Sabtu, 26 Februari 2011

KANDASNYA ANGKET PAJAK


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Pikiran Rakyat, 24/02/2011)

Tarik-menarik kepentingan politik dalam rencana pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Pajak terjawab sudah. Pada Selasa (22/02), rapat paripurna DPR memutuskan gagalnya pembentukan Pansus Hak Angket Pajak melalui voting 266 suara tidak setuju dan 264 suara setuju. Inilah kegaduhan politik terbaru di Senayan, yang menjadi contoh dampak demokrasi kolusif berbasis jual-beli “pukulan”. Hal menarik yang patut kita cermati adalah, mengapa rencana ini gagal tidak seperti Pansus Century di waktu sebelumnya? Menarik juga membaca peta kekuatan koalisi pasca kegagalan usulan ini.

Penyebab Kegagalan

Kegaduhan rencana pembentukan Pansus Hak Angket Pajak ini bermula pada Senin, 21 Januari. Sebanyak 30 orang anggota DPR dari sembilan fraksi mengajukkan usulan pembentukan Pansus Angket Mafia Pajak kepada Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso. Namun, keesokan harinya, 8 orang angggota Fraksi Partai Demokrat menarik kembali dukungan dengan alasan persoalan pajak ini sudah ditangani panitia kerja (panja) yang dibentuk Komisi III dan Komisi XI. Grilya politik dilakukan para politisi terutama dimotori Partai Golkar, PKS dan Hanura. Melajunya usulan hingga ke paripurna menunjukkan pesan kuat bahwa fondasi koalisi dan setgab memang sangat rapuh. Masing-masing parpol anggota koalisi mengembangkan skenarionya sendiri-sendiri dan berupaya mengejar “setoran” baik citra, mekanisme pertahanan diri, hingga posisi dan daya tawar politik.

Paling tidak ada dua faktor yang menyebabkan kegagalan hak angket pajak ini. Pertama, merebaknya aroma kepentingan “sang penabuh gendang”. Dalam hal ini adalah partai Golkar. Tak bisa kita lupakan, Golkar telah sukses besar dalam drama kasus Century. Posisi tawar Golkar melejit bahkan kasat mata agenda-agenda penting Golkar banyak terakomodasi. Skeptisme atas inisiatif hak angket ini membesar karena kuatnya sinyal-sinyal skenario pragmatis.

Hal ini, tentunya dibaca oleh partai-partai non koalisi yang banyak belajar dari manajemen konflik saat Century. Penentu dalam voting kemarin adalah posisi Partai Gerindra. Andai saja Gerindra sikap politiknya memihak para inisiator pembentukan pansus, maka tentu ceritanya akan berbeda. Perbedaan suara yang tipis menjadi sinyal kuat, solidnya suara Golkar, PKS, PDIP dan Hanura.

Kedua, mentahnya isu sehingga tak menjadi snowball dukungan yang memiliki efek resonansi memadai baik di internal DPR sendiri maupun di luar. Opini yang berkembang di masyarakat lebih banyak curiga dan menggugat track record DPR dalam urusan seperti ini. Memang masifikasi isu dan dukungan publik, bukanlah faktor langsung dalam kegagalan pembentukan pansus. Hanya saja menjadi variabel antara yang sangat efektif menjadi daya dorong ledakan isu hingga berpotensi menjadi titik episentrum kepedulian dan rasa percaya diri para anggota DPR itu sendiri. Penggiat, pengamat dan para tokoh ormas banyak mengingatkan publik agar publik tak larut dalam euforia kohesivitas simbolik yang penuh kesia-siaan dalam rencana Hak Angket Pajak ini.

Saat Century, para inisiator hak angket sukses memberi kesan kepada publik bahwa upaya mereka direstui oleh para tokoh senior negeri ini. Sebut saja nama-nama seperti Gus Dur, Syafii Maarif, Din Syamsuddin, KH. Hasyim Muzadi, dll. Sehingga, hal ini menjadi kekuatan moral tersendiri bagi para inisiator untuk menyolidkan barisan. Proses “menggoreng” isu Hak Angket Pajak tak memperoleh antusiasme publik, sehingga tidak cukup kuat menjadi tekanan moral bagi partai-partai di DPR. Kita masih ingat, saat dukungan publik meluas atas rencana pembentukan Pansus Century, maka Demokrat tak bisa mengelak dan di injury time mau tidak mau harus mendukung. Tekanan publik seperti itu tak mengemuka dalam pengajuan hak angket pajak sehingga benteng pertahanan Demokrat yang disokong PPP, PKB,PAN plus Gerindra tetap unggul tipis.

Modal publsitas pembentukan pansus hak angket pajak ini kurang memadai baik di media massa maupun media jejaring sosial (social network). Media massa lebih berhati-hati bahkan kerap mencurigai bau busuk kepentingan di balik pembentukan hak angket. Diskursus di dunia maya pun nampak lesu, seolah menjadi penanda para partisipan dan aktivis cyberdemocracy di situs jejaring sosial tak lagi percaya pada prilaku para politisi Senayan. Hak angket mengalami delegitimasi dan memberi ruang bernafas bagi Demokrat untuk memenangi kontestasi.

Peta Kekuatan

Sesungguhnya jika meraba peta kekuatan, saat Century merebak kita bisa menangkap ketidaknyamanan SBY dan Demokrat atas “kenakalan” Golkar dan PKS. Namun, tak ada pilihan lain selain menerapkan zona of possible agreement. Politik akomodasi menjadi solusi meski jika para politisi Demokrat mau jujur, peristiwa Century telah menciderai dan menjadi duri dalam daging pemerintahan SBY periode kedua. Namun, pilihan aman menjadi putusan karena masih percaya Golkar maupun PKS merupakan kekuatan menentukan. Pertimbangan inilah yang membuat SBY harus merelekan diri berbagi kuasa dengan Ical dan Golkar.

Pergulatan hari ini tentu tak akan lepas dari investasi dan kontestasi menuju 2014. Setiap partai menggadang-gadang cara menumbangkan rival utamanya sejak dini. Golkar dan PKS merupakan kekuatan yang konsisten menjadi partai koalisi bercitarasa oposisi. Agenda Demokrat sekarang, tentu saja mengamankan pemerintah SBY-Boediono dari marabahaya. Posisi PDIP sudah sangat jelas yakni masih menghormati keinginan Megawati untuk tetap oposisi, meski banyak elit PDIP yang juga rindu masuk kekuasaan.

Pasca gagalanya Hak Angket Pajak ini, sangat mungkin dilakukannya reevalusi bangunan koalisi. Demokrat nampaknya akan lebih percaya diri dalam menentukan sikap tegas terhadap mitra koalisi yang kerap tak sehati. Belum matinya peluang bermitra dengan partai besar lain seperti PDIP dan partai menengah seperti Gerindra akan menghidupkan asa Demokrat berpaling dari Golkar dan PKS. Skenario lain, Demokrat tak menyatakan pecah kongsi tetapi diam-diam mereduksi kekuatan mitra “nakal” tersebut hingga menjelang 2014.**

Tulisan ini bisa diakses di web Pikiran Rakyat:

http://epaper.pikiran-rakyat.com/

Sumber Gambar:

www.okezone.com

TREN REVOLUSI 2.0


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Harian Seputar Indonesia, 19/02/2011)

Kosakata revolusi kini kembali populer. Beberapa negara di Timur Tengah dan Afrika terkena dampak lanjutan krisis politik di Tunisia dan Mesir. Tumbangnya rezim Zine al-Abidine ben Ali dan Hosni Mubarak memompa semangat juang para demonstran jalanan di Aljazair,Yaman,Mesir,Yordania, Bahrain, Iran dan Libya. Suksesnya revolusi Tunisia dan Mesir menginspirasi proses konsolidasi oposisi dan gerakan radikal revolusioner.

Satu hal menarik dari peristiwa revolusi di Tunisia dan Mesir adalah pelibatan situs jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter sebagai alat persuasi, diseminasi, sekaligus konsolidasi kekuatan para demonstran.Salah seorang demonstran kenamaan Mesir yang juga eksekutif pemasaran Google,Wail Ghonim, secara tegas menyebut revolusi Mesir sebagai Revolusi 2.0.Hal ini mengingatkan intensifnya penggunaan web 2.0 dalam menciptakan dan mengintensifkan jejaring para demonstran.

Generasi Ketiga

Dilihat dari perspektif komunikasi politik, hal ini kian menunjukkan eksistensi generasi baru pemanfaatan internet secara intensif dan masif dalam politik. Satu dekade lalu, Blumler dan Kavanagh sebagaimana dikutip oleh Ward & Cahill dalam tulisan mereka, Old and New Media: Blogs in The Third Age of Political Communication,menyebut gejala ini sebagai era kemunculan komunikasi politik generasi ketiga.

Generasi pertama banyak memanfaatkan kekuatan face-to-face informal.Generasi kedua bersandar pada penguasaan media-media mainstream seperti televisi, koran, radio, majalah, dan lain-lain sehingga memunculkan adagium “siapa menguasai media maka akan menguasai dunia”. Generasi ketiga pada kekuatan interaktivitas dan basis multimedia yang memungkinkan orang saling bertautan tanpa harus bertemu secara fisik sebelumnya. Revolusi politik memang sudah banyak terjadi di berbagai belahan dunia.

Dalam banyak catatan sejarah, optimalnya sebuah gerakan revolusi biasanya karena ada musuh bersama. Sejarah mencatat,namanama seperti Ferdinand E Marcos (Filipina), Mobutu Sese Seko (RD Kongo), Manuel Antonio Noriega (Panama), dan Olusegun Obasanjo (Nigeria), Soeharto (Indonesia) Hosni Mubarak (Mesir), Ben Ali (Tunisia) telah sukses menjadi simbol musuh bersama di negaranya masing-masing. Selain itu, adanya massifikasi isu yang disebar oleh kaum penentang melalui berbagai saluran media massa.

Semua diktator seperti Marcos yang berkuasa di Filipina selama 21 tahun (1965-1986), Soeharto yang berkuasa 32 tahun di Indonesia (1965-1998), Hosni Mubarak yang berkuasa di Mesir 30 tahun dan Ben Ali yang berkuasa di Tunisia selama 23 tahun paham betul bahwa media massa berpengaruh besar sehingga mereka secara sistematis dan terencana menjadikan media sebagai ideological state apparatus (ISA). Kita bisa melihat contoh di Mesir, media cetak seperti Al Ahram, Al Akhbar, dan Al Jumhuriyah serta berbagai stasiun televisi dikendalikan oleh pengaruh Hosni Mubarak. Semula mereka menyebut para demonstran sebagai pengecut dan antek-antek asing. Baru setelah Hosni Mubarak terukur tumbang, media-media mainstream serempak berubah 180 derajat mendukung para demonstran.

Karena rawannya media maintream dikuasai oleh rezim diktator dan pemilik modal, media jejaring sosial menjadi saluran yang dianggap tanpa distorsi. Menurut data TechCrunch,Christopher Golda dari Backtype misalnya mencatat terdapat 28 tweet terkirim per detik pada Jumat (14/1) waktu Tunisia. Bahkan Twitter dan Facebook menjadi alat mobilisasi para demonstran. Di Mesir Wael Ghonim memulai gerakan oposisi di Facebook pada Juni 2010.Pada 6 Juni 2010,seorang blogger Mesir bernama Khaled Said tewas mengenaskan karena dianiaya polisi Mesir. Penyebabnya, Khaled mengunduh rekaman video yang memperlihatkan polisi tengah bagi-bagi mariyuana hasil penyitaan di lapangan.

Kematian Khaled memicu kohesivitas para pemakai internet lainnya.Saat itu Ghonim membuat akun Facebook”My Name is Khaled Said”.Kemudian Ghonim yang memiliki nama maya ElShaheed membuat akun Facebook baru bernama ”We are All Khaled Said”. Ghonim mengunggah foto-foto Khalid Said dan dalam sekejap Facebook itu memiliki 450.000 anggota. Di grup ”We are All Khaled Said” itu pula Ghonim merencanakan aksi demonstrasi pada 25 Januari. Apa yang digalang Ghonim dan facebookers lain memompa semangat para kaum muda berdemonstrasi di jalanan.

