memporak-porandakan kebanggaan, citra, reputasi bahkan legitimasi mahkamah “para wakil Tuhan” di dunia ini. Kasus ini mengonfirmasi sekaligus melembagakan persepsi banyak kalangan bahwa kleptokrasi sudah menjadi bagian utuh dalam tatakelola dan tatakerja birokrasi eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Kejahatan tingkat atas (top-hat crimes) bernama korupsi, nyaris paripurna menampilkan identitasnya sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) karena kerap mewujud dalam satu kemapanan pola serta sukses menjadi bentuk kehidupan (lebensform) para elite.
Pada tahun 2013, merujuk data hasil survey Transparency International Indonesia dengan responden di 147 negara, Indonesia menempati posisi 118, lebih buruk daripada Thailand yang berada di rangking 88 dan juga Filipina di posisi 108. Kini, “jamaah” koruptor juga mengalir ke mana-mana mulai dari kelas jalanan hingga orang dekat istana. Sepanjang 2013 misalnya sudah ada kurang lebih 290 kepala daerah yang masuk “hotel prodeo”. Para menteri, mantan menteri, politisi parpol, wakil rakyat dan lain-lain, banyak yang sukses menghinakan dirinya serta meninggalkan kemuliaan jabatan yang sebelumnya dipercayakan bangsa dan negara ke pundak mereka. Dahsyatnya lagi, hakim konstitusi yang seharusnya menjadi negarawan justeru asik masyuk bertransaksi haram! Inilah paradoks kebangsaan kita yang membuat rakyat Indonesia tak henti-hentinya mengurut dada.
Indonesia telah menyetujui United Nations Convention Against Corruption pada tahun 2003, melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 dan eksplisit menyatakan bahwa korupsi merupakan ancaman terhadap demokrasi yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan integritas bangsa Indonesia. Tapi dalam praktiknya, dari hulu ke hilir negeri kita disesaki para koruptor “kelas kakap” dan “kelas teri”. Para pejabat korup berkongsi untuk mendapatkan “jatah” dari jualan pengaruh jabatan mereka.
Ada kecenderungan Indonesia semakin terjebak ke dalam pusaran kleptokrasi (kleptocracy). Istilah kleptokrasi berasal dari bahasa Yunani yakni klepto dan kratein yang berarti diperintah oleh para pencuri. Kleptokrasi bisa dipahami sebagai bentuk administrasi publik dengan menggunakan uang yang berasal dari publik untuk memperkaya diri mereka sendiri. Praktik korupsi, nepotisme dan persekongkolan kejahatan dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuasaan atau wewenang mempengaruhi kebijakan.
Pemikir Prancis, Frederic Bastiat mengatakan, jika lembaga negara penuh dengan praktik ilegal dan korupsi, negara pun berubah menjadi institusi kleptokrasi. Sementara Stanislav Andreski dalam buku lawasnya Kleptocracy or Corruption as a System of Government (1968) menggarisbawahi peran penguasa atau pejabat tinggi yang tujuan utamanya adalah memperkaya diri.
Citra MK saat ini di titik nadir. Tengok saja pemberitaan media massa dan media sosial. Bahkan gaung berita buruk ini menggema ke seantero dunia. Media massa sebut saja The New York Times, Reuters, Aljazeera, The Straits Times, The Australian hingga BBC menjadikan berita ini menonjol dalam bingkai berita mereka. Belum lagi hujatan dan makian di media sosial serta bahasan di berbagai forum yang nyinyir dengan koruptor.
Dalam perspektif komunikasi politik yang harus segera diantisipasi dari buruk muka MK adalah menaikan dan mengelola kembali kepercayaan masyarakat. MK banyak menangani sengketa pilkada baik yang sudah diputuskan, sedang berjalan maupun yang direncanakan. Rusaknya citra MK akan berimbas pada ketidakpercayaan pihak-pihak bersengketa terlebih jika putusan MK bukan yang mereka inginkan. Paket pemulihan awal meliputi lima hal. Pertama, kerja cepat, tegas dan transparan Majlis Kehormatan MK dalam kasus Akil Mochtar. Kedua, adanya moratorium keputusan MK sambil menunggu temuan Majlis Kehormatan. Ketiga, MK wajib mendukung hukuman seberat-beratnya bagi hakim konstitusi mereka yang terbukti menerima suap. Keempat, harus jelasnya mekanisme seleksi para hakim konstitusi. Jauhkan pengisian hakim konstitusi dari politisi, untuk menghindari conflict of interest di kemudian hari. Keenam, Hakim MK wajib diawasi Komisi Yudisial untuk perimbangan kuasa yang mereka genggam.
Mengerjakan pemulihan lebih berat dan lebih susah dibanding memporak-porandakannya. Puing-puing kehormatan MK hanya bisa direkatkan ulang oleh sosok-sosok berintegritas. Jika para hakim konstitusi yang ada sekarang menjadi bagian dari persoalan, harus dilakukan seleksi ulang untuk mencari sosok “wakil Tuhan” bukan para petualang! (**)
Langganan:
Postingan (Atom)