Jika revolusi di Cekoslovakia yang menumbangkan rezim Gust-v- Hus-k pada 1989 dikenal sebagai Revolusi Beludru,revolusi di Ukraina tahun 2004 yang melengserkan Leonid Danylovych Kuchma disebut sebagai Revolusi Oranye, maka revolusi di Mesir merujuk pada perkataan Wael Ghonim menyebut gerakannya sebagai Revolusi 2.0. David D Kirkpatrick dan David E Sanger di The New York Times (13/2) mengelaborasi peran sharing informasi di antara para aktivis demonstran Tunisia dan Mesir melalui Facebook. Dari berbagai strategi menghadapi dan bertahan dari serangan petugas keamanan di saat demonstrasi sampai teknik menghindari aksi mata-mata pemerintah.

Aktivis Cyber

Web 2.0 adalah sebuah penamaan yang diberikan terhadap perkembangan internet generasi kedua yang memungkinkan penggunanya berinteraksi melalui terbentuknya suatu hubungan dan sharing. Contoh web generasi ini adalah Facebook,YouTube,danWikipedia. Menurut Joseph R Dominic, dalam The Dynamics of Mass Communication (2009), internet generasi pertama atau web 1.0 hanya memungkinkan penggunanya sebagai konsumen dari konten internet, sedangkan pada internet generasi kedua para penggunanya bisa membuat atau berbagi konten. Singkatnya, web 1.0 bersifat statis, sementara web 2.0 bersifat dinamis. Interaksi pengguna dan web master tak lagi hanya satu arah.

Hampir keseluruhan sistem baru dari interaksi sosial sudah maju, mencakup really simple syndication (RSS feeds), dan penggunaan situs jejaring sosial.Kemungkinan untuk saling berinteraksi inilah yang menyebabkan terjadinya komunikasi intensif di antara sesama pengguna internet untuk tujuan politik seperti penggalangan demonstran. Proses ini yang dalam literatur komunikasi dikenal sebagai computer mediated communication (CMC) atau penggunaan komputer untuk menciptakan, menyampaikan, mengirimkan,menyebarkan, atau menerima pesan-pesan yang dari satu orang ke orang lain baik bersifat one-to-one, one-to-many, many-to-many. Efektivitas media jejaring sosial inilah,yang kemungkinannya tak disadari sejak awal oleh para penguasa diktator mengingat perkembangan teknologi yang tak familier di eranya.

Kemunculan aktivis yang memanfaatkan dunia cyber kian menguatkan potensi internet sebagai ruang publik baru yang sama pentingnya seperti Tiananmen Square dalam revolusi di China, Tahrir Square di Kairo Mesir, Semanggi dalam Reformasi 1998 di Indonesia, serta sejumlah tempat bersejarah lain.Sama-sama menyuarakan penentangan dan mobilisasi gerakan oposisi demi tumbangnya rezim otoritarian. Ada dua tipologi aktivis cyber dalam perubahan politik.Pertama, hacktivist dengan gerakannya yang dikenal sebagai hacktivism. Istilah ini dipopulerkan oleh Joel S Hirschhorn dalam Hacktivism for Cyber Democracy. Haktivisme ini merupakan kombinasi keterampilan pemrograman komputer, berpikir kritis, kemarahan, dan kemuakan atas sistem politik baik di sebuah negara atau transnasional.

Sosok seperti Julian Assange dan aktivis yang tergabung dalam Wikileaks disebut sebagai contoh tipe ini. Sejak 2006, Assange dkk membobol dan membocorkan dokumen-dokumen rahasia untuk memerangi korupsi dan rezim ketertutupan informasi. Kedua, adalah diseminator yang memosisikan diri sebagai fasilitator informasi politik untuk dibagi ke pihak lain. Harapannya, informasi yang diolah tersebut bisa merangsang berbagai partisipasi politik yang diharapkannya.Sosok Wael Ghonim di Mesir merupakan contoh representatif dari tipe ini.

Tren Revolusi 2.0 kini hinggap di Aljazair,Yaman,Yordania,Bahrain, Iran dan mungkin negara-negara lain. Ini memberi pesan bahwa internet akan terus merembes ke berbagai negara, apa pun bentuk rezimnya.(*)

Tulisan bisa diakses di web Harian Seputar Indonesia:

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/382772/

DISTORSI POLITIK MEDIA


Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Sinar Harapan, 9/2/2011)

Setiap 9 Februari selalu diperingati sebagai Hari Pers Nasional (HPN).

Tahun ini, puncak HPN ke-65 digelar di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Ini merupakan momentum tahunan bagi para jurnalis dan pelaku industri media untuk melakukan refleksi, pemetaan diri dan kelembagaan, penajam­an visi profesi, serta merumuskan berbagai formula inovatif dalam memosisikan peran dan fungsi pers di te­ngah dinamika masyarakat. Pers adalah sebuah keniscayaan dalam sistem demokrasi. Pers merupakan satu di antara kekuatan nyata infrastruktur politik yang selalu menyumbang perspektif di setiap penggal perjalanan bangsa dan negara ini.

Hierarki Pengaruh

Industri media dan profesi jurnalis yang ada di dalamnya senantiasa terlibat dalam dialektika penuh warna sepanjang masa. Hubungan media dan negara pun tak pernah berada di satu dimensi serupa. Pers kerap kali mengalami dilema untuk menentukan sikap, terutama saat jurnalis harus bernegosiasi dengan sejumlah faktor abadi kerja jurnalisme. Menurut Pamela J Shoemaker dan Stephen D Reese dalam bukunya Mediating the Message: Theories of Influence on Mass Media Content (1991:121), ada lima faktor yang biasanya membentuk hierarki pengaruh dalam media.

Pertama, individu pekerja media. Sesungguhnya para jurnalis ini sangat penting karena tak hanya berperan sebagai pembawa kabar, melainkan juga sebagai pengkonstruksi realitas sekaligus diseminator informasi. Oleh karenanya, sangat diperlukan kapasitas diri tak hanya di level kemampuan profesional, melainkan juga keteguhan moral dan kepekaan sosial. Sayangnya, hingga kini masih banyak media yang menutup mata dari keterjagaan profesi jurnalis mereka.

Problem mendasar yang hingga kini masih banyak ditemukan antara lain gaji yang tak memadai, lemahnya kesadaran inhouse training, dan kebijakan perekrutan yang tak mengacu pada kompetensi profesi. Jika kebutuhan dasar personal, profesional, dan moral tak terpenuhi, maka tentu akan merangsang tumbuh kembangnya jurnalis liar yang kerap berakrobat di lapangan. Hal ini seyogianya menjadi bahasan serius bagi para jurnalis dan pemilik media dalam rapat-rapat HPN tahun ini.

Kedua, rutinitas media yang terkait dengan ritme kerja dan publikasi informasi. Media-media konvensional seperti televisi, koran, majalah maupun tabloid memiliki tantangan baru dengan semakin dinamisnya new media. Akses situs jejaring sosial dan weblog interaktif memunculkan citizen journalism yang kian interaktif dengan para pencari dan pengguna informasi.

Media konvensional memang akan tetap bertahan. Jika rutinitas media ini sudah dipastikan kalah cepat dari media baru, tentu harus memiliki kelebihan di kedalaman dan keterjagaan kualitas informasi yang disajikannya. Era konvergensi teknologi selayaknya disikapi dengan tangkas, sehingga media massa akan tetap ada untuk memberi kontribusi positif bagi khalayak.

Ketiga, terkait dengan kebijakan organisasional. Hal paling krusial dalam industri media saat ini adalah kepemilikan (ownership). Indonesia sudah memasuki fase liberal media yang memungkinkan siapa pun pemilik modal besar untuk menguasai bisnis media. Fenomena yang menonjol beberapa tahun belakangan ini adalah kian intensifnya para politikus kita untuk menguasai media.

Kita bisa melihat secara gamblang, misalnya, pertarungan dua stasiun berita Metro TV dan TVOne yang tak semata urusan bisnis tetapi juga politik. Sejak Surya Paloh dan Abu Rizal Bakrie bertarung di konvensi Golkar hingga sekarang, rivalitas kedua sosok politikus ini pun tergambar nyata dalam seluruh ekspresi simbolik pemberitaan media mereka. Berita kerap menjadi bias dan sangat tendensius pada saat meng­angkat persoalan-persoalan yang memiliki irisan dengan para pemiliknya.

Keempat, adalah level ekstra media. Hal ini terkait biasanya dengan posisi peme­rintah dan kelompok kepenting­an. Media, sekali lagi merupakan entitas yang sa­ngat penting dalam sistem demokrasi. Oleh karenanya, dalam setiap perubahan era politik, media harus memosisikan dirinya secara tepat. Pemerintah kerap tergoda untuk mengkooptasi media jika kekuasaan bersifat hegemonik.

Sebaliknya, penguasa juga kerap berselingkuh de­ngan pengusaha media dalam penguasaan opini publik. Posisi media seyogianya tetap mengacu pada imparsialitas. Media menjadi alat kontrol yang efektif sekaligus public sphere yang berdayaguna. Di level inilah sering muncul skeptisme publik terhadap media. Masihkah media massa mampu menjaga peran politiknya dari residu kekuasaan atau kepentingan golongan?

Kelima, faktor ideologi yang dominan memengaruhi isi media. Saat ini, ideologi dominan tersebut tak lain adalah kapitalisme. Hukum pasar menjadi kenyataan sekaligus keniscayaan. Tantangan terbesar bagi para jurnalis dalam menyikapi hukum pasar adalah distorsi isi dan peran media hanya pada standar-standar ekonomi semata yakni keuntungan. Media kerap tak kuasa untuk menahan hasrat untung, meski harus mengorbankan idea­lisme dan profesionalitas.

Resonansi Politik

Kita tak menyangkal salah satu kekuatan media massa adalah membentuk realitas sosial. Gebner dalam buku Boyd-Barret, Approach to Media: a Reader (1995), memperkenalkan konsep resonansi. Hal ini terjadi saat media massa dan realitas sebenarnya menghasilkan koherensi yang powerfull di mana pesan media mengkultivasi secara signifikan. Ketika realitas media mirip dengan realitas sosial yang terjadi di ling­kungannya, proses resonansi itu berlaku.

Dalam konteks kekuataannya inilah media menjadi alat ampuh dalam pembentukan opini publik.

Dalam kajian komunikasi politik, operasi opini publik pada khalayak sama dahsyatnya seperti operasi militer. Dengan caranya yang halus, informasi merembes perlahan dalam kesadaran khalayak. Bahkan, media sangat mungkin menjadi alat ampuh untuk manipulasi keadaan serta pengendalian.

Hal yang paling penulis risaukan terkait peran jurnalis dan media massa ke depan adalah distorsi politik media. Akan semakin banyak godaan bagi jurnalis dan media untuk berperan dalam rivalitas politik menuju pergantian kepemimpinan nasional di tahun 2014. Berbagai manuver dan skenario politik sudah mulai digulirkan oleh para politikus. Kasus demi kasus dipublikasikan dan secara sistematis didesain untuk memancing kegaduhan publik.

Di tengah kontestasi antarkekuatan yang kian intensif inilah, politik media harus jelas dan tegas. Media bukan alat kekuasaan juga bukan alat politisasi. Meski kerap menjadi kelompok yang diam, khalayak sebenarnya akan mengevaluasi bagaimana institusi-institusi media berkiprah. Jadi, cepat atau lambat jika gratification sought (kepuasan yang dicari) khalayak tak ditemukan, media tersebut akan ditinggalkan.

Tulisan ini bisa diakses di web Sinar Harapan:

http://www.sinarharapan.co.id/berita/content_96/read/distorsi-politik-media/

Sumber gambar:

www.matanews.com

SKENARIO POLITIK HAK ANGKET PAJAK


Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Harian Jurnal Nasional, 8/2/2011)

DPR merupakan representasi paling nyata dari proses politik yang pekat dengan partarungan kepentingan. Senantiasa menjadi titik episentrum dari berbagai ledakan politik yang menimbulkan riakan bahkan gelombang opini publik.

Hal terbaru yang menjadi “mainan” baru para politisi Senayan adalah kembali digulirkannya inisiatif untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) hak angket mafia pajak. Sebuah skenario politik yang harus dibaca secara cermat agar kita tak selalu larut dalam euforia kohesivitas simbolik yang penuh kesia-siaan.

Pelajaran Century

Hiruk-pikuk bermula pada Senin, 21 Januari. Sebanyak 30 orang anggota DPR dari sembilan fraksi mengajukkan usulan pembentukan Pansus Angket Mafia Pajak kepada Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso. Namun, keesokan harinya, 8 orang angggota Fraksi Partai Demokrat menarik kembali dukungan dengan alasan persoalan pajak ini sudah ditangani panitia kerja (panja) yang dibentuk Komisi III dan Komisi XI.

Langkah Demokrat ini pun lantas diikuti Fraksi PKB dan PPP. Namun, kafilah pun tetap berlalu, para inisiator hak angket yang umumnya dari Golkar, PDI-P dan PKS menyerahkan usulan hak angket ini kepada pimpinan DPR, Rabu (2/2). Sebagaimana kita ketahui dalam tata tertib DPR hanya mensyaratkan 25 dukungan anggota DPR agar usul penggunaan hak angket dibicarakan di rapat paripurna.

Mungkinkah ruang publik kita akan kembali masuk ke pusaran skenario para politisi Senayan? Kita tentu ingat bagaimana hiruk-pikuk pembingkaian berita (news framing) media sejak hak angket Century disahkan DPR pada 1 Desember hingga Maret 2010 . Nyaris tak ada jeda, seluruh energi bangsa ini tersedot ke skandal Century, sehingga melahirkan euforia publik akan tuntasnya skandal ini. Tak berlebihan kiranya, jika kita menyebut kasus ini sebagai skandal berdampak sistemik! Banyak berita positif di negeri ini menjadi marginal dan terabaikan.

Jika kita bandingkan, ada tiga perbedaan mendasar terkait dengan modal utama bergulirnya hak angket kasus Century dan kasus mafia perpajakan. Pertama, hak angket Century mendapat dukungan luas di internal anggota DPR. Setelah Tim-9 meretas jalan, mayoritas anggota DPR termasuk dari Demokrat mendukung pembentukan Pansus, meskipun dengan motif yang berbeda-beda. Sementara hak angket pajak, jalan untuk bersepakat sepertinya akan sangat terjal mengingat terjadi kesenjangan komunikasi politik antar para inisiator dan fraksi-fraksi. Skeptisme atas inisiatif hak angket ini membesar karena kuatnya sinyal-sinyal skenario pragmatis di balik upaya pembentukan Pansus.

Kedua, dalam hak angket Century muncul dukungan eksplosif dari tokoh masyarakat, kelompok penekan (pressure group), serta kelompok kepentingan (interest group). Para inisiator hak angket Century saat itu sukses memberi kesan kepada publik bahwa upaya mereka direstui oleh para tokoh senior negeri ini. Sebut saja nama-nama seperti Gus Dur, Syafii Maarif, Din Syamsuddin, KH. Hasyim Muzadi, dll., yang secara gamblang menyatakan dukungan mereka atas upaya pengusutan kasus Century. Dukungan dari Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi (KOMPAK) dan organisasi intra maupun ekstra kampus pun sangat intensif.

Sementara dalam kasus hak angket mafia pajak, justru tak menunjukkan greget testimoni dukungan para tokoh. Tentu, bukan karena para tokoh tersebut tak menghendaki dibongkarnya jaringan mafia pajak, melainkan keragu-raguan atas itikad hakiki dari pembentukan hak angket mafia pajak ini. Benarkah para politisi Senayan mau mengungkap kasus secara tuntas, atau sekedar skenario yang akan berujung transaksi politik seperti lazimnya terjadi?

Ketiga, hak angket Century memiliki modal publisitas yang memadai dari media massa dan media jejaring sosial (social network). Kita melihat ada kecenderungan persepsi positif dari berbagai media massa baik cetak, elektronika maupun new media (internet) terkait dengan setiap pemberitaan mengenai hak angket Century ini. Modal opini publik ini tak bisa dianggap remeh, karena berbagai news framing yang dikemas dan didistribusikan oleh media berpengaruh dalam menaikan dan menurunkan citra seseorang atau sekelompok orang. Begitu pun kohesivitas dalam berbagai situs jejaring sosial seperti di Facebook dan Twitter cenderung lebih banyak mendukung hak angket Century.

Muncul fenomena konvergensi simbolik di antara sesama pengguna situs jejaring sosial hingga mereka lebih diperteguh untuk bersama-sama dalam gerakan memberi dukungan misalnya terlihat dalam grup Facebook “1.000.000 Pendukung Hak Angket Century”.

Sementara dalam pembentukan hak angket mafia pajak, nampaknya media lebih berhati-hati bahkan kerap mencurigai aroma politik di balik pembentukan hak angket ini. Diskursus di dunia maya pun nampak lesu, seolah menjadi penanda para partisipan dan aktivis cyberdemocracy di situs jejaring sosial tak lagi percaya pada prilaku para politisi Senayan.

Apa hasil nyata pansus Century? Yang menonjol ada dua, pertama lahirnya para selebritis baru dari Senayan, sebagai buah publisitas yang intensif dan masif. Kedua, tergusurnya Sri Mulyani Indrawati dari gelanggang. Golkar misalnya, sukses memainkan skenario Century yang membuat posisi tawarnya meroket sehingga bisa mencengkramkan taringnya di Setgab.

Hasil maksium yang dicapai hanyalah rekomendasi setengah hati, atau rujukan ke penegak hukum tanpa daya dorong memadai. Bola panas di lempar ke penegak hukum, lantas para politisi asik-ma’syuk dalam zona nyaman kesepakatan para elit. Inilah ironi yang menyayat hati, di saat rakyat berharap setinggi langit agar kasus Century menjadi terang benderang.

Mafia Pajak

Kita tentu tidak berharap darah segar bangsa dan negara ini dihisap terus oleh para mafia yang bergentayangan. Pergerakan mereka yang nyaris tak tersentuh harus dihentikan melalui kasus-kasus nyata yang kini terpapar di meja hukum. Jika seksama menapaki jejak rekam para pelaku lapangan seperti Gayus, bukan mustahil penegakan hukum bisa sampai ke para Godfather.

Lagi-lagi, di saat seperti inilah skenario politik biasanya menjadi alat ampuh pengendalian. Ada beberapa catatan kritis terkait dengan rencana pembentukan hak angket mafia pajak agar kita tak terkena “proyek lupa”.

Pertama, jangan sampai hak angket mafia pajak direduksi hanya sekedar pemenuhan hasrat pragmatis jangka pendek. Misalnya, hanya menskenariokan upaya pembubaran Satgas Mafia Pajak. Tak dimungkiri, ada irisan negatif di antara para personel Satgas Mafia Pajak dengan beberapa elit parpol. Namun, sungguh tak elok, jika DPR menurunkan derajat hak angket hanya untuk target seperti itu.

Kedua, kita tentu tak berharap skenario hak angket melahirkan gejala groupthink dalam tradisi para politisi partai di negeri ini. Gejala ini oleh Irving Janis dalam bukunya Groupthink: Psychological Studies of Policy Decisions and Fiascoes (1982) digambarkan sebagai kelompok yang memiliki tingkat kohesivitas tinggi yang seringkali gagal mengembangkan alternatif-alternatif tindakan yang mereka ambil. Para kader partai di Pansus sangat mungkin kembali ke tradisi lama yakni berpikir sama dan menghindari pemikiran berlawanan.

Hal ini, menyebabkan minimnya ide-ide yang tak populer atau tak serupa dengan elit utama di partai mereka. Jika pun ada yang berbeda, maka akan dilabeli sebagai penyimpang atau tak loyal pada garis kebijakan partai. Di level ini, kita patut mengingatkan agar hasrat membentuk pansus, jangan sampai karena kelatahan mengikuti keinginan para elit partainya. Terlebih, jika di antara mereka juga terkait dengan persoalan mafia pajak. Jangan sampai ada semangat kekitaan yang menyandera penegakan hukum melalui skenario politik.***

Tulisan ini bisa diakses di web Jurnas:

http://www.jurnalnasional.com/show/index/158546?rubrik=Opini

Sumber gambar:

www.matanews.com

PARADOKS KOMUNIKASI SBY


Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Sinar Harapan, 25/1/2011)

Inilah negeri yang tak pernah sepi dari paradoks. Setiap hari, beragam episode tersaji dalam bingkai media dan menjadi kegaduhan politik di ruang publik. Sejak Jumat (21/1), giliran pidato SBY pada Rapim TNI dan Polri yang mejadi sorotan tajam dan mengundang polemik, baik di media mainstream, situs jejaring sosial, maupun obrolan di pinggir jalan. Untuk kesekian kalinya, SBY membuat blunder dalam komunikasi politik di hadapan publik. Penggalan kalimat SBY bahwa gaji presiden belum naik selama enam atau tujuh tahun sontak mengundang reaksi keras dan dianggap tak pantas diucapkan di saat seperti sekarang.

Efek Bumerang

Satu hal yang seyogianya diingat SBY, bahwa sosok simbolik sang presiden kini disematkan dalam performa ritual dan sosial dirinya. Hal ini mewajibkan SBY selektif dalam mengeluarkan per­nyataan. Sisi personal SBY terkonstruksi utuh dalam jabatan dan kekuasaannya. Dia juga dibayangkan sebagai representasi sosok pemimpin dengan seribu satu harapan rakyatnya. Wajar jika apa pun pernyataan SBY akan mendapatkan perhatian khalayak luas, termasuk curahan hatinya sekalipun.

Jika dianalisis dari perspektif komunikasi politik, pidato SBY yang menyisipkan curhat kenaikan gaji itu telah melahirkan efek bumerang bagi kredibilitas sang Presiden.Memang, jika didengar utuh sesungguhnya pernyataan SBY itu dimaksudkan untuk tujuan komunikasi persuasif. Ada beberapa metode yang biasanya digunakan dalam komunikasi persuasif.

Pertama, icing device yang menitikberatkan pada sentuhan-sentuhan emosional. Dengan begitu, diharapkan dengan sentuhan emosional ini muncul empati dan kohesivitas kelompok yang kian solid. Kedua, pay off idea yang biasanya dilakukan dengan memberi harapan atau iming-iming. Misalnya kerap dilakukan dalam masa kampanye, di mana janji diumbar agar mendapatkan dukungan atau suara. Ketiga, fear erousener de­ngan cara menakut-nakuti, ancaman hukuman atau tekanan mental. Metode persuasi ini lazim kita temui saat kekuasaan mengarah ke sifatnya yang hegemonis atau otoriter.

Dalam konteks pidato SBY soal gaji yang tak pernah naik, tampaknya metode persuasi yang awalnya dimaksudkan adalah icing device. Kalimat SBY yang meminta untuk menyampaikan informasi ke seluruh jajaran TNI/Polri, bahwa gajinya tak naik selama enam atau tujuh tahun, dirangkai secara utuh dengan pernyataan bahwa hal tersebut telah menjadi niatan presiden. Dia ingin menunjukkan, bahwa upaya menyejahterakan prajurit TNI dan Polri bukanlah retorika, janji-janji kosong atau kebohongan semata-mata. Dengan demikian, makna pernyataan yang dibangun SBY sesungguhnya adalah sentuhan emosional dengan menciptakan kesan dirinya rela berkorban tak naik gaji, sebelum para prajurit TNI dan Polri mendapatkan kenaikan yang layak, tepat, dan adil.

Hanya saja, dalam praktiknya pernyataan SBY tersebut justru ditafsirkan secara berbeda, sehingga melahirkan efek bumerang yang tidak menguntungkan citra dan kredibilitas SBY. Respons publik di media massa massa, situs jejaring sosial, forum-forum diskusi, maupun beragam ajang perbincangan nyaris se­ragam, yakni curhat SBY soal gajinya yang tak pernah naik itu tak layak diumbar ke publik. Bahkan, di situs microblogging Twitter, para tweeps (pemilik akun Twitter) kini ramai menyindir SBY dengan menggalang gerakan ”Help Salary Presiden”. Lelucon de­ngan lontaran ide menggalang koin untuk presiden.

Tentu saja kita masih ingat gerakan koin untuk Prita Mulyasari yang sempat heboh di tahun 2010. Saat itu, masyarakat dengan sukarela dan penuh antusiasme me­nyisihkan koin-koin uang mereka untuk membantu Prita yang sedang kesulitan menghadapi RS Omni Internasional. Kritik lucu tapi cerdas “koin untuk presiden” ini tentu saja bukan eskpresi kohesivitas masyarakat. Sebaliknya, ini justru ekspresi kekesalan bahkan mungkin kemuakan atas curhat SBY yang kurang perhitungan.

Respons Publik

Ada beberapa faktor yang menjadi alasan mengapa respons publik sangat negatif terhadap curhatnya SBY. Pertama, curhat SBY telanjur ditangkap sebagai sinyal ketidakpekaan atas kenyataan sosial di mana kaum papa ada di mana-mana, bahkan kerap kali melampaui angka-angka statistik versi pemerintah. Curhat lantas dianggap sebagai keluhan bahkan kecengengan. Padahal, masyarakat pun tahu kalau gaji Presiden RI itu sebesar Rp 62 juta plus dana taktis yang bisa dipergunakan sebesar 2 miliar. Tentu saja, menjadi sangat ironi jika dengan gaji dan dana taktis sebesar itu, sang Presiden masih curhat soal gajinya yang tak naik selama enam atau tujuh tahun.

Meminjam konstruksi berpikir teori Manajemen Privasi Komunikasi dari Petronio dalam bukunya Boundaries of Privacy: Dialectics of Disclousure (2002), kita membuat pilihan dan peraturan mengenai apa yang harus dikatakan, dan apa yang harus disimpan dari orang lain berdasarkan “kalkulus mental” dengan mempertimbangkan kriteria penting tidaknya sesuatu yang mau kita sampaikan. Sah-sah saja SBY curhat pada rakyatnya, namun harus jelas bobot isu yang dibicarakan, sehingga tak menyisakan tanya, mengapa seorang Presiden mau menjerembabkan diri pada kubang­an isu yang artifisial dan memuakkan rakyat Indonesia.

Kedua, curhat soal gaji muncul di tengah kredibilitas pemerintah yang melemah. Akhir-akhir ini, perhatian publik masuk secara bersama-sama dalam pusaran kasus Gayus. Masyarakat merasakan kuatnya cengkeraman para Godfather dalam kasus ini. Praktik mafia hukum dan mafia perpajakan nyaris sempurna terpapar di muka khalayak.

Situasi ini tak hanya menyesakkan, tetapi juga melahirkan frustrasi masif karena pemerintah nampak tak serius mengungkap kasus ini secara tuntas. Wajar, jika rakyat menjadi sensitif dan tersakiti saat pemimpinnya tak menunjukkan prestasi meng­ungkap kasus Gayus, yang ada malah curhat soal gaji yang sejatinya merupakan kepenting­an perseorangan.

Ketiga, opini publik yang liar seputar curhat SBY, tentu juga menjadi santapan empuk para lawan politiknya. Sebagaimana kita ketahui, tak ada opini publik yang tak dikonstruksi. Dalam konteks inilah politisasi mendapatkan momentum dan sukses menghajar citra sang presiden. Sulit menghindari keseharian SBY yang tanpa politisasi. Namun, dengan curhat yang semena-mena seperti soal kenaikan gaji ini, maka politisasi akan menjadi-jadi. SBY tentu manusia biasa yang berhak curhat, namun sang Presiden tentu harus berkomunikasi secara terukur dan tak melukai rakyat yang telah memercayainya.

Penulis adalah Kandidat Doktor Komunikasi Politik Unpad dan Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute.

Tulisan ini bisa diakses di web Sinarharapan:

http://www.sinarharapan.co.id/berita/content/read/paradoks-komunikasi-sby/

KOMPLIKASI TAHUN POLITIK


Oleh: Gun Gun Heryanto
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Harian Jurnal Nasional, 24/1/2011)

MOMENTUM pergantian kepemimpinan nasional baru akan berlangsung 2014. Namun gegap gempita rivalitas politik sudah membahana mulai dini. Jika diamati berbagai tingkah pola para politisi menampakkan jelas birahi kekuasaan yang kian menggelegak. Mereka terus mencari panggung mempertontonkan teater politik di hadapan publik. Tahun 2011 pun bisa dilabeli sebagai tahun politik, karena berbagai kekuatan secara nyata mulai berhadap-hadapan. Prematurkah kontestasi ini? Jika dilihat dari keadaban publik, wajar jika menilai prematur. Sebab, sekarang ini saatnya para elit bersinergi mengoptimalkan kinerja dalam membangun Indonesia lebih baik.

Penyakit Lama

Istilah komplikasi jika merujuk ke dunia kesehatan kerap diartikan sebagai pencampuran beragam penyakit secara bersamaan karena muncul penyakit baru yang menambah penyakit lama. Komplikasi bisa berarti pencampuran kusut dan rumit dari berbagai hal. Dalam konteks politik tahun 2011, kita melihat sejumlah faktor baru bisa menjadi katalisator komplikasi politik di Indonesia. Faktor-faktor baru ini bercampuraduk dengan penyakit politik yang sudah ada. Hingga meningkatkan stadium sakit bangsa dan negara ini. Jika tak diwaspadai, bukan mustahil akan menyebabkan pembusukan politik (political decay) yang dapat mengakibatkan kegagalan sebuah negara.

Penulis mendeteksi sejumlah penyakit lama bersemayam dalam praktik politik di negri ini. Pertama, kian akut demokrasi kolusif (collusive democracy). Majalah The Economist pada 23 Oktober 2010, dalam laporan yang berjudul SBY's Feet of Clay mengutip Harvard Kennedy School: Ash Center for Democratic Governance and Innovation telah mempopulerkan kembali terminologi dan praktik demokrasi kolusif di Indonesia.

Demokrasi kolusif mengacu kepada perilaku politik yang lebih memilih 'ko-opsi' dan konsensus daripada kompetisi politik secara fair. Penanda nyata demokrasi kolusif nampak dalam akomodasi politik di kabinet sebagai wujud pengaturan keseimbangan yang sangat hati-hati. Hampir tiada parpol oposisi yang efektif di parlemen, dan hubungan promiscuous (sering gonta-ganti pasangan) di dalam aliansi-aliansi politik yang ada. Hubungan promiscuous ini memiliki residu yakni aliansi politik yang tidak tidak pernah mapan.

Parpol-parpol yang tergabung dalam aliansi sangat mudah berubah arah. Hingga, kita kerap mendapatkan perilaku parpol pendukung pemerintah bercitarasa oposisi. Hal lain sangat krusial dalam aliansi parpol adalah akar konsolidasi yang sangat rapuh. Aliansi dibangun semata-mata karena pertimbangan jangka pendek, tanpa basis kesamaan ideologis serta kerap mengingkari konstituen mereka. Hasilnya, pemerintah yang terbentuk tak lagi leluasa menciptakan prestasi karena akan disibukkan dengan berbagai pilihan strategi kolaborasi, akomodasi atau kompromi dengan kekuatan-kekuatan lain. Inilah penyakit lama pasca reformasi yang tak kunjung sembuh hingga sekarang. Muncul upaya saling sandera atas sejumlah persoalan dan kelemahan lawan. Hingga orientasi tindakan politik akan saling bertemu dalam misi penyelamatan kepentingan masing-masing.

Kedua, tunduknya sistem dalam hegemoni para politisi. Posisi ini kerap menimbulkan paradoks dalam praktik sosial, politik, ekonomi, hukum dan lain-lain. Negara demokrasi baik, biasanya menempatkan sistem kuat dan mampu mengatasi fragmentasi kekuatan politik. Sebab, memiliki prinsip-prinsip yang dijalankan secara kredibel, konsisten dan berdayaguna.

Penyakit lama negeri ini, sistem secara sengaja ditundukkan dan dimandulkan oleh perselingkuhan abadi para pengusaha dan penguasa. Para pemilik kapital dan pemangku otoritas berkolaborasi dalam mengamankan sejumlah proyek “bancakan”. Politik lantas disulap menjadi alat ampuh pengendalian bahkan manipulasi. Misal, pada kasus mafia pajak dan mafia hukum dalam skandal Gayus. Politik sangat ampuh dijadikan alat transaksi para pengusaha hitam yang menjadi Godfather tak tersentuh di belakang Gayus. Praktik perselingkuhan ini terus terjadi sejak era Orde Baru hingga sekarang. Layaknya kerja para mafioso, mereka sangat sulit diseret ke pengadilan karena sistem penegakkan hukum pun tak luput dari cengkraman kekuasaan ekonomi-politik para Godfather.

Katalisator

Kini, penyakit-penyakit menahun dalam politik negeri ini telah bercampur dengan sejumlah faktor dinamis yang bermunculan bak cendawan di musim hujan. Akibatnya, komplikasi politik menjadi kenyataan tak terhindarkan. Paling tidak ada tiga faktor utama yang bisa menjadi katalisator komplikasi politik di tahun ini. Pertama, terkait “gairah nakal” para politisi petualang, sedari awal memang mencari momentum dan rujukan hukum untuk mencari kartu truf dalam transaksi politik dengan kekuasaan SBY. Misal, dengan memainkan peluang pemakzulan (impeachment). Para politisi petualang ini, kini sibuk hitung-hitungan politik terutama pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan permohonan penghapusan Pasal 184 ayat 4 UU No 27/2009 tentang MRP,DPR, DPD dan DPRD yang lazim disingkat UU MD3.

Bagaimanapun putusan MK ini sesunggunya sudah tepat dan layak diapresiasi. Alasannya sangat kuat, dimana UU tak mungkin bertentangan dengan konstitusi. Dalam Pasal 7B ayat (3) dan UUD 1945 dinyatakan hak menyatakan pendapat cukup dengan dukungan 2/3 anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 jumlah anggota DPR. Pasal 184 ayat 4 UU No 27/2009 mensyaratkan 3/4 dari jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 3/4 dari jumlah anggota DPR hadir.

Tentu, putusan MK ini memiliki implikasi politis. Hal positif adalah menguatnya posisi DPR terutama dalam fungsi kontrol. Karena sekarang hak menyatakan pendapat (HMP) bukan lagi hal mustahil. Jika dimanfaatkan bagi penguatan fungsi legislatif, tentu hal sangat positif. Namun, putusan MK juga tak dapat menghilangkan begitu saja residu negatif bawaan para politisi petualang. Yakni, rangsangan menekan pemerintah SBY-Boediono dengan momok impeachment. Jalan pemakzulan SBY-Boediono tidaklah semudah membalik tangan. Harus ada pembuktian atas sejumlah syarat pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain, atau perbuatan tercela, dan atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Memang, ada potensi komplikasi politik dari berbagai manuver yang bertebaran sekarang. Tentu, penulis berharap DPR memiliki posisi kuat, tetapi juga pesimis para politisi yang ada bisa mengoptimalkan peran mereka berkhidmat pada kepentingan rakyat. Justru, yang dikhawatirkan akan muncul transaksi-transaki baru dengan memanfaatkan secara serampangan peluang impeachment ini.

Kedua, mumi Century berpotensi menimbulkan komplikasi politik. Mega skandal Century yang sangat diharapkan publik memperoleh titik terang dengan sangat mahir “digoreng” oleh para politisi untuk menjadi komoditas politik. Kita tentu masih ingat pasca Sri Mulyani, Mantan Menteri Keuangan dikorbankan dan Setgab terbentuk, kasus Century perlahan menepi. Kasusnya tak dihapus, melainkan dimumikan! Hingga, skandal ini tetap utuh dalam balutan kebohongan para elit dan sewaktu-waktu bisa dipanggil kembali untuk menjadi alat penekan. Tahun ini, bola liar Century tampak akan kembali bergulir dan mengemuka di berbagai liputan media.

Ketiga, terkait paket UU Politik. Komplikasi sangat mungkin terjadi karena masing-masing kekuatan bukan berpikir membuat sebuah regulasi yang komprehensif. Melainkan lebih pada investasi menguntungkan parpol masing-masing. **

Tulisan ini bisa diakses di web Harian Jurnal Nasional:

http://www.jurnalnasional.com/show/newspaper?berita=156799&pagecomment=1&rubrik=Opini

Sumber gambar:

www.inilah.com

MENAKAR KONSOLIDASI PARPOL


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Harian Seputar Indonesia, 19/1/2011)

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menuntaskan satu di antara bahasan paket Undang-Undang (UU) Politik yakni berkaitan dengan revisi atas UU No 2/2008 tentang Partai Politik.

Aturan main tentang parpol ini kini tertuang dalam UU No 51/2010. Hingga kini undang-undang ini masih melahirkan reaksi keras terutama dari kalangan parpol kecil yang merasa terancam keberadaannya. Meski demikian, seiring dengan pengesahan undang-undang itu,muncul juga fenomena konsolidasi kekuatan politik dari parpolparpol kecil untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan yang akan datang.

Perbaikan Parpol

Tujuh belas parpol kecil yang tergabung dalam Forum Persatuan Nasional (FPN) menganggap pengesahan undang-undang parpol ini tidak demokratis. Sejumlah aturan main dianggap secara sengaja telah “membunuh” parpol nonparlemen. Dinamikanya, kini mereka berupaya melakukan perlawanan hukum melalui judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Benarkah terjadi pembunuhan sistemik parpol kecil?

Tentu saja, pandangan ini tidak tepat.Upaya pengetatan aturan sesungguhnya menjadi keniscayaan jika kita berkeinginan memperbaiki kualitas sistem kepartaian. Di UU Parpol hasil revisi ini muncul sejumlah pengetatan aturan antara lain berkenaan verifikasi parpol baru maupun lama. Proses verifikasi oleh Kementerian Hukum dan HAM harus selesai 2,5 tahun sebelum pelaksanaan pemilu.

Artinya, sejak 17 Januari hingga paling lambat Agustus 2011,verifikasi harus sudah usai.Parpol yang tak siap memenuhi syarat-syarat yang diminta tak akan bisa menjadi kontestan pemilu. Misalnya, parpol harus memiliki kepengurusan di seluruh provinsi,75% kabupaten/ kota, serta minimal 50% kecamatan di seluruh Indonesia. Partai harus didirikan dan dibentuk oleh 30 orang serta didaftarkan minimal oleh 50 orang.

Sesungguhnya, jika dibaca dalam konteks perbaikan kualitas kepartaian dan perbaikan pemilu, waktu verifikasi 2,5 tahun sebelum hari H pemilu itu sudah tepat. Karut-marut verifikasi parpol menyumbang pada kekalutan persiapan penyelenggaraan pemilu secara keseluruhan. Bagi parpolparpol kecil,terdapat waktu untuk melakukan hitung-hitungan politik, apakah mereka sesungguhnya siap atau tidak menjadi kontestan pemilu.

Jika ternyata tak siap, cukup memberi kesempatan untuk menempuh strategi lain seperti melakukan agregasi kepentingan politiknya melalui parpol besar atau memutuskan penggabungan diri ke dalam kekuatan baru yang ditopang sejumlah parpol kecil yang saling memiliki kecocokan. Begitu pun bagi penyelenggara pemilu, jika verifikasi parpol sudah bisa diselesaikan jauh-jauh hari, mereka bisa fokus pada persiapan- persiapan lain.

Problem Pemilu 2009 dan sebelumnya, prokontra atas keikutsertaan parpol peserta pemilu, telah mengurangi fokus bahkan memiliki efek domino pada ketidakberesan persiapan lain yang sama pentingnya. Sebenarnya, ada dua hal yang harus dipertimbangkan oleh partai- partai kecil yang saat ini ada.

Pertama, pengetatan aturan main tentang parpol di UU No 51/2010 sepertinya sangat berat untuk direalisasikan parpol-parpol kecil terlebih jika parpolnya baru didirikan belakangan ini.Kedua,parpol kecil juga harus mempertimbangkan aturan lain yang sama beratnya ke depan, yakni terkait rencana kenaikan parliamentary threshold (PT) dari 2,5% ke angka yang lebih tinggi lagi.

Pasal 202 ayat (1) UU No 10/2008 tentang Pemilu Legislatif mengharuskan parpol yang tak memperoleh suara minimal 2,5% tak berhak mempunyai perwakilan di DPR. Sementara dalam pembahasan atas revisi UU No 10/2008 ini,wacana yang menguat adalah menaikkan angka PT meski besarannya belum disepakati di DPR.

Strategi Alternatif

Menjawab tantangan ini, parpol- parpol kecil sepertinya sudah mulai membuat strategi alternatif. Hal ini dapat kita baca melalui rencana 12 parpol dari 17 parpol kecil yang mengonsolidasikan diri di Forum Persatuan Nasional (FPN). Selain melakukan judicial review ke MK, mereka juga berencana menjajaki ada fusi parpol pada awal 2011.

Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Damai Sejahtera (PDS),Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI),Partai Persatuan Daerah (PPD),Partai Patriot,Partai Pemuda Indonesia (PPI).Selain itu, juga terdapat Partai Pelopor, Partai Kasih Demokrasi Indonesia (PKDI),Partai Indonesia Sejahtera (PIS),Partai Perjuangan Indonesia Baru (PIB), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Sementara lima parpol lainnya yang belum menyepakati rencana fusi adalah Partai Bintang Reformasi (PBR), Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK), Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN),Partai Matahari Bangsa (PMB),dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Dalam format fusi, parpol-parpol kecil itu akan melebur ke dalam wadah sekaligus identitas baru.

Fusi parpol ini pernah kita alami melalui ketetapan UU No 3/1975. PPP adalah hasil fusi dari Partai NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Sedangkan PDI merupakan hasil penggabungan dari PNI,Parkindo, Partai Katolik, IPKI, dan Murba. Seluruh satuan kekaryaan bergabung ke dalam Golongan Karya. Hanya,bedanya saat itu fusi dipaksakan oleh rezim Soeharto sebagai bagian dari korporatisme politik, sementara sekarang lebih karena pertimbangan strategis untuk mengantisipasi aturan main yang telah disahkan.

Tantangan terbesar dalam rencana fusi parpol-parpol kecil sekarang ini adalah pada kearifan politik elite mereka. Mampukah mereka melampaui fragmentasi kekuatan politik yang saat ini cair dan beragam? Hal tersulit adalah penyatuan secara formal organisasional dari mereka yang sebelumnya terpisah baik platform maupun kepentingannya masingmasing. Egoisme pragmatis kelompok harus ditekan sekaligus mengedepankan rasionalitas dalam hitung-hitungan politik ke depan.

Titik krusialnya adalah konsensus politik yang harus diformalkan dalam identitas baru jika memang menjadikan format fusi sebagai pilihan. Ide fusi ini sebenarnya sulit direalisasikan mengingat track record para elite parpol kita yang teramat sulit menyatu dalam satu wadah baru hasil peleburan faksifaksi yang sangat beragam di dalamnya.

Karena itu, parpol-parpol kecil juga seyogianya memikirkan alternatif lain selain fusi misalnya ide berkonfederasi dengan parpol besar yang memiliki irisan baik di level ideologi maupun platform partai. Proses konfederasi idealnya dilakukan sebelum pemilu sehingga parpol-parpol kecil itu tak perlu “berdarah-darah” memaksakan diri maju sebagai kontestan pemilu, tapi mengagregasi kepentingan mereka dengan parpol besar atau menengah yang dirasa cocok dengan mereka.

Hal ini pun memang butuh proses komunikasi politik yang tak mudah,namun lebih realistis dibanding peleburan identitas partai-partai secara formal dan struktural. Konsolidasi kekuatan parpol sekali lagi diperlukan untuk memperkuat sistem kepartaian kita. Karena itu,Kementrian Hukum dan HAM yang akan melakukan verifikasi juga harus serius. Jangan sampai aturan-aturan yang telah ditetapkan dilanggar atau diakali karena berbagai deal politik dan ketidaksiapan pemerintah.

Satu hal yang harus diberi catatan kritis adalah rencana Kementerian Hukum dan HAM yang hanya akan memverifikasi dokumen yang diajukan parpol dan tak akan melakukan verifikasi lapangan. Alasan untuk tidak ke lapangan sangat sederhana,yakni pekerjaan ini membuat capek dan mahal!

Tentu saja alasan ini menjadi rancu dan tak memiliki basis rasionalitas substantif dalam memandang verifikasi sebagai tindakan meneliti kelengkapan dan kebenaran syarat parpol.Kita tentu berharap tak lagi muncul akal-akalan dalam implementasi pengetatan syarat parpol karena hal ini akan menjadi godaan bagi parpol-parpol kecil yang akan berkonsolidasi untuk kembali ngotot menjadi kontestan pemilu.(*)

Tulisan ini bisa diakses di web Harian Seputar Indonesia:

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/376796/

Sumber Gambar:

www.matanews.com

DAMPAK POLITIS PUTUSAN MK


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Sinar Harapan, 14/1/2011)

DI tengah hiruk-pikuk soal kasus Gayus, muncul berita mengejutkan dari Mahkamah Konstitusi (MK).

Hal ini terkait dengan langkah MK mengabulkan permohonan penghapusan Pasal 184 Ayat 4 UU No 27/2009 tentang MRP, DPR, DPD dan DPRD yang lazim disingkat UU MD3.

Sebagaimana diketahui, April 2010, Bambang Soesatyo (Golkar), Lily Wahid (PKB), dan Akbar Faisal (Hanura) memasukkan permohonan pembatalan Pasal 184 Ayat 4 UU MD3 tersebut. Permohonan tersebut dika­bulkan MK, Rabu (12/1), dan tentu akan melahirkan dinamika baru tak hanya di ranah hukum, melainkan juga politik. SBY, Partai Demokrat, dan berbagai kekuatan politik lainnya akan sibuk melakukan hitung-hitungan ulang sekaligus berupaya memosisikan putusan tersebut dalam konstelasi politik ke depan.

Pemetaan Politik

Keputusan MK memang sudah tepat terutama jika menjadikan UUD 1945 sebagai rujukan. Secara nyata terdapat paradoks antara aturan main yang ada di UU dan yang tertera di konstitusi kita UUD 1945. Dalam Pasal 184 Ayat 4 UU No 27/2009 dinyatakan “usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak menyatakan pendapat DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri paling sedikit 3/4 dari jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 3/4 dari jumlah anggota DPR yang hadir.”

Hal ini secara terang benderang bertentangan dengan Pasal 7B Ayat (3) dan UUD 1945. Di pasal tersebut di­nyatakan bahwa hak me­nyatakan pendapat cukup de­ngan dukungan 2/3 anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 jumlah anggota DPR. Sebagai gambaran, mari kita komparasikan juga dengan isi Ayat (7) Pasal 7B UUD 1945 yang menyatakan bahwa Keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR. Dengan memosisikan konstitusi UUD 1945 sebagai rujukan tentunya keputusan MK ini sulit terbantahkan.

Dampak utama dari keputusan MK ini tentu saja adalah tekanan bagi kekuasaan SBY. Mengingat substansi pasal ini terkait dengan momok pemakzulan (impeachment) yang sangat dikhawatirkan akan mengganggu kenyamanan kekuasaan SBY periode kedua. Sebelum keputusan MK ini ada, kekuasaan SBY nyaris tak tersentuh dari serang­an pemakzulan. Selain modal dasar kursi Partai Demokrat, SBY juga merasa aman dengan dukungan PKS, PAN, PKB, PPP, dan Partai Golkar. Sebelumnya, syarat kuorum agar hak menyatakan pendapat itu lolos ialah dukungan dari 3/4 atau 420 anggota DPR. Namun, dengan dikabulkannya uji materi oleh MK, kuorum proses pemakzulan presiden/wakil presiden hanya membutuhkan 2/3 atau 373 anggota dewan. Pemakzulan memang bukan sesuatu yang mudah karena hak menyatakan pendapat yang menduga presiden atau wakil presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun per­buatan tercela, membutuhkan rangkaian proses hukum dan politik. Hanya saja, kini pemakzulan bukan lagi sesuatu yang tak mungkin dilakukan.

Efek Domino

Sebagai putusan hukum yang memiliki implikasi politis, tentu putusan MK ini memiliki residu politik yang harus diantisipasi. Residu bawaan yang tak terhindarkan adalah merangsang “gairah nakal” para politikus petualang. Dengan kembali adanya peluang untuk melakukan pemakzulan presiden maupun wakil presiden, sangat mungkin dijadikan amunisi baru untuk jual beli kasus. Sudah menjadi pengetahuan umum, saat ini deretan kasus mengantre di penegak hukum. Misalnya, kasus mega skandal Century, kasus mafia pajak yang melibatkan Gayus, kasus Susno Duadji, dan sejumlah kasus lain.

Tak dipungkiri, sejumlah kasus itu memiliki irisan politik dengan orang atau sekelompok orang di partai politik. Berbagai kartu truf dikeluarkan para politikus untuk sama-sama mengamankan zona berbahaya yang mengancam kekuasaan mereka. Konfigurasi kekuasaan politik kita memang karut-marut. Tak cukup jelas, mana partai koalisi pendukung pemerintah dan mana yang benar-benar oposisi.

Sehingga, kita kerap menemukan jejak partai koalisi yang bercita rasa oposisi seperti dalam kasus Century. Sangat mungkin, peluang pemakzulan ini dimanfaatkan untuk menyandera sejumlah masalah yang melilit elite dalam praktik demokrasi kolusif.

Ciri menonjol pemerintahan SBY periode kedua adalah kekuasaan yang dibangun atas dasar koalisi besar. Tujuannya adalah meminimalkan konflik dan mereduksi kekuatan oposisi. Asumsi SBY, dengan koa­lisi enam parpol di parlemen sekaligus konsolidasi kekuatan di Sekretariat Gabungan (Setgab) telah menjadi garansi bagi kekuasaannya hingga 2014. Hanya saja, dinamikanya tidak demikian, sejumlah kasus membuat Setgab “me­riang”. Terjadi sejumlah iritasi komunikasi di antara partai-partai pendukung pemerintah yang bergabung di Setgab akibat pertentangan kepentingan yang menyeret kekuasaan ke dalam transaksi-transaksi elite, meski jauh dari harapan publik.

Namun demikian, putusan MK ini sepatutnya kita lihat dari sisi positifnya yakni menumbuhkan optimisme perimbangan kekuasaan yang kembali akan mendapatkan tempat. Pemerintahan SBY-Boediono telah mengantongi modal politik memadai karena memenangi pemilu. Celakanya, alih-alih menciptakan zaken kabinet, yang ada justru obesitas birokrasi sekaligus menjadi penampungan sejumlah orang parpol. Sangat sulit memosisikan pendapat rakyat dalam fragmentasi kekuasaan politik yang hegemonik seperti sekarang.

Pemerintah tak bisa di­ingatkan karena tak cukup alat kendali yang efektif untuk mengevaluasi kinerja pemerintahan. Dengan putusan MK ini, tentunya DPR harus meng­optimalkan fungsi kontrol mereka terutama jika presiden dan wakil presiden melanggar aturan main yang disepakati dalam berbagai regulasi. Dialektika relasional antara DPR dengan pemerintah pascaputusan MK ini seyogianya bermanfaat untuk memper­kuat sistem dan struktur politik kita.

Tulisan ini bisa diakses di web Sinarharapan:

http://www.sinarharapan.co.id/berita/content/read/dampak-politis-putusan-mk/

Sumber gambar: www.flickr.com

POLEMIK GEDUNG DPR


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di PIkiran Rakyat, 11/1/2011)

Memulai tahun 2011 DPR langsung membuat gebrakan. Bukan prestasi seputar legislasi bukan pula soal optimalisasi fungsi pengawasan dan anggaran, melainkan isu lama yang hidupkan lagi, yakni pembangunan gedung baru DPR. Gedung baru 36 lantai ini, rencananya akan menyedot APBN kurang lebih 1,3 triliun. Sementara dana tahap awalnya akan digelontorkan dari APBN 2011 sebesar 800 miliar.

Argumentasinya tetap mengacu pada over kapasitas gedung DPR yang ada, terutama jika menampung para anggota DPR plus tenaga ahli alat kelengkapannya. Hal baru yang cukup membuat kita terheran-heran adalah padunya suara para politisi senayan lintas fraksi, sehingga kebijakan pembangunan gedung mewah itu kian bulat menjelma menjadi kebijakan dewan. Jika tak ada aral melintang, maka dalam masa persidangan III tahun sidang 2010-2011 yang akan berlangsung pertengahan Januari, rencana ini intensif dibahas.

Inilah strategi “mundur satu langkah untuk maju seribu langkah” dari para politisi yang konon klaimnya adalah wakil rakyat. Setelah diguncang kerasnya resistensi opini publik yang memuncak di bulan September-Oktober 2010, DPR mengendapkan usulan. Media massa saat itu menjadi saluran ampuh dalam menyuarakan protes masyarakat. Masifikasi penentangan, membuat benteng pertahanan DPR goyah. Dari pola bertahan, menjadi akomodatif dan akhirnya terpaksa kompromistis dengan suara pemilik mandat, yakni rakyat Indonesia.

Itu tentunya cerita lama, dinamikanya kini DPR kembali tampil percaya diri. Persis seperti pemain bola yang baru bangkit dari cidera, pergerakannya gesit dan jika tak diantisipasi akan leluasa mengembangkan permainan. Ada beberapa hal yang sudah semestinya mendapat perhatian masyarakat seiring dengan pembahasan kembali rencana ini.

Pertama, menyangkut besaran anggaran. 1,3 Triliun masih merupakan angka yang fantastis! Saat menunda rencana pembangunan gedung baru DPR di akhir 2010 lalu, DPR menjanjikan akan meninjau ulang skema anggaran yang terkesan tak miliki sense of crisis. Saat itu, usulannya berkisar di angka 1,8 triliun dengan ornamen segala fasilitas yang tak terkait langsung dengan efektivitas kerja-kerja DPR. Penurunan angka ke 1,3 triliun juga masih menunjukkan belum signifikannya peninjauan ulang tersebut.

Tentu, kita harus menyadari betul bahwa APBN kita masih harus terbebani oleh cicilan hutang pemerintah sebesar 100 triliun per tahun dari perkiraan hutang di 2010 yang mencapai kurang lebih 1.878 triliun. Satu keharusan di saat APBN kita terbebani cicilan hutang, adalah penghematan agar pemerintah punya daya dalam menyelaraskan laju birokrasinya. Mengeluarkan anggaran di atas 1 triliun untuk gedung baru, tentu saja tak mendukung pencanangan program efisiensi tadi.

Kedua, rencana ini dapat menciptakan communication gap antara para politisi Senayan dengan rakyat. Satu asumsi yang dapat kita rasakan adalah DPR tidak menunjukkan auranya sebagai wakil rakyat, akan tetapi lebih menyerupai suara kaum “bangsawan” senayan. Konsep perwakilan kita tentu bukan mengacu pada versi John Locke (1632-1704). Locke dalam karyanya Two Treatises of Government menyatakan legislatif merupakan lembaga perwakilan masyarakat, hanya saja masyarakat yang dimaksud adalah kaum bangsawan. DPR sebagai wakil rakyat tentunya merujuk pada perspektif Secondat de Montesquieu. Dalam karyanya Spirits of the Laws, Montesquieu menekankan legislatif sebagai lembaga perwakilan rakyat yang sedari awal dibuat guna menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat secara keseluruhan, termasuk rakyat jelata.

Tentu, aspirasi masyarakat atas rencana pembangunan gedung baru itu sudah sangat jelas, yakni menolak rumah rakyat dijadikan monumen keangkuhan para “bangsawan” Senayan. Resistensi masyarakat tentunya sangat beralasan.

Pertama, dalam rencana pembangunan gedung baru beberapa waktu lalu, yang menonjol adalah berbagai fasilitas yang tak terlampau relevan dengan fungsi kerja dewan. Seharusnya jika pun rencana ini mau tetap dihidupkan kembali sekarang, hal pertama yang mestinya dijelaskan Ketua DPR yang sekaligus menjabat sebagai Ketua Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) ialah fasilitas-fasilitas apa saja yang logis dan mendesak dimiliki sehingga nantinya dapat dirasakan oleh masyarakat.

Tentu, hal ini penting disampaikan mengingat hakekat dasar gedung DPR sebagai rumah rakyat. Misalnya ruang hearing yang representatif, public sphere untuk penyampaian aspirasi yang memadai dan tak mengganggu fasilitas jalan umum, penguatan perpustakaan dewan demi keunggulan berbagai draft-draft legislasi yang disusun oleh badan legislasi beserta staf ahlinya. Jika Marzuki Ali, saat jumpa wartawan, Jum’at (7/1) itu menyentuh penggambaran-penggambaran gedung dewan yang ramah pada rakyat, tentu akan mengurangi sinisme yang mengarah pada rencana tersebut.

Kedua, sangat wajar muncul resistensi kembali mengingat adanya kesan kuat kolaborasi lintas fraksi. Saat muncul gelombang penentangan masyarakat beberapa waktu lalu, banyak anggota dewan tampil di media menyuarakan penolakan. Jadi, jika tiba-tiba saat ini wakil rakyat menjadi paduan suara untuk bersepakat, lumrah memunculkan kecurigaan. Sebuah kebijakan, apalagi menyedot biaya besar, sudah selayaknya mendengar aspirasi yang berkembang di masyarakat bukan semata-mata didasarkan atas persekongkolan.

Ketiga, menyangkut waktu yang menjadi konteks pengumuman kembali rencana tersebut. Mengapa harus disampaikan mendahului prioritas-priotas kerja DPR lainnya. Setumpuk pekerjaan rumah 2010 belum usai termasuk revisi UU Pemilu yang mendesak. Akan lebih elegan jika DPR mengawali 2011 ini dengan menunjukkan stimulus kerja optimal ke publik baik di fungsi legislasi, kontrol maupun anggaran. Bukan serta-merta menstimulasi dengan rencana pembangunan gedung baru. Lagi-lagi ini menunjukkan cara berkomunikasi politik yang lemah.

Tulisan ini bisa diakses di web Pikiran Rakyat:

http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=171233

BAHAYA LATEN PERSEKONGKOLAN DPR


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Jurnal Nasional, 10/1/2011)

SAAT Orde Baru berkuasa, mendengar istilah bahaya laten senantiasa diasosiasikan dengan komunisme. Hingga setiap saat diperingatkan selalu waspada atas ideologi ini. Bahaya laten sesungguhnya dipahami sebagai bahaya tak tampak di permukaan, tetapi terus bergerak aktif menemukan momentum aktual menjadi kenyataan. Modus bahaya laten biasa menghidupkan jejaring aktif dan menunggu lengahnya masyarakat, saat mewujud dalam realitas ada, teramat sangat melumpuhkan.

Mengamati pergerakan persekongkolan para politisi Senayan dalam kasus pembangunan gedung baru DPR, seolah mengingatkan kembali pada istilah bahaya laten ini. Tentu penggunaan istilah ini, tidak dalam konteks mengasosiasikan para anggota DPR dengan komunisme. Melainkan menggambarkan betapa pergerakan untuk tetap meloloskan kebijakan yang nyata-nyata ditentang banyak pihak ini sebagai bahaya laten yang harus diwaspadai segenap elemen masyarakat.

Membeli Waktu

Baru beberapa hari ini mengawali tahun 2011, sudah beredar kabar tak sedap dari Senayan. DPR mengawali kiprah di tahun ini dengan mengumumkan proyek pembangunan gedung baru tetap dijalankan! Sebuah paradoks kehormatan yang secara disengaja dibuat dan menjadi penanda kebebalan para wakil rakyat. Lebih fantastis lagi, rencana pembangunan gedung 36 lantai ini, disetujui seluruh fraksi di DPR. Artinya, usulan pembangunan gedung DPR yang sempat mengendap beberapa bulan pascapenentangan luar biasa dari masyarakat itu, hanyalah strategi “membeli waktu” dari para kolaborator. Diam-diam stelsel aktif para pengusul menjalar ke berbagai fraksi melalui proses lobi, hingga sempurna menjadi noktah kehormatan dewan di awal tahun.

Dalam tulisan saya Menyoal Rumah Bangsawan Senayan di Harian Jurnas (7/9/10), saya mengemukakan dua alasan mengapa rencana pembangunan gedung baru DPR itu layak ditentang. Pertama, faktor pemborosan uang rakyat di tengah situasi negara dan bangsa yang masih terpuruk. Saat itu, saya mengutip data yang disampaikan mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani di Hotel Bidakara, Jakarta, pada April 2010, memprediksi utang pemerintah diperkirakan Rp1.878 triliun atau naik dibandingkan posisi awal utang tahun 2010 yang hanya di kisaran Rp1.600 triliun rupiah. Tentu ada beban berat bagi APBN mencicil kurang lebih Rp100 triliun per tahun. Karena itu, para elitee termasuk yang DPR wajib efisiensi anggaran, bukan sebaliknya. Menghamburkan uang hanya untuk kepuasan dan kehormatan segelintir orang.

Jika pun alasan untuk memberi solusi atas overkapasitas yang terjadi di DPR, seyogianya gedung dibangun secara sederhana dengan anggaran rasional dan punya sense of crisis. Kedua, logika publik secara otomatis akan resisten dengan pembangunan gedung mewah di saat fungsi-fungsi dewan sangat jauh dari kategori optimal. Jejak rekam fungsi legislasi jeblok, rapor merah fungsi pengawasan, serta tak jelas cetak biru fungsi anggaran, membuat wibawa DPR terus tenggelam dari satu periode ke periode berikutnya. Kali ini, para politisi Senayan kembali sangat percaya diri menyatakan show must go on! Rencana bangun gedung baru tetap berjalan, meski rakyat terheran-heran melihat kebebalan yang dipertontonkan. Kali ini, saya memiliki sejumlah kritik atas rencana itu.

Pertama, sungguh mengherankan mengapa DPR mengawali tahun baru justru dengan pengumuman rencana gedung baru ini. Tentu, siapa pun yang mengkaji komunikasi politik sangat paham, konteks waktu adalah pesan itu sendiri. Di awal tahun, masyarakat biasa mengawali dengan berbagai resolusi menjadi lebih baik. Menciptakan suasana baru yang dapat memberikan impresi guna menumbuhkan harapan berkehidupan lebih baik. Tahun 2010, telah sukses menjadi panggung buram politik DPR. Fungsi dan peran para wakil rakyat tak berjalan optimal.

Citra dewan tak beranjak dari performa babak belur seperti periode sebelumnya. Jika para elite di DPR paham peran komunikasi, tentu saja jauh akan lebih komunikatif jika mereka mengawali tahun ini dengan menyosialisasikan berbagai rencana strategis DPR selama setahun ke depan. Sekaligus menunjukkan ke khalayak luas apa saja yang telah dan sedang dicapai oleh DPR selama 2010. Jumpa wartawan di awal tahun (7/1), justru secara sengaja menghadirkan bingkai berita (news framing) tak menguntungkan bagi citra maupun kinerja DPR. Buktinya, kini DPR kembali direpotkan oleh reaksi keras berita dan opini media yang skeptis atas rencana.

Tentu, terpaan berita miring media akan terus bergulir hingga rencana ini dibahas di masa persidangan III tahun sidang 2010-2011, pertengahan Januari. Kedua, sangat nyata diungkapkan rencana itu sudah disepakati oleh seluruh fraksi. Padahal bahasan formal baru pertengahan Januari. Jika pernyataan Ketua DPR Marzuki Alie itu benar, persekongkolan itu sudah sukses tanpa sedikit pun menyisakan rasa malu kepada rakyat. Ini tentu terkait rekam jejak pernyataan beberapa elite parpol yang duduk di fraksi-fraksi DPR. Media tentu mencatat, saat rencana ini mencuat ke publik dan memuncak di September-Oktober 2010, sejumlah politisi DPR bersuara lantang menyatakan penolakan mereka di media massa. Lantas jika semua fraksi sudah setuju, ke mana suara mereka sekarang?

Wajar jika kita menyimpulkan itulah watak DPR sesungguhnya, yakni kemunafikan berjamaah! Di media mereka menciptakan realitas “seolah-olah” prorakyat yang dalam tulisan Jean Baudrillard, The Precession of Simulacra, dikategorikan sebagai simulasi realitas. Tindakan yang membentuk persepsi palsu atau seolah-olah mewakili kenyataan. Ruang pemaknaan di mana tanda-tanda yang saling terkait dianggap tak harus memiliki tautan logis. Satu wujud nyata dari simulasi realitas yang kerap membahayakan adalah reality by proxy yakni ketidakmampuan kesadaran dalam membedakan antara realitas dan fantasi. Inilah wujud simulasi realitas yang sangat menjengkelkan publik.

Ketiga, di awal rencana pembangunan gedung diperkirakan menghabiskan dana Rp1,8 triliun. Sekarang pun diprediksi masih di atas Rp1 triliun. Lantas di mana janji pimpinan DPR yang saat pengumuman penangguhan rencana ini, menyatakan akan menekan biaya secara signifikan hingga tak terlampau membebani APBN 2011. Semua menjadi terkesan akal-akalan dan sangat dangkal.

Paradoks Kehormatan

Bisa saja pembahasan rencana ini melaju dengan mulus dan menjadi kesepakatan seluruh fraksi di DPR. Namun, satu hal yang pasti, ini akan memunculkan paradoks kehormatan bagi lembaga yang kerap dilabeli sebagai “rumah rakyat” ini. Sangat wajar jika memunculkan valensi harapan (violation valence). Dalam Expectancy Violations Theory (teori pelanggaran harapan) dari Judee Burgoon, pelanggaran harapan berakar pada bagaimana pesan-pesan ditampilkan. Misal, bagaimana saat norma-norma komunikasi politik seperti penulis gambarkan sebelumnya dilanggar para politisi DPR. Dalam valensi pelanggaran para komunikator berusaha menginterpretasi makna dari sebuah pelanggaran dan memutuskan apakah mereka menyukai atau tidak.

Opini publik yang keras menentang pembangunan gedung baru DPR berbiaya tinggi itu tentu lahir dari interpretasi kritis dan menjadi sinyal ketidaksukaan khalayak. Skeptisme publik memang kerap tercermin dalam spiral keheningan, tapi di lain waktu bisa hadir dalam tsunami penentangan. Sebagai politisi, para anggota DPR tentu paham akan hal itu. Karena itu, sebelum kehormatan DPR porak-poranda karena tsunami opini publik, maka persekongkolan itu harus dihentikan. Jangan sampai DPR tetap melaju. Persis seperti ucapan Don Corleone ke Johnny Fontane tentang Woltz dalam Film The Godfather “I'm gonna make him an offer he can't refuse”!

Tulisan ini bisa diakses di web Harian Jurnal Nasional:

http://www.jurnalnasional.com/show/newspaper?rubrik=Opini&berita=155246&pagecomment=1

DILEMA SANG PRESIDEN


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Harian Seputar Indonesia, 28/12/2010)

Salah satu bidang yang patut kita berikan catatan dalam refleksi akhir tahun 2010 adalah komunikasi politik SBY di fase kedua pemerintahannya. Sejak berpasangan dengan Boediono, gaya komunikasi Istana memang berubah dibanding saat Jusuf Kalla menjabat sebagai wakil presiden.

Kini SBY kokoh di puncak hierarki kuasa dalam struktur istana, tanpa khawatir ada matahari kembar yang kerap menciptakan situasi paradoks terutama dalam manajemen kehormatan sang Presiden.Peristiwa demi peristiwa terjadi sepanjang tahun, dan tampak jelas benang merah dilema sang Presiden dalam mengartikulasikan substansi pesan dan balutan gaya komunikasinya di tengah otoritas yang di genggamannya.

Memudarnya Impresi

Meski pasangan SBY-Boediono menang dalam satu putaran, dan modal politik di Parlemen sangat memadai akibat koalisi tambun yang digalang, ternyata tak lantas membawa harapan meyakinkan di awal pemerintahannya.

Fase 100 hari pemerintahan SBY yang berakhir 28 Januari 2010 berakhir nyaris tanpa impresi. Ada beberapa faktor yang menyebabkan memudarnya impresi di awal pemerintahan SBY. Pertama, bingkai 100 hari yang dikemas dalam kinerja sejumlah kementerian tak sukses memalingkan perhatian khalayak.Meskipun pemerintah mengklaim Program Kerja 100 Hari telah terpenuhi dengan sukses, kenyataannya program- program tersebut telah tertutupi oleh hiruk-pikuk pemberitaan di ranah hukum dan politik. Sejumlah isu seperti skandal kasus Bank Century, kasus Antasari Azhar,kriminalisasi Bibit-Chandra, dan penanganan kasus Anggodo lebih lekat dalam perhatian publik.

Hal ini sekaligus menempatkan Program Kerja 100 Hari pemerintahan sebatas di wilayah pinggiran.

Kedua, menguatnya gejala disonansi kognitif di tengah masyarakat. Publik semula mengharapkan SBY mampu menjadi pemimpin kuat dan transformasional.Namun, dalam praktiknya, berbagai kebijakan politik yang diambil SBY banyak yang tidak sesuai harapan publik misalnya dalam penyelesaian kasus Century,SBY justru sibuk membentuk Setgab yang disinyalir menjadi mekanisme deal-deal politik antarelite pascapansus Century. Aroma kurang sedap berhembus di balik mundurnya Sri Mulyani Indrawati (SMI) dari jabatannya sebagi menteri keuangan. Pengunduran diri SMI yang penuh puja-puji mulai dari SBY hingga elite partai yang kerap berseberangan hanyalah realitas semu yang disebarkan melalui realitas simbolik media massa.

Inilah “the game of political words”yang sesungguhnya menutupi realitas dasar, yakni karutmarutnya penyelesaian hukum. Dalam konteks inilah, asumsi bahwa SMI telah dikorbankan di altar suci kekuasaan seolah mendapatkan konfirmasi, pada saat Setgab segera mengambil alih berbagai “resep” kebijakan strategis sebelum siap dihidangkan ke publik.Sidang-sidang DPR dan kebijakan pemerintah lantas hanya menjadi panggung depan dari berbagai resep Setgab tersebut. Inilah paradoks demokrasi yang sukses menarik kembali kartelisasi politik dalam dinamika politik Indonesia kontemporer.

Relasi Komunikasi

Selain impresi yang memudar di awal pemerintahannya,kita juga mencatat peningkatan gaya agresivitas verbal sang Presiden selama 2010. Hal ini dalam beberapa konteks menjadi iritasi antara Presiden dan rakyat,yang jika tak diwaspadai dapat menyebabkan infeksi di fase kedua pemerintahan sang Presiden. Iritasi itu misalnya terjadi saat menjelang evaluasi setahun pemerintahan SBY-Boediono pada 20 Oktober 2010.

Isu ada kekuatankekuatan yang akan menggulingkan pemerintahan SBY kembali dihembuskan orang-orang dekat Istana.Tuduhan semacam ini pun sudah beberapa kali disampaikan oleh istana misalnya menjelang Evaluasi 100 Hari pemerintahan juga sesaat menjelang peringatan Hari Antikorupsi pada 2009.Benarkah akan ada penggulingan kekuasaan? Nalar publik pun seolah tak memiliki tautan argumentasi dan fakta yang mendukungnya.Justru, hal ini memperkuat kesan fobia pemerintah atas kritisisme publik yang saat itu kian eskalatif. Jika pun hal itu sekadar manajemen konflik,tetap tak elok terutama dalam pendidikan politik bagi masyarakat.

SBY di beberapa kesempatan terbuka mengkritik para aktivis dan kelompok kritis.Yang menonjol misalnya saat SBY berang karena ada demonstran yang membawa kerbau besar bernama “SiBuYa”. Dalam konteks inilah kita bisa melihat dilema komunikasi SBY. Di satu sisi ingin tampil prima dalam mengomandani fase kedua pemerintahannya ini, di sisi lain juga kerap terjebak pada hiperealitas politik citra.Manajemen kehormatan diri berlebih agar tidak mendapat rintangan signifikan dari kaum kritis dan oposisi di DPR menyebabkan lambannya daya gerak pemerintah karena butuh waktu untuk mengonsolidasikan kekuatan koalisi yang juga kerap memanfaatkan momentum untuk kepentingan politik masingmasing.

Zona Nyaman

Refleksi akhir tahun ini juga tak bisa melupakan peristiwa konflik Malaysia-Indonesia. Isi pidato SBY di Mabes TNI pada 1 September 2010 mengenai hubungan RI-Malaysia seolah-olah kian mempertegas jati diri SBY sebagai penganut politik harmoni, sekaligus pemimpin negara dan pemimpin pemerintahan yang selalu ingin menempatkan posisi politiknya di zona nyaman. Uraian panjang lebar SBY sangat datar, terprediksi dari jauh-jauh hari, dan tak memunculkan sikap serta solusi baru dalam mengurai benang kusut relasi antagonistik kedua negara. SBY tampaknya tak mau mengambil risiko politik dari konflik yang terjadi.Argumentasi SBY sekilas tampak rasional dan faktual yakni berhubungan dengan kepentingan nasional.Ada tiga poin yang disinggung SBY, yakni akar historis, pergaulan di ASEAN, dan aspek ekonomi.

Menurut SBY,Indonesia dan Malaysia mempunyai hubungan sejarah, budaya, dan kekerabatan yang sangat erat. Dia bahkan menggarisbawahi hubungan RI-Malaysia ini yang paling erat dibanding negara-negara lain dan sudah terjalin selama ratusan tahun. Hubungan Indonesia dan Malaysia, menurut SBY, adalah pilar penting dalam keluarga besar ASEAN, bahkan organisasi ini bisa tumbuh pesat selama empat dekade terakhir antara lain karena kokohnya fondasi hubungan bilateral Indonesia - Malaysia. Sementara faktor ekonomi yang disinggung SBY menyangkut dua juta TKI yang bekerja di Malaysia. Lagi-lagi,SBY memberi penekanan bahwa jumlah ini merupakan yang terbesar di luar negeri.

Tanpa rincian yang jelas,SBY bahkan menyimpulkan bahwa keberadaan TKI di Malaysia itu membawa keuntungan bersama.SBYpun mengutip data investasi Malaysia di Indonesia lima tahun terakhir (2005-2009) adalah 285 proyek investasi, berjumlah USD1.2 miliar,dan investasi Indonesia di Malaysia berjumlah USD534 juta. Jumlah perdagangan kedua negara telah mencapai USD11,4 miliar pada 2009.Hal ini menunjukkan bahwa hubungan ekonomi Indonesia-Malaysia sungguh kuat. Wisatawan Malaysia yang berkunjung ke Indonesia adalah ketiga terbesar dengan jumlah 1,18 juta orang, dari total 6,3 juta wisatawan mancanegara. Tak ada yang salah dengan paparan SBY terkait fakta-fakta tersebut.

Sayangnya, setelah menunjukkan posisi penting Malaysia bagi Indonesia tersebut, kita tak menemukan kalimat penjelas yang meyakinkan dan tegas,bagaimana meletakkan kepentingan nasional tersebut dalam bingkai kedaulatan dan kehormatan sebuah bangsa. Saya khawatir, pernyataan SBY yang menempatkan Malaysia begitu powerful ini akan meletakkan posisi Indonesia sebagai subordinat dalam persepsi individu maupun pemerintahan Malaysia. Adakah solusi yang ditawarkan SBY? Ada memang,tapi tak cukup meyakinkan publik karena SBY hanya menawarkan solusi tunggal yakni melalui penuntasan perundingan batas wilayah antara Indonesia dan Malaysia. Langkah nyatanya adalah Joint Ministerial Meeting yang digelar di Kinabalu, Malaysia, 6 September 2010. Sampai saat ini tak begitu jelas apa hasil konkret pertemuan tersebut bagi bangsa dan rakyat Indonesia.

Dari sejumlah catatan tersebut, kita tentu berharap SBY di tahun-tahun mendatang hingga akhir fase kedua pemerintahannya bisa menunjukkan sosok pemimpin yang lebih transformatif.Tak hanya menjaga kemasan kata-kata retoris,tapi juga mampu menunjukkan tautan kata-kata indahnya dengan realitas politik yang kian membaik.(*) 

Tulisan ini bisa diakses di web Harian Seputar Indonesia:

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/372137/

Sumber gambar: www.inilah.com

LOGIKA PEMILIHAN GUBERNUR


Oleh: Gun Gun Heryanto

(Tulisan ini telah dipublikasikan di Harian Sinar Harapan, 21/12/2010)

Salah satu isu kontroversial yang menonjol pada tahun 2010 adalah isu mengenai pembahasan RUU Pemilihan Kepala Daerah.

Hal yang merisaukan sekaligus menjadi sumber polemik antara peme­rintah dengan berbagai pihak adalah rancangan aturan yang akan mengembalikan pemilih­an gubernur ke DPRD. Tawaran ini memiliki banyak kerancuan logika, sekaligus berpotensi memutar bandul perjalanan demokrasi ke era ketertutupan seperti lazimnya pada masa Orde Baru.

Kerancuan Logika

Ada dua argumentasi utama yang kerap disodorkan oleh para pendukung pemilih­an gubernur oleh DPRD. Pertama, gubernur itu merangkap dua jabatan sekaligus, yakni kepala daerah dan juga wakil pemerintah pusat di daerah. Lantas, muncul simplikasi bahwa peran gubernur itu sangat terbatas, sementara risiko politik yang harus ditanggung dalam kontestasi jauh lebih besar dan lebih rawan dibanding dengan pemilihan bupati atau wali kota. Untuk membuat masuk akal argumentasi ini, biasanya mereka merujuk pada proses implementasi otonomi daerah yang basis utamanya di tingkat kabupaten dan kota.

Argumen bahwa peran gubernur itu terbatas dalam konteks otonomi daerah tentu sangat rancu. Hal itu hanya mencoba menyederhanakan otonomi hanya dalam perspektif administrasi pemerintahan semata. Padahal, jika kita kembali ke titik awal semangat reformasi yang menjadi landasan awal otonomi daerah, tentu kita akan menemukan substansi desentralisasi kekuasaan dalam konteks otonomi.

Konsep desentralisasi itu sendiri merujuk pada dua aspek, yakni administrasi dan politik. Perspektif desentralisasi adminitrasi memungkinkan transfer tanggung jawab administratif dari pemerintah­an pusat ke pemerintahan lokal. Sementara itu, dalam perspektif politik, desentra­lisasi dipahami sebagai transfer kekuasaan dari tingkat atas ke tingkat yang lebih rendah dalam hierarki teritorial.

Pemerintahan Orde Baru yang terpusat, telah direformasi dan memunculkan semangat demokratisasi. Tak adil rasanya jika demokratisasi itu hanya berlangsung di pusat. Salah satu di antara penandanya adalah pemilihan paket presiden dan wapres secara langsung. Tentu, di daerah pun demokratisasi harus dijalankan melalui pemilihan kepala dae­rah yang dikehendaki rakyat. Hal ini akan memberi peluang partisipasi politik rakyat hingga ke akar rumput. Dalam konteks inilah, pilkada harus dipahami sebagai alat pembe­rian legitimasi rakyat terhadap pemimpin daerah. Bukan sebaliknya, pilkada dikerdilkan sebagai mekanisme politik yang berisiko dan tak berimbang dengan posisi gubernur yang hanya dianggap sebatas wakil pemerintahan pusat di daerah.

Kedua, pilkada dianggap terlalu berbiaya tinggi. Tak hanya dalam biaya finansial, tetapi juga dalam biaya sosial. Setiap kontestasi pilkada berlangsung, gelontoran dana nyaris tak terhindarkan. Atmosfer pilkada berbiaya tinggi dianggap sebagai salah satu penyebab demokrasi di berbagai daerah berlangsung tak sehat. Selain itu, pilkada juga dituduh menjadi pangkal keruwetan masalah-masalah sosial seperti tawuran, demonstrasi, dan kekerasan. Apakah benar, mengembalikan pilkada gubernur ke DPRD akan menekan biaya politik yang harus dikeluarkan oleh para kandidat dan penyelenggara? Bisa jadi mekanisme pemilihan oleh DPRD justru akan kembali memapankan tradisi upeti ke parpol atau gabungan parpol. Upeti yang menjadi akses pencalonan diri kandidat oleh partai-partai yang berkuasa di DPRD, bisa jadi sama atau lebih besar dari pengeluaran pilkada langsung seperti sekarang.

Satu hal lagi yang sangat krusial dan lebih mahal dari sekadar angka-angka adalah keleluasaan masyarakat sipil berdemokrasi. Pilkada adalah koreksi terhadap demokrasi tidak langsung (perwakilan) yang lazimnya dipraktikkan di era Orde Baru.

Dalam demokrasi perwakil­an, kepala daerah dan wakilnya memang dipilih oleh DPRD. Sementara itu, saat ini, demokrasi bersumber langsung pada pilihan rakyat. Untuk menekan biaya finansial bisa saja dibuat pengetatan aturan dalam proses pilkada, baik bagi penyelenggara pemilu maupun para kandidat. Sementara untuk mengurangi biaya sosialnya, pilkada harus diselenggarakan oleh orang-orang yang kredibel, independen, memiliki aturan jelas dan transparan, serta dapat menyediakan saluran penyelesaian konflik.

Domain Pemilu

Satu hal penting yang harus kita ingat, bahwa sejak lahirnya UU No 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu telah merevisi ketentuan penyelenggara pemilu yang diatur di dalam UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU No 32 Tahun 2004 menempatkan pilkada dalam domain peme­rintahan daerah. Sementara itu, UU No 22 Tahun 2007 menempatkan pilkada dalam domain pemilu.

Konsekuensinya, KPU de­ngan berbagai tugas dan kewajibannya memiliki independensi menyelenggarakan pilkada. Jika pemilihan dikembalikan ke DPRD tentu akan menjadi blunder karena menempatkan pemilihan kepala daerah dalam domain politik legislator. Hal ini menambah keruwet­an karena harus ada penyelarasan dengan pembahasan revisi UU No 22 Tahun 2007 yang saat ini juga sedang berlangsung di DPR.

Pemilihan gubernur oleh DPRD juga mengancam kebe­radaan calon-calon independen. UU No 12 Tahun 2008 yang merupakan perubahan kedua dari UU No 32 Tahun 2004 memberikan revisi substansial terhadap proses pilkada de­ngan mengakomodasi calon independen. Meski di banyak daerah calon independen kalah, tetapi mekanisme ini memberi ruang ekspresi demokrasi bagi masyarakat. Hal ini menjadi sangat sulit dilakukan saat pemilihan dikembalikan ke DPRD, yang notabene adalah representasi partai-partai politik.

Pemilihan gubernur oleh DPRD bisa menyuburkan kembali kartelisasi Politik. Alokasi kekuasaan dilakukan segelintir elite sehingga melahirkan monopoli untuk mengamankan agenda-agenda mereka. Menurut Dan Slater dalam tulisannya, Indonesia’s Accountability Trap: Party Cartel and Presidential Power after Democratic Transition (2004), menyatakan bahwa Indonesia kerap terjebak dalam politik kartel yang melahirkan kolusi demokrasi (collusive democracy). Pemilihan oleh DPRD juga bisa memupuk feodalisasi politik akibat tak terhindarinya restu para pemilik otoritas yang berada di puncak hierarki kekuasaan parpol. 

Tulisan ini bisa diakses di web sinarharapan:

http://www.sinarharapan.co.id/berita/content/read/logika-pemilihan-gubernur/